Bermesraan
antara suami istri yang disertai syahwat (atau karena motivasi syahwat) dalam
keadaan berpuasa, secara fiqih formal (hukum) maka hukumnya makruh karena kalau
tidak terkendali dapat mengarah pada terjadinya persetubuhan yang amat dilarang.
Namun
dalam perspektif fiqih spiritual (tasawuf) perilaku yang demikian (bermesraan
dalam keadaan berpuasa) jelas tidak baik karena dapat mengganggu dan mengurangi
paahala puasa, dan sebagai salah satu pertanda belum mampunya seseorang
mengendalikan diri/nafsu. Sangat beda dengan Rasulullah saw yang sangat mampu
dalam mengendalikan diri beliau, dijelaskan dalam hadits :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ
صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لإِرْبِهِ
Dari Aisyah rah, ia berkata : Rasulullah saw pernah mencium dan
mencumbuku mesra ketika beliau sedang berpuasa. Tetapi beliau memang seorang
yang paling bisa mengendalikan nafsunya di antara kalian. (H. R. Muslim no.
2632)
Orang
yang sedang bepuasa jika sampai melakukan hubungan badan (bersetubuh) dengan
istri dalam keadaan sadar atau sengaja, maka puasanya jelas batal dan wajib
membayar denda (kafarat), sebagai mana dijelaskan dalam hadits :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ. قَالَ
وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ. قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ
رَقَبَةً. قَالَ لاَ. قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ. قَالَ لاَ. قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا.
قَالَ لاَ. قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ.
فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا
أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ
أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Seorang laki-laki datang
menghadap Nabi saw dan berkata : Celaka diriku wahai Rasulullah. Beliau
bertanya : Apa yang telah mencelakakanmu? Laki-laki itu menjawab : Saya telah
menggauli isteriku di siang hari pada bulan Ramadlan. Beliau bertanya : Sanggupkah
kamu untuk memerdekakan budak? Ia menjawab : Tidak. Beliau bertanya lagi :
Sanggupkan kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab : Tidak. Beliau
bertanya lagi : Sanggupkah kamu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?
Ia menjawab : Tidak. Abu Hurairah berkata : Kemudian laki-laki itu pun duduk, lalu
diber Nabi saw satu keranjang berisi kurma. Maka beliau pun bersabda : Bersedekahlah
dengan kurma ini. Laki-laki itu pun berkata : Adakah orang yang lebih fakir
dari kami. Karena tidak ada penduduk di sekitar sini yang lebih membutuhkannya
dari pada kami. (Mendengar ucapan itu), maka Nabi saw tertawa hingga gigi
taringnya terlihat. Akhirnya beliau bersabda : Pulanglah dan berilah makan
keluargamu dengannya. (H. R. Muslim no. 2651, Bukhari no. 6711)
Lain
halnya jika suami sekedar mengecup kening istri, sebagai perwujudan dan
ekspresi kasih sayang atau istri mencium tangan suami ketika bersalaman sebagai
perwujudan dan ekspresi penghormatan, maka tidak masalah, tidak makruh, tidak
mengganggu pahala puasa, bahkan merupakan kabaikan yang berpahala, selama semua
itu tidak didasari dengan nafsu.
BACA JUGA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar