Senin, 25 Maret 2024

Talqin Menurut Empat Madzhab



Talqin secara bahasa berarti mengajar atau memahamkan secara lisan. Sedangkan secara istilah, talqin adalah mengajar dan mengingatkan kembali kepada mayit (orang yang meninggal dunia) yang baru saja dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu. Mentalqin mayit merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang sudah dilakukan secara turun temurun.

Lalu, bagaimana hukumnya mentalqin mayit?   Para ulama berbeda pendapat tentang mentalkin mayit ini,

Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur itu hukumnya sunnah.

Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi dalam kitabnya mengatakan:

وَإِنَّمَا لَا يُنْهَى عَنِ التَّلْقِيْنِ بَعْدَ الدَّفْنِ لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ فِيْهِ بَلْ نَفْعٌ، فَإِنَّ الْمَيِّتَ يَسْتَأْنِسُ بِالذِّكْرِ  

Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur karena tidak ada kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfaat. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari pemberitahuan tersebut. (Kitab Hasyiyah Raddul Mukhtar, Juz II, halaman 207).

Syekh Muhammad bin Yusuf Al-Mawwaq dari mazhab Maliki dalam kitabnya mengatakan: 

 إذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُهُ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ، وَهُوَ فِعْلُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ الصَّالِحِيْنَ مِنَ الْأَخْيَارِ، لِأَنَّهُ مُطَابِقٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ}. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إلَى التَّذْكِيْرِ بِاللهِ عِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَائِكَةِ  

Jika mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka sesungguhnya disunnahkan mentalqinnya pada saat itu. Hal ini merupakan perbuatan penduduk Madinah yang shaleh lagi baik, karena sesuai dengan firman Allah ta’ala : (Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman). Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan tentang Allah saat ditanya oleh malaikat (Kitab At-Taj Wal Iklil li Mukhtashari Khalil, juz II, halaman 375).  

Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i dalam kitabnya mengatakan:

يُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ عَقِبَ دَفْنِهِ فَيَجْلِسُ عِنْدَ رَأْسِهِ إنْسَانٌ، وَيَقُوْلُ: يَا فُلَانَ ابْنَ فُلَانٍ وَيَا عَبْدَ اللهِ ابنَ أَمَةِ اللهِ، أُذْكُرِ العَهْدَ الَّذِي خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا: شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، وَأَنَّ البَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَارَيْبَ فِيْهَا، وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ. وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً، وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ إِخْوَانًا.  

Disunnahkan mentalqin mayit segera setelah menguburnya, di mana seseorang duduk di depan kepala mayit, dan berkata: Wahai fulan anak fulan, dan wahai hamba Allah anak hamba perempuan Allah. Ingatlah janji yang atasnya kamu keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-NYA, surga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, kiamat itu pasti datang tiada keragu-raguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kubur. Dan sungguh kamu telah meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad saw sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum Mukminin sebagai saudara. (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz V, halaman 303 - 304).  

Syekh Mansur bin Yunus Al-Bahuti dari mazhab Hanbali dalam kitabnya mengatakan:

وَسُنَّ تَلْقِيْنُهُ أَيْ: الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ عِنْدَ الْقَبْرِ، لِحَدِيْثِ أَبِي أُمَامَةَ اْلبَاهِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ  

Dan disunnahkan mentalqin mayit maksudnya  mayit setelah dikebumikan di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili ra. (Kitab Syarh Muntahal Iradat, Juz II, halaman 739).  

Sebagian ulama dari mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Usman bin Ali Az-Zaila’i  dari mazhab Hanafi dalam kitabnya mengatakan:

أَنَّ تَلْقِيْنَ الْمَيِّتِ مَشْرُوْعٌ، لِأَنَّهُ تُعَادُ إلَيْهِ رُوْحُهُ وَعَقْلُهُ، وَيَفْهَمُ مَا يُلَقَّنُ  

Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan). (KitabTabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, Juz III, halaman 157).

Syekh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya mengatakan:

تَلْقِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمَشْهُوْرِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُوْرٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنَ الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيْهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدِ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيْهِ ثَلَاثَةٌ: اَلِْاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ  

Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi saw dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu diceritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Dan Sungguh mensunahkannya sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil.  (Kitab Majmu' Al-Fatawa, Juz  XXIV, halaman 297-298).

Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi dari madzhab Maliki Al-Maliki dalam kitabnya mengatakan:

وَكَذَا يُكْرَهُ عِنْدَهُ أَيْ عِنْدَ مَالِكٍ تَلْقِيْنُهُ بَعْدَ وَضْعِهِ فِي قَبْرِهِ  

Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur. (Kitab, Syarhur Risalah, halaman 266).  

Dengan demikian dapat disimpulkan, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit setelah dikubur. Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menghukuminya makruh.   Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyatakan kesunnahan mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh hadits riwayat Abu Umamah, bahwa Rasulullah saw bersabda:  

 إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ  

Bila seseorang dari kalian mati, maka ratakanlah tanah di kuburnya. Lalu hendaknya salah seorang di antara kalian berdiri di atas kuburnya, kemudian berkata: “Wahai Fulan putra si Fulanah’. Sungguh si mayit mendengarnya dan tidak menjawabnya. (H. R. Thabrani no. 7906).

Imam Nawawi mengomentari hadits tersebut dalam kitabnya :

قلت فهذا الحديث وان كان ضعيفا فيستأنس به وقد اتفق علماء المحدثين وغيرهم علي المسامحة في أحاديث الفضائل والترغيب والترهيب

Komentarku dalam hadits ini, bahwa sekalipun hadits itu dhaif tetapi dapat dijadikan sebagai dalil penguat. Apalagi para ulama ahli hadits dan ulama lain sepakat menerima hadits-hadits terkait amal utama, berita gembira, dan peringatan. (Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz V, halaman 304).  

Rabu, 28 Februari 2024

Membayar Zakat Fitrah

 


Pada setiap hari raya idul fitri, setiap orang Islam, laki-laki, perempuan, besar kecil, merdeka atau budak, diwajibkan membayar zakat fitrah sebanyak 1 sha' (3,1 liter) dari makanan yang menyenyangkan menurut tiap-tiap tempat (negeri), (Di Indonesia kalau pakai beras +/- 2,75 kg)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِْ وَالْكَبِيرِْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata : Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri (berbuka) sebanyak satu sha' (3,1 liter) kurma atau gandum atas tiap-tiap orang muslim hamba atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, kecil atau besar. Dan beliau memerintahkannya untuk ditunaikan sebelum manusia keluar untuk shalat. (H. R. Bukhari no. 1503)

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُعْطِيْهَا فِى زَمَانِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ

Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra, ia berkata : Kami mengeluatkan zakat firah satu sha' dari makanan, gandum, kurma, susu kering. (H. R. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 2330)

Syarat-syarat wajib zakat fitrah

1. Islam

2. Lahir sebelum terbenam matahari pada hari terahir bulan Ramadhan. Anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib fitrah

3. Mempunyai kelebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang wajib dinafkahinya pada malam hari raya dan siang harinya.

Waktu membayar zakat fitrah :

1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu dari awal Ramadhan sampai hari akhir Ramadhan.

2. Waktu wajib, yaitu mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan

3. Waktu yang lebih baik (sunah), yaitu dibayar sesudah shalat subuh sebelum pergi sahalat hari raya.

4. Waktu makruh, yaitu membayar fitrah sesudah shalat hari raya, tetapi sebelum terbenam mata hari pada hari raya

5. Waktu haram, yaitu dibayar sesudah  terbenam matahari pada hari raya

Membayar zakat fitrah dengan uang

Membayar zakat fitrah dengan uang seharga makanan, menurut madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali tidak boleh, karena yang diwajibkan dalam hadits adalah sesuatu yang mengenyangkan. Dalam madzhab Hanafi tidak ada halangan, karena fitrah itu hak orang-orang miskin, untuk menutup  hajat mereka, boleh dengan makanan dan boleh dengan uang, tidak ada bedanya

Minggu, 28 Januari 2024

Mentalak Istri Dalam Keadaan Marah

 


Seorang yang mentalak istrinya dalam keadaan marah yang membuat orang tersebut tidak menyadari ucapannya, tidak tahu apa yang terucap oleh mulutnya, maka talak semacam itu tidak sah atau tidak jatuh talaknya, karena orang tersebut tidak berkehendak mentalak istrinya.

Adapun dalilnya bahwa talak semacam itu tidak sah adalah hadits di bawah ini :

عَنْ عَائِشَةَ تَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِى غَلاَقٍ

Dari Aisyah, mengatakan bahwa dia telah mendengar Rasulullah saw bersabda : Tidak sah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah. (H. R. Abu Daud no. 2195, Ibnu Majah no. 2124 dan lainnya)

Berkenaan dengan hukum mentalak istri dalam keadaan marah ini, ulama telah menjelaskan bahwa marah itu ada tiga tingkatan :

1. Marah yang sampai menghilangkan akal, orang yang mengucapkan talak, tidak menyadari ucapannya. Bagi orang yang marah semacam ini, maka ada dua pendapat yaitu talaknya tetap jatuh, dan pendapat lainnya talaknya dipandang tidak jatuh

2. Marah yang pada dasarnya ia sadar atas apa yang diucapkannya. Bagi orang yang demikian maka talaknya dipandang jatuh.

3. Sangat marah tetapi berbeda niat dengan ucapannya dan ia sendiri menyesali ucapannya itu, dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Namun menurut pendapat yang lebih kuat, talaknya itu dipandang tidak jatuh.

Sabtu, 27 Januari 2024

Puasa Rajab Menurut Beberapa Madzhab

 


Mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.

Para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara sebagian lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.

Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.

Madzhab Hanafi

Dalam Kitab Al-Fatawa Al-Hindiyyah, juz V halaman 239 disebutkan:

 ( الْمَرْغُوْبَاتُ مِنْ الصِّيَامِ أَنْوَاعٌ ) أَوَّلُهَا صَوْمُ الْمُحَرَّمِ وَالثَّانِي صَوْمُ رَجَبٍ وَالثَّالِثُ صَوْمُ شَعْبَانَ وَصَوْمُ عَاشُوْرَاءَ

(Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya). Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan puasa hari Asyura.

Madzhab Maliki

Dalam kitab Syarh Mukhtashar Khalil Al-Kharsyi, juz VI halaman 493-494, ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, Al-Kharsyi menjelaskan:

 (وَالْمُحَرَّمِ وَرَجَبٍ وَشَعْبَانَ) يَعْنِي : أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ صَوْمُ شَهْرِ الْمُحَرَّمِ وَهُوَ أَوَّلُ الشُّهُوْرِ الْحُرُمِ ، وَرَجَبٍ وَهُوَ الشَّهْرُ الْفَرْدُ عَنِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ .... ( قَوْلُهُ : وَرَجَبٍ )، بَلْ يُنْدَبُ صَوْمُ بَقِيَّةِ الْحُرُمِ الْأَرْبَعَةِ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ فَرَجَبٌ فَذُو الْقِعْدَةِ فَالْحِجَّةُ

(Muharram, Rajab dan Sya’ban). Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri. .... (Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab), bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.

Madzhab Syafi’i

Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz VI halaman 386,Imam Nawawi menjelaskan:

(فَرْعٌ) قَالَ اَصْحَابُنَا وَمِنَ الصَّوْمِ اْلمُسْتَحَبُّ صَوْمُ اْلاَشْهُرِ الْحُرُمِ وَهِيَ ذُواْلقِعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَاْلمُحَرَّمِ وَرَجَبِ وَاَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ

(Sebuah cabang masalah) Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram.

Madzhab Hanbali

Dalam kitab Al-Mughni , juz VI halaman 181, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan :

فَصْلٌ : وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ . قَالَ أَحْمَدُ : وَإِنْ صَامَهُ رَجُلٌ ، أَفْطَرَ فِيهِ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا ، بِقَدْرِ مَا لَا يَصُومُهُ كُلَّهُ .......

 قَالَ أَحْمَدُ : مَنْ كَانَ يَصُومُ السَّنَةَ صَامَهُ ، وَإِلَّا فَلَا يَصُومُهُ مُتَوَالِيًا ، يُفْطِرُ فِيهِ ، وَلَا يُشَبِّهُهُ بِرَمَضَانَ

Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan....  Ahmad bin Hanbal juga berkata: Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.

Dalam kitab Al-Furu’ Libni Muflih, juz V halaman 98, Ibnu Muflih menjelaskan :

فَصْلٌ يُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ.  نَقَلَ حَنْبَلٌ : يُكْرَهُ ، وَرَوَاهُ عَنْ عُمَرَ وَابْنِهِ وَأَبِي بَكْرَةَ ، قَالَ أَحْمَدُ : يُرْوَى فِيهِ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضْرِبُ عَلَى صَوْمِهِ ، وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ : يَصُومُهُ إلَّا يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا ... وَتَزُولُ الْكَرَاهَةُ بِالْفِطْرِ أَوْ بِصَوْمِ شَهْرٍ آخَرَ مِنْ السَّنَةِ ، قَالَ صَاحِبُ الْمُحَرَّرِ : وَإِنْ لَمْ يَلِهِ

Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah. Ahmad berkata: Diriwayatkan di dalamnya dari Umar bahwasanya dia Memukul seseorang karena berpuasa Rajab. Ibnu Abbas berkata: Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa......  Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang Al-Muharrar berkata: Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi dalam kitabnya  Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim menyatakan : Memang benar  tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab.

Untuk keutamaan puasa Rajab akan kami bahas pada bab tersendiri

Rabu, 27 Desember 2023

Masa Iddah perempuan Karier yang Ditinggal Mati Suaminya

 


Bagaimana halnya dengan perempuan karier atau perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga (anak-anaknya) sedang pekerjaan itu mengharuskan keluar rumah. Terhadap perempuan yang demikian, maka dalam pandangan madzhab Syafi'i mereka boleh keluar rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya atas dasar keadaan darurat, sebab pada dasarnya mereka haram keluar rumah. berdasarkan kaidah ushul fiqih :

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتُ

Keadaan darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang mestinya dilarang.

Sedangkan menurut ulama lainnya, mereka boleh keluar rumah untuk bekerja dan kepentingan kebaikan lainnya. Hal ini bukan didasarkan pada keadaan darurat, melainkan didasarkan pada sebuah riwayat hadits di bawah ini :

قَالَ يَزِيْدُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُحِدُّ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْباً مَصْبُوغًا إِلاَّ عَصْبًا وَلاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَمَسُّ طِيبًا إِلاَّ عِنْدَ طُهْرِهَا

Yazid mengatakan; dari Nabi saw, beliau bersabda: Janganlah seorang wanita berkabung melebihi tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, maka dia berkabung selama empat bulan sepuluh hari, jangan memakai pakaian yang berwarna warni kecuali pakaian beludru (pakaian kasar), jangan bercelak dan jangan pula memakai wewangian kecuali setelah suci. (H. R. Ahmad no. 21339 dan Abu Daud no. 2304)

Yang perlu ditekankan di sini adalah, bahwa perempuan karier atau siapapun yang ditinggal mati suaminya itu diperbolehkan keluar rumah hanya untuk keperluan mendesak seperti mencari nafkah, untuk hal-hal kebaikan dan tetap melakukan ichdaad, yakni tidak berhias, tidak memakai perhiasan dan tidak memakai wewangian kecuali sebatas untuk menghilangkan bau badan. Hal ini justeru untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan yang bersangkutan, juga untuk menghormati almarhum suaminya.

Kamis, 14 Desember 2023

ًWaktu Bangkitnya Makmum Masbuq



Waktu makmum masbuq bangkit disunnahkan setelah imam selesai mengucapkan salamnya yang kedua. Jadi bukan setelah imam mengucapkan salam yang pertama, namun hendaknya makmum menunggu dulu sampai imam selesai mengucapkan salam yang kedua, setelah itu ia bangkit untuk melengkapi rakaat yang masih kurang.

Dalam hal ini, Imam Nawawi telah menjelaskan :

 (فَرْعٌ) اِتَّفَقَ اَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمَسْبُوْقِ أَنْ لَا يَقُوْمُ لِيَأْتِيَ بِمَا بَقِىَ عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ فَرَاغِ اْلإِمَاِم مِنَ التَّسْلِيْمَتَيْنِ وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِهِ اْلبَغَوِيُّ وَاْلمُتَوَلِّيُ وَآخَرُوْنَ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي مُخْتَصَرِ اْلبُوَيْطِيِّ

(Suatu cabang masalah), Sahabat-sahabat kami telah sepakat bahwa makmum masbuq disunnahkan tidak berdiri dulu untuk melengkapai rakaat yang masih kurang kecuali setelah imam menyelesaikan dua salam. Di antara ulama yang dengan tegas berfatwa demikian ialah Imam Al-Baghawi, Imam Mutawalli dan para ulama lainnya. Dan Imam Syafi'i pun telah menegaskan hal itu dalam kitabnya, Mukhtashar Al-Buwaithi. (Kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Juz III, halaman 483) 

Jumat, 29 September 2023

Ilmu Tajwid Alif yang Dibaca Pendek

 


ALIF YANG TIDAK DIPAKAI SEBAGAI HURUF MAD (PANJANG)

 

Di mana-mana ada alif yang berada setelah harokat fathah, maka pasti dipakai sebagai huruf mad (panjang), tapi di dalam Al-Qur’an ada yang tidak dipakai sebagai huruf mad, dan tidak boleh dibuang (dihilangkan), yaitu :

 

dibaca pendek  وَا --  لِتَتْلُوَا -- سُوْرَةْ  اَلرَّعْدُ (13) -- اَيَةْ 30   

dibaca pendek  وَا -- لَنْ نَدْ عُوَا -- سُوْرَةْ  اَلْكَهْفِ (18) -- اَيَةْ 14  

 dibaca pendek وَا --  لِيَرْبُوَا -- سُوْرَةْ  اَلرُّومْ (30) -- اَيَةْ 39   

dibaca pendek وَا --  لِيَبْلُوَا -- سُوْرَةْ  مُحَمَّدْ (47) -- اَيَةْ   4   

 dibaca pendek وَا --  وَلَنَبْلُوَا -- سُوْرَةْ  مُحَمَّدْ (47) -- اَيَةْ 31