BERKUMPUL
UNTUK TAHLILAN
Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, jika ada keluarga yang meninggal dunia, mereka
berkumpul di rumah duka untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia tersebut. Kegiatan ini lebih
dikenal oleh masyarakat dengan istilah tahlilan.
Pada
hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara
di dalam berdzikir dan berdo’a atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdo’a atau bermunajat kepada Allah
swt, dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir,
tahlil, tasbih, Asma’ al-Husna, al-Qur’an, shalawat dan
lain-lain.
Maka
sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang
berbeda namun
hakikatnya sama.
Syeikh
al-Syaukani mengatakan dalam al-Rasa`il al-Salafiyah: “Para sahabat juga
mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau masjid, melagukan syair,
mendiskusikan hadits, kemudian mereka makan dan minum padahal di tengah
mereka ada
Nabi Saw. Maka siapa saja yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat
kemaksiatan,
maka sungguh ia telah salah. Karena sesungguhnya bid’ah itu adalah sesuatu yang
dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan semacam ini tidak tergolong bid,ah.”
Kesimpulan
Syeikh al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits, di antaranya adalah:
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الْخُدرِيِّ قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ اِلاَّ
حَفَّتْهُمُ الْمَلآئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari
Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada
Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali
mereka akan dikelilingi Malaikat, dan Allah akan memberikan rahmatNya kepada
mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di
sisi-Nya.” (HR.Muslim)
Lalu bagaimana hukumnya
mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdo’a bersama yang berkaitan dengan
acara kematian untuk mendo’akan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia? Dan apakah hal
itu bermanfa’at atau tersampaikan bagi si
mayit?
Dalam kitab al-Adzkar,
Imam Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat do’a bagi orang mati itu
bermanfa’at bagi mereka dan pahalanya akan sampai kepada mereka (si mayit).
Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:
وَالَّذِيْنَ جَاؤُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Ansar), mereka
berdo’a: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami.” (QS. al-Hasyr: 10)
Menghadiahkan
Fatihah, atau Yasin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya dan
lain-lain, itu semua
sampai kepada mayat, dengan nash yang
Jelas. Pendek kata, setiap orang bisa mendapat pahala ibadah orang lain, kalau pahala itu
dihadiahkan oleh orang lain itu kepadanya. Atau dengan kata lain, orang lain bisa
mendapat pahala
dari amal orang lain.
Di
bawah ini kami nukilkan beberapa dalil :
Dalil Kesatu
عَنْ مِعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِقْرَءُوْا يٰس
عَلىٰ مَوْتَاكُمْ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Dari Mi’qal bin Yasar, Nabi Muhammad Saw.
bersabda: “Bacakanlah Yasin untuk orang yang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam
hadits ini dinyatakan bahwa orang yang telah mati baik sekali dibacakan surat Yasin, yang faedah (pahala) membacanya itu dihadiahkan
kepada orang yang telah mati.
Arti ‘mauta’
dalam hadits ini adalah orang yang telah mati, dengan bukti bahwa Imam Abu
Dawud memberi judul hadits ini dengan “Bab al-Qira’ah ‘inda al-Mayyit” artinya “Bab Membaca
al-Qur’an di Hadapan Orang Mati.”
Di
dalam Al-Qur’an perkataan ‘mauta’ itu artinya orang yang telah mati,
sebagai mana tersebut di bawah ini :
إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلاَ تُسْمِعُ الصُّمَّ
الدُّعَاء إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang
yang mati mendengar dan (tidak
pula) menjadikan orang-orang yang tuli
mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. al-Naml: 80)
Dalam
buku Fatawa, K.H. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, sehubungan
dengan hadits tersebut, ia menukil pendapat
seorang ulama besar yang bernama Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dalam kitab
Dzakhirah al-Tsaminah yaitu:
وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يٰس مِنَ
الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ اَوْ عَلىٰ قَبْرِهِ وَبَيْنِ
تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ اَوْبَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ
“Hadits tersebut
derajatnya hasan. Tidak ada bedanya antara bacaan Yasin dari jama’ah yang hadir
dekat orang mati atau di atas kuburnya dengan membaca seluruh ayat al-Qur’an,
atau sebagiannya bagi orang mati di masjid atau rumahnya.”
Dalil Kedua
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ اُ مَّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتّٰى
مَاتَتْ اَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَاَيْتِ لَوْكَانَ
عَلىٰ اُمُّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ اُقْضُوا اللهَ فَاللهُ اَحَقُّ
بِالْوَفَاءِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
“Dari Ibn Abbas radhiyallah
‘anhuma, bahwasanya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu
bertanya: “Bahwasanya ibuku
bernadzar akan naik haji, tetapi ia meninggal sebelum
mengerjakan haji itu, apakah boleh saya menggantikan hajinya itu?”
Jawab Nabi: “Ya boleh, naik hajilah menggantikan dia. Perhatikanlah, umpama
ia berhutang tentu engkau bisa membayar hutangnya, maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar”. (HR. Bukhari)
Dalam
hadits ini dapat difahamkan bahwa pahala amal haji yang dikerjakan oleh seseorang anak
boleh diberikan (dihadiahkan) kepada ibunya, sehingga hutang nadzar ibunya
menjadi terbayar dan ibunya tidak berdosa lagi terhadap Allah Swt.
Dalil ketiga
عَنِ ابْنِ
عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ
رَجُلاً يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ اَخٌ لِي
اَوْقَرِيْبٌ لِي قَالَ أَحَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لاَ قَالَ حُجَّ عَنْ
نَفْسِكَ ثُمَّ حُجِّ عَنْ شُبْرُمَةَ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Dari Ibn Abbas radhiyallah ‘anhuma, bahwasanya
Nabi Saw. mendengar seorang
lelaki membaca talbiyah (dalam ibadah haji)
‘Labbaika an Syubrumah’. Lantas Nabi
bertanya kepada orang itu: “Siapa Syubrumah itu?” Jawabnya: “Saudara
(karib) saya.” “Apakah kamu sudah mengerjakan haji untukmu?” tanya Nabi.
“Belum.” jawabnya. Nabi bersabda: Hajilah dulu untukmu, lalu baru menghajikan Syubrumah.” (HR. Abu Dawud)
Hadits
ini menyatakan bahwa ibadah haji seseorang boleh digantikan orang lain, bukan antara anak dan orang tuanya. Dan
hadits inilah yang menjadi dasar bagi orang Islam
yang membiasakan membayar seseorang
untuk mengerjakan haji bagi orang-orang yang telah meninggal.
Dalil Keempat
عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَ رُكْبًا بِالرُّوْحَاءِ فَقَالَ مَنِ الْقَوْمُ قَالُوْا الْمُسْلِمُوْنَ
فَقَالُوْا مَنْ اَنْتَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ فَرَفَعَتِ امْرَاَةٌ اِلَيْهِ صَبِيًّا
فَقَالَتْ أَلِهذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكَ اَجْرٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Ibn Abbas radhiyallah ‘anhuma, dari Nabi
Saw., beliau berjumpa dengan
sekumpulan orang di Rauha’ (36 mil dari Madinah),
maka Nabi bertanya: “Siapakah kaum ini?” Jawab mereka: “Kami kaum Muslimin.”
Mereka bertanya pula: “Siapa tuan?” Nabi menjawab: Saya Rasulullah.” Seorang wanita mengangkat seorang
anaknya dan bertanya kepada Nabi:
“Apakah anak kecil ini boleh mengerjakan haji?” Jawab Nabi: “Ya, boleh dan
kamu mendapat pahalanya.” (HR. Muslim)
Dalil Kelima
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Umm al-Mu’minin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasul Saw. bersabda: “Barang siapa
meninggal sedang ia berhutang puasa, maka walinya boleh menggantikan puasanya itu.” (HR. Muslim)
Imam
Nawawi berkata: “Menurut madzhab kita (madzhab Syafi’i) adalah sunah hukumnya bagi wali
untuk membayar hutang puasa orang yang telah
wafat itu. Masih menurut beliau, yang dimaksud wali di sini adalah ashabah (karib
kerabat) atau ahli waris atau lainnya.
Dalil Keenam
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عَباَّسٍ أَنَّ سَعْدَبْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتىَ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ
تَـقْضِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ
عَنْهَا (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Dari Abdillah
bin Abbas, bahwasanya Sa’ad bin Ubadah minta fatwa kepada Rasulullah saw, tentang
nadzar ibunya yang belum dibayar, tetapi ibunya telah meninggal, maka Rasulullah Saw,
memberi fatwa:
"Bayarlah nadzar itu pengganti dia.” (HR. Abu Daud)
Dalil Ketujuh
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
إِنَّ اُ مِّي اقْتُلِيَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا اَجْرٌ اِنَّ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari ‘Aisyah, bahwasanya seorang laki-laki datang
kepada Nabi Saw., dan bertanya: “Sesungguhnya
ibuku meninggal tiba-tiba, saya kira kalau ia dapat bicara sebelumnya tentu ia akan
bersedekah, apakah ia akan dapat pahala bila aku bersedekah menggantikannya?” Jawab Nabi:
“Ya.” (HR.
Muslim)
Perlu
diketahui bahwa bacaan tasbih, takbir, tahlil adalah termasuk shadaqah. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Hadits Arba’in al-Nawawiyah, hadits ke 25 sebagai
berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي
وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ
أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ
تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً
وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ
قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Abu Dzar ra., sesungguhnya sejumlah orang dari
sahabat Rasulullah
Saw., berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak,
mereka shalat sebagaimana kami shalat,
mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan
kelebihan harta mereka (sedang kami tidak
dapat melakukannya). Rasulullah Saw.
bersabda: “Bukankah Allah telah
menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah?” Sesungguhnya setiap tasbih
merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan
sedekah dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka
bertanya: “Ya Rasulullah, adakah
dikatakan berpahala seseorang di antara kami yang menyalurkan syahwatnya?”
Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?,
Demikian halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka
baginya mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Dalil Kedelapan
عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلآخَرُ
عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِى بِهِ يَعْنِى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَدَعُهُ اَبَدًا (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ)
“Dari Hanasy, dari Sayyidina Ali, bahwasanya beliau
berkorban dengan dua
ekor kibasy, satunya (pahalanya) untuk Nabi Muhammad Saw., dan yang lainnya (pahalanya)
untuk diri beliau. Maka orang bertanya tentang
ini. lalu beliau menjawab: “Demikian itu disuruh oleh Nabi Saw., kepada saya,
karena itu saya memperbuat selalu dan tidak
pernah meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Kelihatan
dalam hadits ini bahwa Nabi Muhammad Saw. menyuruh seseorang berbuat kebaikan
dengan berkorban seekor
kambing dan pahalanya
diberikan untuk beliau. Perintah Nabi ini dikerjakan terus oleh Saidina Ali.
Kalau
ada orang yang berfatwa, menghadiahkan pahala itu tidak boleh (tidak sampai) maka ia menentang
hadits ini.
Dalil Kesembilan
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَامِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَ ثَةُ
صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ اِلاَّ أَوْجَبَ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ)
“Rasulullah
Saw. bersabda: “Tidaklah dari seorang muslim yang meninggal dunia dan kemudian
dishalatkan oleh tiga shaf dari orang
muslimin, kecuali ia mendapat ampunan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits
ini menerangkan bahwa seseorang yang meninggal kalau jenazahnya dishalatkan oleh 3 shaf, maka si mayit itu telah
berhak mendapatkan ampunan dari Allah.
Shalat
3 shaf itu bukan amal si mayit, bukan pekerjaannya, tetapi amal orang lain yang masih hidup,
tetapi ia mendapat pahala dan beruntung karenanya. Ini adalah suatu bukti bahwa amal orang lain
(tidak saja dari anak atau keluarganya) bisa didapat pahalanya oleh orang lain.
Dalil Kesepuluh
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ
مَيَّتٍ تُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِائَةً
كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ اِلاَّ شَفِعُوْا فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Rasulullah
Saw., bersabda: “Tidaklah dari
mayit yang dishalatkan oleh sekumpulan umat
Islam yang jumlahnya mencapai 100 orang yang semuanya berdo’a untuknya,
kecuali do’a (syafa’at) mereka diterima
untuknya.” (HR. Muslim)
Dalil Kesebelas
عَنْ عَوْفِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىٰ جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْهُ
دُعَائَهُ وَهُوَ يَقُوْلُ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهُ
وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ
وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَـقَّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَـقَّيْتَ الثَّوْبَ
الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلاً
خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْ جِهِ وَاَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ
وَاَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ حَتّٰى تَمَنَّيْتُ
أَنْ اَكُوْنَ أَنَا ذلِكَ الْمَيِّتَ وَفِى رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَقِهِ فِتْنَةَ
الْقَبْرِ وَعَذَابَ الْقَبْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Auf bin Malik ra., berkata: “Rasulullah Saw.,
melasanakan shalat jenazah, maka aku menghafal do’a-do’a yang dibacanya ketika itu,
(yaitu): “Ya Allah, ampunilah (kesalahan)nya, berilah rahmat
kepadanya, selamatkanlah dia dan ma’afkanlah
dia. (Ya Allah) muliakanlah dan luaskan
tempat tinggalnya serta mandikanlah dia dengan air, salju, dan kesejukan.
(Ya Allah) bersihkanlah dia dari segala kesalahan sebagaimana Engkau
membersihkan pakaian (berwarna) putih dari kotoran. (Ya Allah) berikanlah
kepadanya rumah yang lebih baik dari pada rumahnya ini, keluarga yang lebih baik dari keluarganya
ini, dan jodoh yang lebih baik dari yang ada ini sebagai gantinya. (Ya Allah)
masukkanlah ia ke surga dan
jauhkanlah ia dari adzab kubur dan adzab neraka. Sehingga aku
mencita-citakan kalaulah aku yang menjadi mayat itu”. Pada riwayat Muslim
dari jalan (isnad) lainnya disebutkan: “Dan peliharalah ia dari fitnah kubur dan adzab neraka.” (HR. Muslim)
Dalam
hadits ini Rasulullah Saw., mendo’akan kepada orang yang telah meninggal, seandainya
do’a itu tidak sampai kepada orang yang telah meninggal itu, niscaya Rasulullah
Saw., tidak akan melakukan yang demikian itu.
Dalil Keduabelas
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اِسْتَغْفِرُوْا
ِلأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ (رَوَاهُ أَبُو
دَاوُدَ)
“Adalah Nabi Muhammad Saw. ketika telah selesai
mengubur mayat, beliau berdiri sebentar dan berkata kepada sahabat-sahabat beliau:
“Mintakanlah
ampun (kepada Tuhan) saudaramu ini, dan mohonkanlah agar ia tabah dan tetap, karena
ia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu
Daud)
Dari
hadits ini dapat diambil pengertian bahwa do’a dari orang yang hidup
bermanfa’at bagi orang yang telah meninggal. Kalau tidak ada manfa’atnya, kenapa
Nabi Saw. menyuruh supaya orang-orang memintakan ampun, mendo’akan dan memohonkan kepada Allah
supaya si mayit tabah dan kuat
menghadapi pertanyaan-pertanyaan dalam kubur. Jadi, orang yang telah mati itu masih bisa mendapat pahala atau pertolongan dari orang-orang
yang masih hidup.
Sebenarnya
masih banyak lagi bukti (dalil) bahwa amal seorang muslim dapat bermanfa’at bagi orang muslim lainnya
yang telah meninggal dunia. Tetapi beberapa dalil di atas kiranya cukup bagi
mereka yang ingin mendapatkan kebenaran. Semoga kita dapat mengamalkan nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar