DALIL-DALIL
ORANG-ORANG
YANG MEMBANTAH
Dalil-dalil di bawah ini sering digunakan orang-orang yang membantah tahlilan / tentang
sampainya pahala dari seorang muslim yang masih hidup kepada muslim
lainnya yang telah meninggal:
Pertama
Kata
mereka, dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm 39)
Mereka
mengatakan bahwa ayat ini telah terang dan jelas, bahwa manusia tidak
akan memperoleh pahala dari amal orang lain, kecuali yang ia usahakan
sendiri.
Jawaban
Pengarang
tafsir Khazin berkata: “Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun
umat Islam (Umat Nabi Muhammad
saw,) maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang
lain”.
Sebenarnya
dalam mengajukan dalil harus jujur, jangan mengelabui mata orang, dan jangan mengambil dalil sepotong-sepotong saja. Pangkal ayat ini seluruhnya berbunyi:
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى . وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي
وَفَّى . أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى . وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ
إِلاَّ مَا سَعَى
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada
dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran
Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?, (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. Al-Najm: 36-39)
Di
dalam tafsir Thabari dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid
ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau
kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang
menanggung siksaanmu di akhirat.”
Maka
Allah Swt., menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain,
bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan
berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan
lain-lainnya.
Sayyidina
Ibn Abbas ra., sahabat sekaligus sepupu Nabi Saw., yang mendapat do’a langsung
dari Rasulullah Saw., agar memperoleh kemampuan untuk menafsirkan al-Qur’an
menyatakan: “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syari’at
dengan firman Allah Swt, ‘Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka,
maka dimasukkanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang dibuat oleh
bapaknya”. (Lihat tafsir Khazin)
Secara utuh ayatnya
berbunyi :
وَالَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ
بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman,
dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka.
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS.
Al-Thur 21)
Kedua
Ada orang yang mengajukan
dalil yang membatalkan hadiah pahala dengan ayat ini:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا
مَا كَسَبَتْ 3
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesang-gupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
Mereka
berkata: “Lihatlah ayat ini yang menerangkan bahwa setiap orang hanya mendapat apa yang diusahakannya, dan
ia mendapat hukuman dari kejahatan yang diperbuatnya. Usaha orang lain tidak akan didapat pahalanya, dan kejahatan orang lain
tidak akan dipikulkan dosanya.
Jawaban
Mereka keliru dalam mengartikan ayat ini,
kata-kata لَهَا مَا كَسَبَتْ menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hars (pembatasan). Oleh karena itu,
artinya cukup dengan: “Seseorang mendapatkan
apa yang ia usahakan.” Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan: “Seseorang akan memperoleh
harta dari usahanya.”
Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta warisan dari orang tuanya, pemberian orang
kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung
hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
لَيْسَ لَهَا اِلَّا مَا كَسَبَتْ “Tidak
ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau
seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan.”
Ketiga
Mereka mengemukakan hadits
shahih riwayat Imam Muslim yang berbunyai:
إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّمِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍصَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Apabila anak Adam mati, putuslah amal
perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang
dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh
yang mendo’akan dia.” (HR. Muslim)
Mereka
mengatakan dengan dasar hadits ini, maka seseorang yang telah meninggal dunia tidak
dapat menerima pahala yang disampaikan
kepadanya dari orang lain, kecuali tiga hal di atas.
Jawaban
Tersebut
dalam Syarh Thahawiyah bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist
tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan:اِنْقَطَعَ اِنْتَفَعُهُ (terputus
keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (hak) dari amil, jadi bila orang
yang mengamalkan itu memberikan kepadanya,
maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan
itu kepadanya. Hal ini sama dengan orang yang
berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan
hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya. Dengan
terbayarnya hutang itu maka dia telah
memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
Mungkin
hanya ini yang dapat kami tampilkan dalil-dalil sanggahan mereka (orang-orang yang menganggap hadiah pahala
yang kita sampaikan
kepada orang yang telah meninggal tidak sampai, bahkan menganggapnya
bid’ah sesat), untuk mengetahui pembahasan bid’ah secara panjang lebar dapat membaca di tulisan kami
yang berjudul: “Meluruskan Pemahaman Bid’ah”.
Berapapun
mereka mengemukakan dalil sanggahan, maka kita dengan mudah untuk menangkisnya disebabkan mereka dalam memahami dalil hanya secara letterlek
(harfiyah) saja, tanpa menghubungkan
dengan dalil-dalil lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar