عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُوْرَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
Tidak
ada satu hadits pun yang jelas dan tegas menyatakan sunnah berpuasa pada hari
Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah). Namun perlu kita ketahui, banyak fuqaha yang
menfatwakan bahwa puasa pada hari Tarwiyah itu hukumnya sunnah berdasarkan dua
alasan berikut :
1. Atas dasar ihtiyath (berhati-hati) dan cermat
dalam mengupayakana mendapat fadhilah puasa Arafah yang begitu besar.
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, berkata :
(وَيُسَنُّ) مُتَأَكِّدًا (صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ)
لِغَيْرِ حَاجٍّ، لِأَنَّهُ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الَّتِيْ هُوَ فِيْهَا وَالَّتِيْ
بَعْدَهَا - كَمَا فِي خَبَرِ مُسْلِمٍ - وَهُوَ تَاسِعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَاْلأَحْوَطُ
صَوْمُ الثَّامِنِ مَعَ عَرَفَةَ
Dan termasuk sunnah muakkad puasa pada hari Arafah bagi selain
orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, sebab perbuatan tersebut dapat
menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan satu tahun sesudahnya,
sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Pengertian
hari Arafah ialah tanggal atau hari yang kesembilan dari bulan Dzulhijjah atau
haji. Untuk lebih berihtiyath, sebaiknya berpuasa pada tanggal atau hari ke
delapana (hari Tarwiyah) beserta hari Arafah. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 59)
Sayyid
Bakri Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya, ketika mengomentari ucapan pengarang Kitab
Fathul Mu'in tersebut,berkata :
(قَوْلُهُ: وَاْلأَحْوَطُ صَوْمُ الثَّامِنِ)
أَيْ لِأَنَّهُ رُبَمَا يَكُوْنُ هُوَ التَّاسِعُ فِي الْوَاقِعِ.
Ucapannya : Untuk lebih berihtiyath, sebaiknya berpuasa pada
tanggal atau hari ke delapana. Maksudnya, karena mungkin saja menyataannya hari
itu tepat tanggal kesembilan. (Kitab I'anatuth Thalibin, Juz. II, halaman 265)
2. Karena hari Tarwiyah termasuk salah
satu hari yang sepuluh selain hari Ied dari awal bulan Dzulhijjah yang dalam
hadits di atas dinyatakan sunnah berpuasa pada hari itu
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, berkata :
وَيَتَأَكَّدَ صَوْمُ الثَّمَانِيَةِ قَبْلَهُ: لِلْخَبَرِ الصَّحِيْحِ
فَيْهَا، اَلْمُقْتَضِي لِأَفْضَلِيَةِ عَشْرِهَا
عَلَى عَشْرِ رَمَضَانَ اْلأَخِيْرِ
Dan termasuk sunnah muakkad puasa delapan hari sebelumnya (hari
Arafah) karena terdapat hadits shahih mengenai hal ini yang menunjukkan
keutamaan puasa sepuluh hari dari awal bulan Dzulhijjah dari sepuluh hari yang
terahir dari bulan Ramadhan. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 59)
Sayyid
Bakri Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya, ketika mengomentari ucapan pengarang Kitab
Fathul Mu'in tersebut,berkata :
(قَوْلُهُ: وَيَتَأَكَّدَ صَوْمُ الثَّمَانِيَةْ
قَبْلَهُ) أَيْ يَوَمِ عَرَفَةَ، فَعَلَيْهِ يَكُوْنُ الَّثامْنُ مَطْلُوْبًا مِنْ
جِهَتَيْنِ: جِهَةِ اَلإِحْتِيَاطِ لِعَرَفَةَ، وَجِهَةِ دَخُوْلِهِ فِي اْلعَشْرِ
غَيْرِ اْلعِيْدِ
Ucapannya : Dan termasuk sunnah muakkad puasa delapan hari
sebelumnya. Maksudnya hari Arafah. Maka atas dasar itulah, puasa pada tanggal
atau hari kedelapan (hari Tarwiyah) itu dituntut berdasarkan dua segi : Pertama,
atas dasar ihtiyath (hati-hati) untuk mendapatkan hari Arafah. Kedua, atas
dasar hari Tarwiyah termasuk sepuluh hari awal Dzulhijjah selain hari Ied.
(Kitab I'anatuth Thalibin, Juz. II, halaman 266)
Baca
pula tulisan kami : http://www.wongsantun.com/2017/08/amalan-sepuluh-hari-pertama-bulan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar