Dalam
hadits disebutkan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ
قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Betapa banyak
orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali
rasa lapar dan dahaga, dan betapa banyak orang yang shalat malam namun dia
tidak mendapatkan dari shalat malamnya tersebut kecuali hanya berjaga (tidak
tidur malam). (H. R. Ahmad no. 9091, Ibnu Khuzaimah no. 1875 dan lainnya)
Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya menegaskan :
عَنْ أَنَسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمِ الْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ
الْكَاذِبَةُ وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ
Dari Anas, dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda : Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa, yaitu berdusta,
ghibah (menyebut kejelekan orang lain), adu domba (menfitnah), sumpah palsu dan
melihat dengan syahwat. (Kitab ihya' ulumuddin,
Juz I, halaman 454)
Dan bagaimana kedudukan hadits tersebut? Jumhur fuqaha dari madzhab
Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara
maksiyat semacam itu tidak membatalkan puasa, kecuali imam Al-Awza’i beliau
mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan puasa dan wajib diqadhai, beliau
mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits di atas dan juga hadits berikut
:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ
لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan
dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli (membutuhkan) ia meninggalkan
makan dan minumnya. (H.R. Bikhari no. 1903)
Pendapat Al-Awza’i dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan
dibawah ini :
Imam
Nawawi dalam kitabnya menegaskan :
واجاب اصحابنا عن هذه
الاحاديث سوى الاخير بان المراد ان كمال الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته
عن اللغو والكلام الردئ لا أن الصوم يبطل به (واما) الحديث الاخير " خمس
يفطرن الصائم " فحديث باطل لا يحتج به واجاب عنه الماوردي والمتولي وغيرهما
بان المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم
Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar
Al-Bujairami dalam kitabnya
menegaskan :
قَالَ السُّبْكِيُّ : وَحَدِيْثُ { خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ
الْغَيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ } إلَى آخِرِهِ ضَعِيْفٌ، وَإِنْ صَحَّ
Imam As-Subki mengatakan : Dan hadits (Lima perkara yang membatalkan orang yang
berpuasa, ghibah (menyebut kejelekan orang lain), adu domba (menfitnah) dan
seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya). (Kitab Hasyiyah Al-Bujairami 'Alal Khathib, Juz VI,
halaman 457).
Imam
Ash-shan'ani dalam kitabnya menegaskan :
اَلْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ
عَلَى تَحْرِيمِْ الْكَذِبِ وَالْعَمَلِ بِهِ وَتَحْرِيْمِ السَّفَهِ عَلَى
الصَّائِمِ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى غَيْرِ الصَّائِمِ أَيْضًا إلَّا أَنَّ
التَّحْرِيْمَ فِي حَقِّهِ آكَدُ كَتَأَكُّدِ تَحْرِيْمِ الزِّنَا مِنَ الشَّيْخِ
وَالْخُيَلَاءِ مِنَ الْفَقِيْرِ
Hadits tersebut adalah dalil atas keharaman berdusta dan berbuat
dusta dan keharaman berbuat bodoh atas orang yang berpuasa, dan keduanya adalah
haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang
yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi seorang syaikh
(tua) dan sifat sombong bagi orang yang faqir. (Kitab Subulus Salam, Juz III, halaman 319)
Imam
Abu Husain Yahya bin Abu Al-Khair Salim Al-Imrani dalam kitabnya menegaskan :
وأما الخبر: فالمراد به: أنه
يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب:
أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى
يصير في معنى من لم يصل
Dan adapu hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan
pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa,
sebagaimana contoh hadits Nabi saw : Barang siapa yang berkata kepada
saudaranya sedangkan imam berkhutbah :
Diamlah, maka tidak ada jum’at baginya. Hadits ini tidak bermaksud
sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya
gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak shalat (Kitab Al-Bayan fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i,
Juz III, halaman 536)
Dapat
disimpulkan bahwa hal-hal
yang membatalkan (menggugurkan) pahala puasa meskipun puasanya tetap dianggap
sah adalah berdusta, ghibah (menyebut kejelekan orang lain), adu
domba (menfitnah), sumpah palsu dan melihat dengan syahwat. Walaupun maksiyat
semacam itu haram dilakukan di setiap waktu dan kapanpun, akan tetapi lebih
diharamkan lagi bagi orang yang berpuasa sebagaima hadits-hadits di atas,
supaya tidak membatalkan (menggugurkan) pahalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar