Mengkijing makam atau membuat bangunan di atas
kubur atau di atasnya tanpa tujuan syar'i seperti hawatir terjadi pembongkaran (dicuri), penggalian oleh binatang
buas atau runtuh karena air bah
(banjir), maka hukumnya makruh jika tanahnya milik sendiri. Tetapi jika di
tanah milik umum, maka hukumnya haram. Sedangkan mengkijing makam para wali dikecualikan
hukumnya, yakni menjadi mubah karena ada kepentingan untuk diziarahi.
Apabila mengkijingnya dihukumi haram maka
harus dibongkar oleh hakim atau perorangan yang mendapat izin dari hakim. Namun
apabila pengkijingannya dihukumi makruh maka tidak harus dibongkar (lebih baik
dibongkar). Sedangkan barang bongkaran harus dikembalikan kepada pemilik,
apabila pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitul mal.
Jika perangkat desa atau pengurus makam
(juru kunci) membiarkan pengkijingan makam yang diharamkan maka mereka berdosa,
karena tergolong membiarkan kemunkaran yang harus ditiadakan.
Dalam hadits Nabi disebutkan :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى
عَلَيْهِ
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah saw telah melarang mengapur
kuburan, duduk di atasnya, dan mendirikan bangunan di atasnya. (H. R. Muslim
no. 2289)
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ اْلأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ
أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالًا
إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
Dari Abi Hayyaj Al-Asadi, ia berkata : Sayyida Ali berkata
(berpesan) kepada saya : Ingat, aku mengutus kamu sebagaimana Rasulullah saw
mengutus aku, yaitu kamu tidak boleh membiarkan patung, melainkan kamu harus
menghancurkannya, dan tidak boleh membiarkan kuburan yang tinggi, melainkan
kamu harus meratakannya. (H. R. Muslim
no. 2287)
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menegaskan :
(وَكُرِهَ بِنَاءٌ لَهُ) أَيْ لِلْقَبْرِ، (أَوْ عَلَيْهِ) لِصِحَّةِ
النَّهْيِ عَنْهُ بِلَا حَاجَةٍ، كَخَوْفِ نُبْشٍ، أَوْ حَفْرِ سَبُعٍ أَوْ هَدْمِ
سَيْلٍ. وَمَحَلُّ كَرَاهَةِ اْلبِنَاءِ، إِذَا كَانَ بِمِلْكِهِ، فَإِنْ كَانَ بِنَاءُ
نَفْسِ اْلقَبْرِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ مِمَّا مَرَّ، أَوْ نَحْوِ قُبَّةٍ عَلَيْهِ بِمُسَبَّلَةٍ،
وَهِيَ مَا اعْتَادَ أَهْلُ الْبِلَدِ الدَّفْنَ فِيْهَا، عُرِفَ أَصْلُهَا وَمُسَبِّلُهَا
أَمْ لَا، أَوْ مَوْقُوْفَةٍ، حَرُمَ، وَهُدِمَ وُجُوْبًا. لَاَنَّهُ يَتَأَبَّدُ
بَعْدَ انْمِحَاقِ الْمَيِّتِ، فَفِيْهِ تَضْيِيْقُ عَلَى
الْمُسْلِمِيْنَ بِمَا لَا غَرَضَ فِيْهِ
Makruh membangun
tembok baik untuk liang kubur atau di atas timbunan tananya, karena ada hadits
shahih yang melarangnya, tanpa suatu keperluan yang semisal hawatir terjadi
pembongkaran (dicuri), penggalian oleh binatang buas atau runtuh karena air bah
(banjir). Makruh membangun seperti itu, adalah jika kuburannya berada di tanah
milik sendiri. Apabila membangun tembok liang kubur yang tanpa keperluan
seperti di atas atau membengun semacam kubah di atas kubur itu dilakukan pada tanah
pekuburan musabbalah, yaitu sebidang tanah yang disediakan oleh penduduk suatu
negeri untuk mengubur mayat, baik diketahui asal mula pemilik atau orang
pemusabbalahnya atau tidak, atau dilakukan pada tanah kubur waqafan, maka
hukumnya haram dan wajib dihancurkan/dibongkar. Sebab bangunan tersebut menjadi
permanen setelah mayat membusuk dan punah, yang berarti mempersempit tanah buat
muslimin lain, sedang tanpa keperluan syara'. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 72)
Imam
Nawawi dalam kitabnya menegaskan :
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْاَصْحَابُ : يُكْرَهُ اَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ
وَاَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ اِسْمُ صَاحِبِهِ أَوِ غَيْرِ ذَلِكَ، وَاَنْ يُبْنَي عَلَيْهِ
وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيْهِ عِنْدَنَا
..... قَالَ اَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللهُ وَلَا فَرْقَ فِي الْبِنَاءِ بَيْنَ
اَنْ يُبْنَى قُبَّةً أَوْ بَيْتًا أَوْ غَيْرُهُمَا، ثُمَّ يُنْظَرُ فَاِنْ كَانَتْ
مَقْبَرَةً مُسَبَّلَةً حَرُمَ عَلَيْهِ ذَلِكَ، قَالَ اَصْحَابُنَا وَيُهْدَمُ هَذَا
الْبِنَاءُ بِلَا خِلَافٍ ..... قَالَ اَصْحَابُنَا وَاِنْ كَانَ اْلقَبْرُ فِي مِلْكِهِ
جَازَ بِنَاءٌ مَا شَاءَ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَا يُهْدَمُ عَلَيْهِ
Imam Syafi'i dan para sahabatnya berkata : Makruh hukumnya kuburan
itu dikapur atau ditulis di atasnya nama Almarhum atau yang lainnya dan
didirikan bangunan di atasnya. Hal ini sudah tidak ada perbedaan pendapat lagi
dikalangan madzhab kami (madzhab Syafi'i)..... Sahabat-sahabat kami berkata
(semoga Allah merahmati mereka), bahwa tidak ada perbedaan dalam hal bangunan
yang berbentuk kubah atau berbentuk rumah atau yang lainnya. Kemudian harus
ditinjau, jika tanah pekuburan itu milik umum, maka hukumnya haram.
Sahabat-sahabat kami berkata, harus dihancurkan bangunan itu tanpa ada
perbedaan pendapat..... Sahabat-sahabat kami berkata, jika tanah pekuburan
kepunyaan sendiri, boleh mendirikan bangunan sesuai kehendaknya, namun hukumnya
makruh dan tidak harus dihancurkan. (Kitab Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz V,
halaman 298)
Syaikh
Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya menegaskan :
وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ سَوَاءُ كُتِبَ اسْمُ صَاحِبِهِ أَوْ
غَيْرِهِ نَعَمْ إِنْ كُتِبَ اسْمُ صَاحِبِهِ وَنَسَبِهِ بِقَصْدِ أَنْ يُعْرَفُ فَيُزَارَ
فَلَا كَرَاهَةَ بِشَرْطِ الْاِقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ
لَا سِيَمَا قُبُوْرُ اْلأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ فَإِنَّهَا
لَا تُعْرَفُ إِلَّا بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ السِّنِيْنَ
Dan makruh menulis di atasnya, baik menulis
nama pemiliknya atau lainnya. Jika ditulis nama pemiliknya dan menisbatkannya
dengan maksud agar diketahui untuk diziarahi, maka tidak makruh dengan sebatas
kebutuhan, terlebih kuburnya para wali, orang alim dan orang saleh, karena
kuburan itu tidak akan diketahui kecuali dengan itu ketika masanya telah lama.
(Kitab Nihayatuz Zain
fi Irsyadi Al-Mubtadi'ian , Juz l, halaman 154).
BACA JUGA :
http://www.wongsantun.com/2018/05/membuat-kubah-dan-memasang-kain-di-batu.html
BACA JUGA :
http://www.wongsantun.com/2018/05/membuat-kubah-dan-memasang-kain-di-batu.html
Terimakasih pencerahannya
BalasHapus