Setigma
pesantren sebagai 'produsen' teroris telah menggelinding ke seluruh penjuru
nusantara. Masyarakatpun menangkap dan memaknai bola panas itu secara beragam.
Sebagian membenarkan, sebagian ragu penuh tanya, dan sebagian
besar lainnya menolak tegas. Diskusi, artikel,
dan komentar terus-menerus bermunculan diberbagai media, terkait isu besar
ini.
Pertanyaan
besarnya: benarkah secara genetis pesantren terkait atau bahkan bermula dari
doktrin-doktrin terorisme?
Geneologi
Tradisi Pesantren
Dengan ujaran
lain, tradisi, baik tradisi pemikiran maupun lelaku yang berkembang di
pesantren, tak lain merupakan implementasi ajaran-ajaran yang terkandung dalam
kitab-kitab klasik itu. Logika sederhananya, jika pesantren dianggap sebagai
produsen teroris, maka ajaran-ajaran yang terhampar dalam kitab-kitab itu juga
cerminan ajaran teroris. Betulkah?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, penulis berupaya menulusuri kitab-kitab klasik apa saja yang
diajarkan di pesantren dan apakah ajaran kekerasan ala terorisme itu termuat di
dalamnya.
Pertama,
kitab-kitab fiqh. hampir semua pesantren di nusantara ini mengajarkan
kitab-kitab fiqh yang berhaluan Mazhab al-Syafi'i. Itu menunjukkan, secara
geneologi, pemahaman fiqh pesantren di nusantara ini tidak berujung pada bentuk
fiqh yang kaku atau keras. Karena, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i (w. 204
H) sebagai pencetusnya, dikenal sebagai pemikir moderat. Ia berhasil memoderasi
pemikiran fiqh Abu Hanifah (w. 150 H) yang cenderung rasional-kontektual dan
pemikiran fiqh Malik bin Anas (w. 179 H) yang cenderung kaku dan rigid.
al-Syafi'i juga dikenal sebagai sosok penuh toleransi atas perbedaan.
Wasiatnya yang
paling terkenal misalnya: ra'yuna shawab yahtamil al-khata' wa ra'y
ghairina khata' yahtamil al-shawab (pandangan yang kami yakini benar,
mungkin salah; dan pandangan orang lain yang kami yakini salah, mungkin benar).
Ini menunjukkan,
betapa al-Syafi'i berupaya menghindari klaim 'ini salah' dan 'ini benar'.
Padahal klaim inilah yang banyak digaungkan para teroris itu, jika berhadapan
dengan kelompok yang berseberangan.
Untuk itu, jika
runutan genetika pemikiran fiqh pesantren berujung pada al-Syafi'i, bisa
dipastikan pemikiran fiqh moderatlah yang dikembangkan pesantren. Lebih tegas
lagi, kitab-kitab acuan pesantren yang berhaluan Mazhab al-Syafi'i seperti Fath
al-Mu’in, I’anah al-Thalibin, Taqrib, Kifayah, Muhaddzab, dan sebagainya, tak
ada satupun yang mendorong munculnya aksi kekerasan. Andaipun kitab-kitab itu
memaparkan jihad misalnya, yang pertama kali ditekankan bukanlah jihad dalam
pengertian sempit mengangkat senjata.
Kedua,
kitab-kitab tasawuf. Dalam tradisi pesantren nusan-tara, secara umum
kitab-kitab tasawuf yang diajarkan adalah karya-karya Muhammad al-Ghazali (w.
505 H), seperti Ihya ’Ulum al-Din atau Bidayah al-Hidayah. Di sana juga tak terdapat satupun ajaran yang
menghendaki tindak kekerasan semisal terorisme. Bahkan, kelembutan muslim Indonesia
lebih banyak diwarnai ajaran tasawuf itu.
Malah, Damarjati
Supadjar, kala memberi pengantar buku Islam Jawa karya Mark R Woodward menulis,
Islam yang pertama kali datang ke Indonesia berhaluan Syiah Batiniyyah yang
bercorak sufistik. Dan sepanjang sejarah, tidak ada aksi terorisme yang diawali
ajaran tasawuf, karena tasawuf cenderung diam menyikapi gejolak kehidupan.
Martin van Bruinessen juga mengakui, pada mulanya tradisi pesantren lebih
bernafaskan sufistik. (h. 20).
Ketiga,
kitab-kitab tauhid (teologi). Diketahui, mayoritas pesantren di nusantara
cende-rung mengajarkan kitab-kitab tauhid berhaluan Asy’ariyyah atau
Maturidiyyah, seperti Umm al-Barahin, Sanusi, Dasuqi, Kifayah al-’Awwam, Tijan
al-Darari, dan sebagainya. Mereka juga terkenal moderat, karena berhasil
memoderasi tauhid ala Muktazilah yang menonjolkan nalar dan Khawarij yang
gampang melontarkan tuduhan kafir pada kelompok lain.
Bahkan kelompok
Khawarij ini tak canggung melakukan kekerasan fisik (pembunuhan) pada kelompok
yang tak sepaham. Jika secara genetis tradisi pesantren berakar dari Khawarij,
maka bisa dimaklumi pesantren identik dengan aksi-aksi terorisme. Tapi nyatanya
tidak demikian, karena tradisi pesantren tidak bersumber dari Khawarij.
Berdasarkan
fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan, secara genetika pesantren tidak terkait
sedikitpun dengan kelompok yang mengedepankan kekerasan atau terorisme. Karena
itu, jika terbukti ada segelintir alumni pesantren yang terseret arus
terorisme, bisa dipastikan mereka telah termakan ajaran-ajaran yang berkembang
di luar tradisi pesantren.
Sebagai bukti,
dalam karyanya Aku Melawan Terorisme, Imam Samudra yang alumni pesantren
mengaku, dirinya bertindak demikian karena terilhami buku Ayat al-Rahman fi
Jihad al-Afghan karya Abdullah Azzam. Buku ini tidak pernah dijadikan acuan
dalam tradisi pesantren. Selain itu, jika pesantren diklaim sebagai produsen
teroris, padahal pesantren hanya mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam
kitab klasik. Jadi harusnya tidak semua pesantren di Indonesia yang harus dicurigai dan
dikait-kaitkan dengan teroris.
BACA JUGA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar