Rabu, 20 November 2024

Hukum Makmum Menyendiri dari Shaf Shalat

 


Imam sebelum memulai shalat berjamaah dianjurkan menata barisan / shaf para jamaah dengan bacaan :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوْا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ.

Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Luruskan shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu termasuk dari kesempurnaan shalat. (H. R.Muslim no. 1003)

Atau dengan bacaan :

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوْا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

Dari Anas dari Nabi saw bersabda : Luruskan shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu termasuk dari menegakkan shalat. (H. R. Bukhari no. 713)

Meski dalam praktiknya, imam senantiasa menyeru para makmum dengan Hadis Nabi di atas untuk mengingatkan agar para makmunya meluruskan barisan shalatnya. Tapi terkadang kita tidak menyadari apa konsekuensi hukumnya bagi makmum yang dalam shalat jamaahnya tidak meluruskan barisannya, seperti makmum yang justru memisahkan diri dari barisan jamaah padahal shaf ini masih longgar maka ia dihukumi makruh

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menyebutkan :

 (وَكُرِهَ) لِمَأْمُوْمٍ (اِنْفِرَادٌ) عَنِ الصَّفِّ الَّذِيْ مِنْ جِنْسِهِ إِنْ وَجَدَ فِيْهِ سَعَةً، بَلْ يَدْخُلُهُ.

Dihukumi makruh bagi makmum yang shalat berjamaah (berdirinya) menyendiri terpisah dari barisan shalat jamaah yang sejenis jika dalam shaf itu masih ada ruang yang tersisa, ia supaya masuk ke dalam barisan itu (Kitab Fathul Mu'in, Juz II, halaman 30)

Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya menjelaskan :

وَيَكْرُهُ لِلْمَأْمُوْمٍ وَقُوْفُهُ مُنْفَرِدًا عَنِ الصَّفِّ إِذَا وَجَدَ فِيْهِ سَعَةً

Dimakruhkan bagi makmum berdiri sendirian dalam barisan, bila dalam shaf itu masih ada ruang yang tersisa. (Kitab Al-Minhaj Al-Qawim Syarah Muqaddimah Hadhramiyah Juz I, halaman 177).

Dan dihukumi mahruh juga bila sfah depannya belum penuh tapi membuat shaf lagi di belakangnya

Sayyid Al-Bakri Ad-Dimyathi dalam kitabnya  menjelaskan :

يُكْرَهُ إِنْشَاءُ صَفٍّ مِنْ قَبْلِ إِتْمَامِ مَا قَبْلَهُ، وَصَرَّحُوْا بِأَنَّ كُلَّ مَكْرُوْهٍ مِنَ حَيْثُ الْجَمَاعَةِ يَكُوْنُ مُبْطِلًا لِفَضِيْلَتِهَا، أَيِ الَّتِيْ هِيَ سَبْعٌ وَعِشْرُوْنَ دَرَجَةً.

Makruh hukumnya membuat shaf baru sebelum sempurna (lengkap) shaf sebelumnya. Dan para ulama juga telah menjelaskan bahwasanya mengerjakan yang hukumnya makruh dalam shalat jamaah, maka perbuatan itu akan menggugurkan fadhila berjamaah yang banyaknya dua puluh tujuh derajat. (Kitab I'anatuththalibin, Juz II, halaman 25)

Dari fatwa dan penjelasan para ulama tersebut di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut : Jika seorang yang shalat pada satu barisan (shaf) itu berdiri sendiri (tidak nyambung dengan jamaah disebelahnya), atau jika seorang shalat pada shaf kedua atau ketiga, padahal shaf yang pertama masih kosong, dia itu dipandang berbuat hal yang makruh dalam shalat. Karena itu, walaupun shalatnya tetap sah, namun ia tidak memperoleh pahala berjamaah.

Bacaan Imam Meluruskan shaf ( 1 )

 


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوْا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ.

Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Luruskan shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu termasuk dari kesempurnaan shalat. (H. R.Muslim no. 1003)

Jumat, 15 November 2024

Keutamaan Banyak Membaca Istighfar

 


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكْثَرَ مِنَ الاِسْتِغْفَارِ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

Dari Abdullah bin Abas ia berkata, Rasulullah saw bersabda :  Barang siapa yang senantiasa )memperbanyak baca) beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. (HR Ahmad no. 2273)  

Selasa, 12 November 2024

Cara Menikahkan Janda

 


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ

Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya. Mereka bertanya : Bagaimana mengetahui izinnya?  Beliau menjawab : Dia diam.. (H. R. Bukhari no. 6970)

Minggu, 10 November 2024

Bolehkan Shalat Sendiri Tapi Niat Jadi Imam

 


Seseorang yang shalat sendiri (munfarid) tetap dianjurkan untuk berniat menjadi imam jika ia meyakini akan ada orang datang setelahnya. Bila berniat menjadi imam, ia akan mendapatkan keutamaan shalat jamaah sekalipun niat itu dilakukan di pertengahan shalat. Namun dia tidak mendapatkan keutamaan shalat jamaah jika tidak berniat menjadi Imam baik itu dilakukan di awal shalat atau di pertengahan.

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menyebutkan :

وَتَصِحُّ نِيَّتُهَا مَعَ تَحَرُّمِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلْفَهُ أَحَدٌ، إِنْ وَثِقَ بِالْجَمَاعَةِ عَلَى اْلاَوْجِهِ، لِاَنَّهُ سَيَصِيْرُ إِمَامًا، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ، وَلَوْ لِعَدَمِ عِلْمِهِ بِالْمُقْتَدِيْنِ، حَصَلَ لَهُمُ الْفَضْلُ دُوْنَهُ، وَإِنْ نَوَاهُ فِيْ الأَثْنَاءِ حَصَلَ لَهُ الفَضْلُ مِنْ حِيْنَئِدٍ, أَمَّا فِيْ الجُمُعَةِ فَتَلْزَمُهُ مَعَ التَحَرُّمِ.

Niat menjadi imam ketika takbiratul ihram terbilang sah kendati di belakangnya tiada orang satupun yang mengikutinya jika ia yakin setelah itu ada orang yang menjadi makmumnya menurut pendapat yang shahih. Ini diperbolehkan karena ia akan menjadi Imam. Tetapi jika ia tidak berniat sebagai imam, dan tidak mengetahui akan datangnya makmum, lalu datang jamaah, makmumnya tetap mendapatkan keutamaan (shalat jamaah), sementara imam tidak memperoleh keutamaan (shalat jamaah). Seandainya ia niat berjama’ah (menjadi imam) di tengah mengerjakan shalat maka ia mendapatkan keutamaan itu. Adapun dalam shalat jum’ah wajib baginya niat berjama’ah saat takbiratul ihram. (Kitab Fathul Mu'in, Juz II, halaman 26)

 


Sabtu, 09 November 2024

Wanita Boleh Shalat Jamaah di Masjid

 


عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

Dari Salim dari bapaknya dari Nabi saw, beliau bersabda: Jika salah seorang dari isteri kalian meminta izin ke masjid, maka janganlah ia melarangnya. (H. R.  Bukhari no. 5238)

Sikap Makmum Bila Imam Meninggal Dunia

 


Dalam kondisi seperti itu yaitu bila imam yang sedang menjadi imam shalat lalu mendadak meninggal dunia atau pingsan, maka shalat berjamaah tetap berlangsung dengan salah satu makmum maju sebagai imam pengganti, lalu makmum lainnya menolong imam yang terjatuh tersebut dengan jalan membatalkan shalatnya untuk menolong imam tersebut. Dalam keadaan semacam ini boleh saja orang membatalkan shalat karena ada kepentingan. Makmum yang menolong  secukupnya saja, kalau cukup tiga maka yang keempat tidak  boleh ikut menolong

Lalu bagaimana hukum membatalkan shalat dalam keadaan tersebut ?

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya merngatakan :

قَدْ يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لِضَّرُوْرَةِ، وَقَدْ يُبَاحُ لِعُذْرٍ

Wajibnya seseorang untuk membatalkan shalat karena ada kondisi darurat (yang mengharuskan mengakhiri shalat walaupun belum selesai). Sementara kebolehan meninggalkan shalat karena adanya udzur. (kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,Juz II halaman 1053)

Juga dapat kita lihat dalam kaidah ushuliyah yang bisa dikolerasikan dengan peristiwa tersebut yaitu, Kalau ada pertentangan antara hak Allah dan hak manusia, maka yang jadi prioritas adalah hak manusia. Hak Allah mengalah karena Dia Maha Kasih dan Penyayang

Syaikh Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam Al Salami dalam kitabnya mengatakan :

تَقْدِيْمُ إنْقَاذِ الْغَرْقَى الْمَعْصُوْمِيْنَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ ، لِأَنَّ إنْقَاذَ الْغَرْقَى الْمَعْصُوْمِيْنَ عِنْدَ اللهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمَصْلَحَتَيْنِ مُمْكِنٌ بِأَنْ يُنْقِذَ الْغَرِيْقَ ثُمَّ يَقْضِي الصَّلَاةَ ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَا فَاتَهُ مِنْ مَصْلَحَةِ أَدَاءِ الصَّلَاةِ لَا يُقَارِبُ إنْقَاذَ نَفْسٍ مُسْلِمَةٍ مِنَ الْهَلَاكِ .

Mendahulukan penyelamatan orang-orang yang dilindungi nyawanya yang tenggelam atas menunaikan shalat. Karena menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam lebih utama di sisi Allah dibanding menunaikan shalat dalam kondisi tersebut. Karena masih bisa dilakukan upaya keduanya, menyelamatkan orang tenggelam kemudian qadha shalat. Sudah maklum hilangnya waktu shalat tidak seberapa dibandingkan hilangnya nyawa orang yang beriman. (Kitab Qawaid Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Juz I halaman 57)