Keterangan
di bawah ini menjelaskan kepada kita bahwa diperbolehkannya tabarruk dengan
mencium mimbar dan kubur Nabi :
Dalam
kitab At-Thabaqat yang disusun oleh Ibnu Sa’ad Abdurrahman bin Abdul Qadir mengatakan: “bahwa ia
melihat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab ra. bertabarruk dengan mengusapkan
tangannya pada tempat duduk Rasulullah saw. yang berada di mimbar
beliau, kemudian mengusapkan tangan itu pada wajahnya”. Dalam riwayat yang
lain lagi, Abdurrahman mengatakan; “bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar juga
mengusapkan tangannya pada bagian mimbar yang dahulu sering dipegang oleh
Rasulallah saw”.
Ibnu
Taimiyah mengemukakan sebuah riwayat berasal dari Ahmad bin Hanbal, bahwa ia (Imam Ahmad) membolehkan orang mengusap mimbar dan rumanahnya (benda bulat dari kayu
yang berada di atas mimbar kuno, tempat berpegang pada saat orang sedang
berkhutbah). Ibnu Taimiyah juga meriwayatkan
bahwa “Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id (salah seorang ulama Fiqih di Madinah) semuanya pernah melakukan hal
seperti itu”. (Syaikh Ibn Taimiyah,
Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 367).
Dinukil dari Syeikh Al-Allamah
Ahmad bin Muhamad Al-Maqri (Al-Maliki) –wafat tahun 1041 H, dalam kitab Fathu
Al-Muta’al bi Shifat An-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin Al-Iraqi yang
menyatakan: Al-Hafidh Abu Sa’id bin Al-‘Ala menyatakan: Aku melihat ungkapan
Ahmad bin Hanbal pada cetakan/bagian lama (juz qodim) dimana terdapat tulisan
tangan Khath bin Nashir (Beliau adalah Al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul
Fadhl Al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab Al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201
menjelaskan bahwa beliau adalah
hafidh [penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa Al-Hafidh lainnya yang menyatakan
bahwa; Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah
ditanya tentang mencium kubur Nabi dan
mencium mimbarnya. Lalu beliau
berfatwa: Hal itu tidak mengapa.
Ia (Al-Hafidh Abu
Sa’id bin Al-‘Ala)
berkata: Aku tunjukkan hal itu kepada At-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia
terkejut dengan hal itu dengan menyatakan:
‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku. Beginilah
ungkapannya atau kandungan ungkapannya,. Kemudian (Al-Hafidh Abu Sa’id bin Al-‘Ala) berkata lagi: Adakah
keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad
bahwa ia telah mencuci baju Asy-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas
cucian tadi. (Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 1 halaman:
365 pada kejadian tahun 241 H).
melihat riwayat ini,
Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa membolehkan tabarruk
terhadap kuburan Rasulullah saw. dan Imam
Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia
hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, beginilah ungkapannya atau kandungan ungkapannya? Kalau memang ini
bid'ah dan syirik mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam
Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik
yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal”.
Imam Ahmad bin Hanbal
sendiri pernah juga bertabarruk, dan Al-Hafidz membenarkannya. Hal itu
dituturkan oleh Abdullah bin Ahmad (putera Imam Ahmad): ‘Saya pernah melihat
ayahku mengambil sehelai rambut Rasulullah saw. lalu dicium dengan mulutnya.
Bahkan saya pernah melihatnya menempelkan rambut Rasulullah saw. pada matanya, kemudian mencelupkannya dalam air lalu dia meminum
air itu, bertabarruk mohon kesembuhan.
Saya pernah juga melihat ayahku memegang piring Rasulullah saw. kemudian
dicucinya lalu ia minum air yang berada dipiring
itu. Saya pun pernah melihat ayahku minum air zam-zam bertabarruk mohon kesembuhan, dan setelah itu ia mengusap-usap
tangan dan mukanya dengan air tersebut’.
Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal ini telah bertanya pada ayahnya mengenai orang yang menyentuh atau
mengusap-usap rummanah (benda bulat dari
kayu yang berada di atas mimbar kuno, tempat berpegang pada saat orang sedang
berkhutbah) mimbar Rasulullah saw. dan
mengenai orang yang mengusap-usap atau mencium Hajar Al-Aswad (batu
hitam yang terletak dipojok Ka’bah). Sebagai jawaban beberapa pertanyaan
tersebut ayah beliau Imam Ahmad bin Hanbal berkata: ‘Saya berpendapat hal
itu tidak ada salahnya. Semoga Allah melindungi semua dan ayahmu dari pendapat kaum Khawarij dan dari berbagai bid’ah. (Siyaru A’lami-Nubala’ jilid 11 hamalan
312).
Dinukil dari Ibnu
Jama’ah (As-Syafi’i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan perihal ayahnya. Ia (Abdullah)
meriwayatkan: 'Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang
menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan mengusap-usap juga menciumnya. Dan juga melakukan di
kuburan sebagaimana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan
mengharap pahala Allah'. Beliau
menjawab: “Tidak mengapa”. (Wafa’ Al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1414).
Syeikh Ibnu Hajar
berfatwa: “Sebagian menggali dasar hukum dari legalitas mencium Hajar Aswad
dengan diperbolehkannya mencium segala yang memiliki potensi untuk diagungkan
dari manusia ataupun selainnya (benda)”
(Wafa’ Al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)
Syeikh
Ibrahim Al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka
tidak makruh” (Syarh Al-Fiqh Asy-Syafi’i
Jilid:1 Halaman 276)
Syeikh
Muhibbuddin Ath-Thabari berfatwa: “Diperbolehkan mencium dan menyentuh
kuburan. Itu merupakan perbuatan para ulama dan orang-orang sholeh” (Asna Al-Matholib jilid: 1 halaman: 331 atau
sebagaimana yang dinukil dalam kitab Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1407)
Syeikh
Ar-Ramli Asy-Syafi’i berfatwa: “Jika kuburan Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan
tabarruk maka tidak mengapa” (Kanzul
Matholib karya Al-Hamzawi halaman: 219)
Syeikh
Az-Zarqoni Al-Maliki menfatwakan: “Mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka
tidak makruh” (Syarh Al-Mawahib
jilid: 8 halaman: 315).
Syeikh
Al-Adwi Al-Hamzawi Al-Maliki menfatwakan: “Tiada keraguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasulullah) tidak
akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal
itu lebih utama dalam pembolehannya dibanding
dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (waliyullah)” (Kanzul Matholib halaman: 20 dan Masyariq Al-Anwar
jilid: 1 halaman: 140).
Syeikh Syihabuddin Al-Khoffaji Al-Hanafi
menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang
mengatakan: ‘Dimakruhkan menyentuh, mencium dan menempelkan
dada’. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini (hukum makruhnya)
tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan Thabari mengatakan
bahwa; tidak mengapa mencium dan
menyentuhnya” (Syarh As-Syifa’
jilid: 3 halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh Syamhudi
dalam Wafa’ Al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404)
Dalam
kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam
Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita
penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia bertabarruk dengan mengusapkan
bisulnya pada makam Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.
Al-Khatib
dalam Tarikhnya mengatakan, ketika tinggal di Iraq beberapa waktu lamanya Imam
Syafi’i bertabarruk dengan ziarah kemakam Abu Hanifah.
Dan masih banyak lagi
fatwa-fatwa para ulama yang memperbolehkan
bertabarruk dengan mimbar, kuburan atau benda lain yang dimiliki oleh Nabi saw dan kekasih Allah lainnya (waliyullah),
sehingga kita tidak perlu ragu apalagi takut melaksanakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar