Dalam
Islam, menghina Tuhan agama lain merupakan suatu hal yang sangat dilarang.
Karena dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Bukan hanya bagi dirinya sendiri
namun juga terhadap Allah swt
Al-Qur’an adalah cerminan akhlak Rasulullah. Salah satu di
antara akhlak yang diajarkan Al-Qur’an dan diterapkan oleh Rasulullah adalah
mengucapkan kata-kata yang baik dalam berhubungan sosial. Termasuk menghindari
mencela agama lain terutama terhadap tuhan mereka ketika berdakwah. Tentu ini
menjadi sebuah peringatan bagi kita semua khususnya dengan banyaknya dai-dai
muda yang terkadang secara sengaja maupun tidak sengaja menjelekkan agama lain
dalam ceramahnya
Tentunya, di era modern ini mencaci agama lain justru
menyebabkan citra yang buruk bagi umat Islam. Karena itu, meskipun cacian atas
agama lain tersebut sesuai dengan kenyataan, tetaplah tidak diperbolehkan.
Karena hal itu, justru berdampak buruk pada citra agama Islam
Dalam Al-Qur'an disebutkan :
وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ
دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ
أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا
كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan. (Q.S. 6 Al An'aam 108)
Dalam penghujung ayat di atas merupakan sebuah peringatan
agar umat Islam memasrahkan urusan non-Muslim kepada Allah. Karena hanya Allah
lah yang berhak memberikan hidayah kepada makhluknya. Sedangkan, dakwah para
Dai hanyalah sebagai lantaran dalam masuknya hidayah ke dalam hati umat.
Syaikh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan
:
يقول تعالى ناهي الرسوله صلى الله عليه وسلم والمؤمنين عن سب آلهة
المشركين، وإن كان فيه مصلحة، إلا أنه يترتب عليه مفسدة أعظم منها، وهي مقابلة
المشركين بسب إله المؤمنين، وهو الله لا إله إلا هو
Allah swt berfirman, melarang Rasul-Nya dan
orang-orang mukmin memaki sesembahan orang-orang musyrik, sekalipun dalam
makian itu terkandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat
(kerusakan) yang lebih besar dari pada itu. Kerusakan yang dimaksud adalah
balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum
mukmin. (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, halaman 314)
عن ابن عباس في هذه الآية: قالوا: يا محمد، لتنتهين عن سبك آلهتنا، أو
لنهجون ربك، فنهاهم الله أن يسبوا أوثانهم،
Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabul nuzul
ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata : Hai Muhammad,
berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami, atau kalau tidak berhenti kami
akan balas mencaci maki Tuhanmu. Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci
berhala-berhala sesembahan kaun musyrik. (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Juz III,
halaman 314)
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan
:
قال العلماء: حكمها باق في هذه الأمة على كل حال، فمتى كان الكافر في
منعة وخيف أن يسب الإسلام أو النبي عليه السلام أو الله عز وجل، فلا يحل لمسلم
أيسب صلبانهم ولا دينهم ولا كنائسهم، ولا يتعرض إلى ما يؤدي إلى ذلك، لأنه بمنزلة
البعث على المعصية.
Ulama berkata : Hukum larangan mencaci agama lain adalah
hukum pasti dan tidak bisa diubah dengan alasan apapun, selama dikhawatirkan
kaum non-Muslim mencaci agama Islam atau Nabi saw atau Allah swt, maka selama
itulah umat Islam tidak diperbolehkan mencaci agama lain baik itu mencaci salib
mereka, agama mereka ataupun mencaci
gereja mereka, serta umat Islam tidak boleh melakukan hal-hal yang menjurus
terhadap penghinaan terhadap agama Islam karena hal tersebut terhitung
melakukan hal yang berpotensi buruk". (KItab Tafsir Al-Qurthubi, Juz VII,
halaman 61)
Secara umum, bila seseorang itu dimaki atau dicaci, maka
dia akan membalas caciannya, seperti dicontohkan dalam hadits :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ
فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah
bin Amru ra dia berkata; Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya termasuk
dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri,
beliau ditanya: Kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah? beliau
menjawab : Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang
tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang pertama. (H. R. Bukhari
no. 5973)
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan)
yang jauh lebih parah dari pada maslahat adalah hal yang diperintahkan.
hal ini juga
sesuai dengan kaidah fiqih :
دَرْءُ الْمَفَاسِدُ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(mencegah timbulnya bahaya itu harus
diprioritaskan dibanding mengupayakan adanya manfaat).
Berikut Video yang berkaitan dengan judul :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar