Mencari
tanda-tanda yang bisa menunjukkan arah kiblat, seperti masjid, makam Islam,
kompas, perbintangan dan lainnya, juga tidak ketinggalan harus bertanya kepada
orang yang telah mengetahui arah kiblat. Dalam Al-Qur'an dan hadits disebutkan
:
فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,
kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Q.S. 16
An-Nahl 43)
عَنْ جَابِرٍ .... أَلاَّ سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا فَإِنَّمَا
شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ
Dari Jabir .... Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak
mengetahui, karena obat dari keraguan (kebodohan) adalah bertanya. (H. R. Abu
Daud no. 336)
Jika
di tempat itu sama sekali tidak diperoleh informasi tentang arah kiblat, maka
ia wajib berijtihad.
Pengertian
ijtihad menurut keterangan para ulama adalah :
بَذْلُ
الْمَجْهُوْدِ فِى طَلَبِ الْمَقْصُوْدِ. اَوْ بَذْلُ الْوُسْعِ فِى طَلَبِ
الْغَرَضِ
Mencurahkan segala kem,ampuan untuk mencapai tujuan. atau
Mengerahkan segala daya demi tercapai cita-cita
Dalam
beberapa hadits di jelaskan :
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِى سَفَرٍ فِى لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ فَلَمْ نَدْرِ أَيْنَ الْقِبْلَةُ فَصَلَّى
كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَى حِيَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحْنَا ذَكَرْنَا ذَلِكَ
لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ
(فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ)
Dari Abdillah bin Amir bin Rabi'ah, dari bapaknya, ia berkata :
Kami bersama-sama Nabi saw dalam suatu perjalanan pada malam yang gelap gulita
sehingga kami tidak mengetahui di mana arah kiblat. Lalu kami shalat menurut
pendapat masing-masing. Setelah waktu subuh tiba, kami beritahukan kejadian itu
kapada Nabi saw, maka ketika itu turunlah ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 115 : maka ke mana pun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. (H. R. Tirmidzi no. 346)
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَّلٍ قَالَ : صَلَّيْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فِي
يَوْمٍ غَيْمٍ فِي سَفَرٍ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ وَسَلَّمَ
تَجَلَّتِ الشَّمْسُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّيْنَا إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ
فَقَالَ قَدْ رُفِعْتَ صَلَاتُكُمْ بِحَقِّهَا إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جّلَّ
Dari Mu'adz bin Jabbal ia berkata : Kami pernah shalat bersama
Rasulullah dalam suatu perjalanan,
ketika itu hari gelap karena mendung dengan tidank menghadap kibklat. Tatkala
selesai shalat dan memberi salam, tiba-tiba matahari keluar dari balik mega,
lalu kami berkata : Ya Rasulullah, kita shalat tidak menghadap ke kiblat. Beliau
menjawab : Shalat kalian sudah dinaikkan ke hadirat Allah Azza wa Jalla dengan
haknya. (H. R. Thabrani no. 246 dalam kitabnya Al-Mu'jam Al-Ausath)
Status
shalat seperti di atas dipandang sah dan tidak wajib mengulangi lagi meskipun
setelah selesai shalat ternyata terdapat kekeliruan dalam menghadap arah
kiblat.
Sayyid
Sabiq dalam kitabnya menegaskan :
مَنْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ أَدِلَّةُ الْقِبْلَةِ، لِغَيْمٍ أَوْ ظُلْمَةٍ
مَثَلًا وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ مَنْ يَدُلُّهُ عَلَيْهَا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ
مَنْ يَسْأَلُهُ اِجْتَهَدَ وَصَلَّى إِلَى الْجِهَةِ الَّتِيْ إِلَيْهَا اِجْتَهَادُهُ،
وَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ وَلَا اِعَادَةَ عَلَيْهِ، حَتَّى وَلَوْ تَبَيَّنَ لَهُ خَطَؤُةُ
بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ، فَإِنْ تَبَيَّنَ لَهُ الْخَطَأُ أَثْنَاءَ
الصَّلَاةِ اِسْتَدَارَ إِلَى الْقِبْلَةِ وَلَا يَقْطَعُ صَلَاتَهُ. فَعَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءَ فِي صَلَاةِ
الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: إِنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ
فَاسْتَقْبِلُوْهَا. وَكَانَتْ وُجُوْهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوْا إِلَى
الْكَعْبَةِ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. ثُمَّ إَذَا صَلَّى بِالْاِجْتِهَادِ إِلَى جِهَةٍ
لَزِمَهُ إِعَادَةُ اْلاِجْتِهَادِ إِذَا أَرَادَ صَلَاةً
أُخْرَى، فَإِنْ تَغَيَّرَ اِجْتِهَادُهُ عَمِلَ بِالثَّانِيْ، وَلَا يُعِيْدُ مَا
صَلَّاةُ بِالْاَوَّلِ
Barang siapa yang masih samar terhadap hal-hal yang menunjukkan
arah kiblat, misalnya karena cuaca mendung atau gelap, maka ia wajib bertanya
kepada orang yang dapat menunjukkannya. Jika ia tidak menemukan orang yang bisa
ditanya, maka ia wajib melakukan ijtihad dan wajib shalat sesuai dengan hasil
ijtihadnya. Shalatnya dipandang sah, dan tidak wajib diulangi lagi sekalipun
ternyata ada kekeliruan setelah selesai shalatnya. Jika ia benar-benar keliru
di tengah-tengah shalat, makaia cukup berputar ke arah kiblat dan tidak usah
memutuskan shalatnya. Dasarnya adalah hadits riwayat Ibnu Umar ra. Beliau
berkata : Ketika orang-orang (para sahabat) sedang melaksanakan shalat subuh
dimasjid Quba, tiba-tiba ada yang datang memberitahukan bahwasanya Nabi saw
tadi malam teleh menerima wahyu berupa ayat Al-Qur'an (Surat Al-Baqarah ayat 144) yang isinya
menerangkan bahwa Nabi saw disuruh menghadap Ka'bah. Maka menghadaplah kalian
padanya, kala itu mereka menghadap ke Syam (Baitul Maqdis), maka mereka
berputar ke arah Ka'bah (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim). Kemudian jika
seseorang shalat menghadap ke suatu arah tertentu dengan hasil ijtihad, makaia
wajib mengulangi ijtihadnya apabila hendak melakukan shalat yang lain. Jika
terdapat perubahan dalam ijtihadnya, maka ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya
yang kedua, dan tidak wajib mengulangi shalat yang telah dilaksanakan dengan
hasil ijtihad yang pertama. (Kitab Fiqhus Sunnah, Juz I, halaman 129)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar