Ta'addud Jum'ah (shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah) berbeda dengan
Jum'atan dua shif/kali atau lebih (insya-ul Jum'ah ba'da Jum'ah) di satu
tempat (masjid).
Hukum
dua shalat Jum'at dalam satu perumahan dipandang sama-sama sah dikarenakan tiga
sebab yang tersebut dalam kitab di bawah ini :
Syaikh
Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi mengatakan dalam kitabnya :
وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ
تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ
اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ
وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ
النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا
إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ
Dan kesimpulan pendapat para imam adalah
boleh mendirikan Jum’atan lebih dari satu tempat karena tiga sebab. 1) Tempat
shalat Jum’at yang sempit, yakni tidak cukup menampung para jama’ah Jum’at
sekaligus. 2) Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan syaratnya. 3)
Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung desa)
tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yang bila ia pergi dari situ setelah
waktu fajar ia tidak akan menemui shalat Jum’at, sebab ia tidak wajib pergi
jum’atan melainkan setelah fajar. (Kitab Bughyatul
-Mustarsyidin, halaman 79)
Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dalam
kitabnya mengatakan :
إِذَا عَرَفْتَ
أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ
بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ
الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا
الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي الاجْتِمَاعِ
كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا بِضَابِطٍ
لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا كُلُّ
عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ، وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ
الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ إِقَامَةِ
الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ
بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ حَدِيْثٌ
وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ ذَلِكَ
عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ
Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab Syafi’i
tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah. Namun
kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i atas Jum’atan
lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami kebolehannya pada
situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yang terjadi di Baghdad,
mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yang tidak (pula)
diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan setiap
ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka. As-Sya’rani
menyatakan bahwa pencegahan jum’atan lebih dari satu adalah karena khawatir
timbulnya fitnah, sedangkan kekhawatiran tersebut kini sudah tidak ada.
Kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu juga berdasarkan hukum asal tentang
pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Saw.) pembawa
syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih dari satu
itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yang menerangkannya,
meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yang menyatakan begitu.
Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Saw. Itu bertujuan memberi
kelonggaran kepada umatnya. (Kitab Jam'ur Risaalatain fii Ta'addudil Jum'atain,
halaman 29)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar