Mengenai tabarruk dengan mengusap dan mencium kubur Nabi, dapat di lihat pada hadits dan keterangan di bawah ini :
حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْمَلِكُ بْنُ عَمْرٌو حَدَّثَنَا كَثِيْرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي
صَالِحٍ قَالَ أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلًا وَاضِعًا وَجْهَهُ
عَلَى الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذَا
هُوَ أَبُو أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُولَ اللهِ r
وَلَمْ آتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r
يَقُوْلُ لَا تَبْكُوْا عَلَى الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلٰكِنِ ابْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ
Telah menceritakan kepada kami
Abdul Malik bin Amru telah menceritakan kepada kami Katsir bin
Zaid dari Daud bin Abu Shalih berkata; pada suatu hari Marwan mendapati seorang
laki-laki yang menempelkan wajahnya di atas kuburan, lalu dia berkata; apakah
engkau mengetahui apa yang sedang engkau lakukan? Lalu diapun mendatanginya
ternyata dia adalah Abu Ayyub lalu berkata; ya, saya mendatangi Rasulullah saw
dan bukan mendatangi batu. saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "janganlah kalian menangisi agama ini jika
dikendalikan oleh ahlinya akan tetapi
tangisilah agama ini jika diurus oleh yang bukan ahlinya (maksudnya adalah Marwan sendiri). (H.R. Ahmad no 24302, Hakim dalam Mustadrak no. 8717, Al-Dhahabi menshahihkannya, Thabrani dalam Mu’jam no. 3999 disahkan oleh Haithami dalam Al-Zawa'id), riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam kitab-kitab: Ibnu Hibban dalam shahihnya, Sehingga tidak
ada seorang ahli hadits lain yang meragukannya.
Atas
dasar hadits di atas maka, As-Samhudi dalam kitab Wafa’ Al-Wafa’ jilid: 4
halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad haditsnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok
kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan
makruh”. Nah, jika hukum makruh
saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari
perbuatan syirik, sebagaimana yang ‘dihayalkan’ oleh madzhab
Salafi (Wahabi).
Hadits di atas itu
jelas menunjukkan disamping ziarah kepada Rasulallah saw. juga pengambilan
berkah dari makam Rasulullah saw. Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan berkah
semacam itu tidaklah mengapa, bukan tergolong syirik ataupun bid’ah sebagaimana
yang dianggap oleh kaum Wahabi. Bila tidak
demikian mengapa Abu Ayyub ra. tidak cukup memberi salam dan berdo’a
kepada Allah swt. tanpa di iringi dengan menempelkan wajahnya di atas pusara
Nabi saw.?
Dalam
konteks riwayat itu juga tidak jelas di sebutkan apa penyebab teguran Marwan terhadap Abu Ayyub. Ada banyak kemungkinan di sini. Yang jelas bukan karena syirik atau bid’ah, karena
kalau benar semacam itu niscaya Marwan akan tetap bersikeras melarang
perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin menjalankan Amar makruf nahi
munkar tidak perduli siapa yang berbuat
(baik itu sahabat maupun bukan sahabat) harus dicegah perbuatan munkarnya. Lalu mengapa Marwan menghentikan
tegurannya ketika melihat bahwa yang
melakukannya adalah Abu Ayyub?
Adapun
teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan dengan teguran para muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar
tempat-tempat suci di Saudi
Arabia. Karena muthowwi' itu dengan jelas
langsung menvonis syirik, bukan karena rasa khawatir syirik, tidak lain karena
kesalahan mereka dalam memahami dan mempraktekkan kaidah Syadzudz Dzarai dan
dalam menentukan tolak ukur antara Tauhid dan syirik.
Jika apa yang
dilakukan Abu Ayyub Al-Anshari (seorang sahabat
besar Rasulullah) itu tergolong
perbuatan syirik (sebagaimana paham kaum
Wahabi) maka mungkinkah seorang sahabat besar semacam beliau melakukan
perbuatan syirik atau akan berbuat sesuatu yang berbau kekufuran atau kesyirikan? Sudah Tentu Tidak Mungkin! Beranikah golongan
pengingkar menyatakan bahwa Abu Ayyub Al-Anshari
pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)?
Abu
Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (Al-Habsyi)
bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan
ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau
menziarahiku?’. Selepas itu, dengan
perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Bilal
mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas
pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan
dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 halaman: 137;
Usud Al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 halaman 208; Tahdzibul Kamal jilid: 4
halaman 289, dan Siar A’lam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1 Halaman 358)
Bilal menganggap
ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw, padahal
secara dhohir beliau saw telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat
Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju
Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulullah benar-benar
telah wafat, sebagaimana anggapan golongan pengingkar (wahabi) bahwa yang telah
wafat itu sudah tiada, maka Bilal tidak
perlu menghiraukan teguran Rasulullah saw itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal
juga bisa dijadikan dalil atas ketidak benaran paham Wahabisme, pemahaman Ibnu
Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab, tentang pelarangan bepergian untuk
ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.
Ibnu Hamlah
menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya di atas pusara
Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’
Al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405). Apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan
tangan di pusara Rasulullah? Mengapa ulama madzhab Wahabi menvonnis syirik
kepada penziarah (jamaah haji) yang ingin mengusap teralis besi penutup pusara
Rasulallah saw. dan kedua sahabatnya (saidina Abu Bakar dan saidina Umar)?
Apakah mereka ini juga menganggap semua hadits yang telah dikemukakan itu
dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya, karena berlawanan dengan pahamnya?
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib kw. bahwa: “Sewaktu Rasulullah dikebumikan, Fatimah (puteri Rasulullah saw)
bersimpuh disisi kuburan Rasulullah dan mengambil sedikit tanah makam
Rasulullah kemudian diletakkan dimukanya dan sambil menangis ia pun membaca
beberapa bait syair….”. (Al-Fatawa
Al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar jilid 2 halaman18, As-Sirah An-Nabawiyah jilid 2 halaman 340, Irsyad As-Sari jilid 3
halaman 352 dan sebagainya)
Jika apa yang
dilakukan Siti Fatimah tersebut adalah Syirik atau bid’ah maka mengapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui
apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah Ali
bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan bid’ah
yang dilarang oleh beliau saw. (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah
keluarga dan sahabat Rasulullah yang tergolong Salaf Shaleh, yang konon akan
diikuti oleh kelompok Wahabi?
Seorang
Tabi’in bernama Ibnu Al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk
kepada kuburan Rasulullah). Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama
para sahabatnya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Beliau
langsung bangkit dan menuju pusara Rasulullah dan meletakkan dagunya di atas pusara Rasulullah kemudian kembali. Melihat
hal itu, seseorang mempertanyakan
perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ (Lihat: Wafa’ Al-Wafa’ Jilid: 2 Halaman: 444)
Masihkah
golongan pengingkar (wahabi) yang mengatas namakan diri sebagai
pengikut dan penghidup ajaran Salaf Shaleh itu hendak menuduh kaum muslimin
yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan
bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik
maka setiap pelakunya harus diberi titel
musyrik, tidak peduli sahabat Rasulullah atau pun orang awam biasa.
Beranikah golongan ini menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?,
sebagai mana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka
mengambil berkah dari kuburan Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah)
lainnya?
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ قَالَ أَخْبَرَنِي مَعْمَرٌ وَيُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ
قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُوْ سَلَمَةَ أَنَّ عَائِشَةَ t زَوْجَ النَّبِيِّ r أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ أَقْبَلَ أَبُوْ بَكْرٍ t عَلىٰ
فَرَسِهِ مِنْ مَسْكَنِهِ بِالسُّنْحِ حَتّٰى
نَزَلَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ فَلَمْ يُكَلِّمِ النَّاسَ حَتّٰى
دَخَلَ عَلىٰ عَائِشَةَ t فَتَيَمَّمَ النَّبِيِّ r وَهُوَ مُسَجًّى بِبُرْدِ حِبَرَةٍ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ ثُمَّ
أَكَبَّ عَلَيْهِ فَقَبَّلَهُ ثُمَّ بَكٰى
فَقَالَ بِأَبِيْ أَنْتَ يَا نَبِيَّ اللهِ لَا يَجْمَعُ اللهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ
أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتِبَتْ عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّهَا .....
Telah menceritakan kepada kami
Bisyir bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah
mengabarkan kepada saya Ma'mar dan Yunus dari Az-Zuhriy berkata, telah
mengabarkan kepada saya Abu Salamah bahwa 'Aisyah rdh isteri Nabi saw
mengabarkan kepadanya, katanya; Abu Bakar ra
menunggang kudanya dari suatu tempat bernama Sunih hingga sampai dan masuk ke dalam masjid dan dia tidak berbicara
dengan orang-orang, hingga menemui 'Aisyah rdh lalu dia mengusap Nabi saw yang
sudah ditutupi (jasadnya) dengan kain terbuat dari katun. Kemudian dia membuka
tutup wajah beliau lalu Abu Bakar memeluk dan mencium beliau. Kemudian Abu
Bakar menangis seraya berkata: "Demi bapak dan ibuku, wahai Nabi Allah,
Allah tidak akan menjadikan kematian dua kali
kepadamu. Adapun kematian pertama yang telah ditetapkan buatmu itu sudah
terjadi". ….. (H.R. Bukhari no.
1241)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا
جَرِيْرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيْدِ حَدَّثَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ
عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُوْنٍ الْأَوْدِيِّ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ t قَالَ يَا
عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ اذْهَبْ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ عَائِشَةَ t فَقُلْ يَقْرَأُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَلَيْكِ
السَّلَامَ ثُمَّ سَلْهَا أَنْ أُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيَّ قَالَتْ كُنْتُ أُرِيْدُهُ
لِنَفْسِيْ فَلَأُوْثِرَنَّهُ الْيَوْمَ عَلىٰ نَفْسِيِّ فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ
لَهُ مَا لَدَيْكَ قَالَ أَذِنَتْ لَكَ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ قَالَ مَا
كَانَ شَيْءٌ أَهَمَّ إِلَيَّ مِنْ ذٰلِكَ الْمَضْجَعِ
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Jarir bin
'Abdul Hamid telah menceritakan kepada kami Hushain bin 'Abdurrahman dari 'Amru
bin Maimun Al-Audiy berkata,: "Aku melihat 'Umar bin Al-Khaththab ra berkata,:
"Wahai 'Abdullah bin Umar temuilah Ummul
Mu'minin 'Aisyah rdh lalu sampaikan bahwa 'Umar bin Al-Khaththab
menyampaikan salam kepadamu, kemudian mintalah agar aku dikubur bersama kedua temanku. 'Aisyah berkata; "Aku
dulu menginginkan tempat itu untukku, namun sekarang aku lebih
mengutamakannya dari pada diriku. Ketika ia pulang, Umar berkata, kepadanya:
"Jawaban apa yang kamu bawa?". Ia menjawab; "Engkau telah
mendapat izin wahai Amirul Mu'minin, lalu ia berkata,: "Tidak ada sesuatu
yang lebih aku cintai dari pada tempat berbaring itu, (H.R. Bukhari no.1392 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar