Disayariatkannya
Bertawassul Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Syekh Ibnu Taimiyah
Dalam kitab Mafahim
Yajib An Tushahhah halaman 145-146, Syekh Muhammad bin Alwi Al-Maliki
Al-Hasani menulis pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal dan Syekh Ibnu Taimiyah mengenai tawassul yaitu :
عَلَى أَنَّ الشَّيْخَ ابْنَ تَيْمِيَةَ
فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعَ مِنْ كُتُبِهِ أَثْبَتَ جَوَازَ التَّوَسُّلِ
بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ
تَفْرِيقٍ أَوْ تَفْصِيلٍ بَيْنَ حَيَاتِهِ وَمَوْتِهِ وَحُضُورِهِ وَغِيَابِهِ
وَنَقَلَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَالْعِزِّ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ جَوَازَ
ذلِكَ فِي الْفَتَاوَى الْكُبْرَى.
قَالَ الشَّيْخُ
وَكَذلِكَ مِمَّا يُشْرَعُ التَّوَسُّلُ بِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّعَاءِ كَمَا فِي الْحَدِيثِ
الَّذِي رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَ
شَخْصًا أَنْ يَقُولَ اللهم إِنِّيْ أّسْأَلُكَ وَأَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمةِ يَا مُحَمَّدُ يَا رَسُولَ اللهِ
إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي لِيَقْضِيَهَا اللّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ.
فَهَذَا التَّوَسُّلِ بِهِ حَسَنٍ
“Syekh Ibnu Taimiyah dalam beberapa bagian kitab-kitabnya, menetapkan
bolehnya bertawassul kepada Nabi Muhammad saw, tanpa pemisahan dan rincian, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah
wafat, baik ketika beliau menyaksikan
maupun ketika tidak ada. Ada pula riwayat yang dikutip Imam Ahmad bin
Hanbal dan Al-Izz bin Abdussalam yang menyatakan
bahwa hal itu memang dibolehkan, sebagaimana tercantum dalam Al-Fatawi
Al-Kubra”.
“Syekh Ibnu Taimiyah mengatakan
: Demikian pula termasuk yang disyariatkan adalah
bertawassul kepada Allah dengan Nabi Muhammad saw, di dalam doa seperti yang
tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dan
dishahihkannya, yang menyatakan bahwa Nabi saw, pernah mengajari seseorang
untuk mengatakan : Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan bertawassul
kepada-Mu dengan (kemuliaan) Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi penyebar rahmat. Wahai
Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (kemuliaan) mu kepada Tuhanmu supaya Dia menampakkan hajatku dan memenuhinya.
Ya Allah, berilah dia hak syafaat untukku.
Masih menurut Ibnu Taimiyah, tawassul
yang demikian itu juga baik”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 3 halaman 276).
وَقَالَ
أَيْضًا وَالتَّوَسُّلُ إِلَى اللهِ بِغَيْرِ نَبِيِّنَا صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوَاءٌ سُمِّيَ اسْتِغَاثَةً أَوْ لَمْ
يُسَمَّ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنَ السَّلَفِ فَعَلَهُ وَلَا رُوَى فِيهِ أَثَرًا
وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ إِلَّا مَا أَتَى بِهِ الشَّيْخُ -يَعْنِي الشَّيْخَ عِزَّ الدِّينِ ابْنَ
عَبْدِ السَّلَامِ- مِنَ الْمَنْعِ وَأَمَّا التَّوَسُّلَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيهِ
حَدِيثٌ فِي السُّنَنِ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا
أَنَّ أَعْرَبِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُصِبْتُ فِي
بَصَرِي فَادْعُ اللهَ لِي فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأْ وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
قَالَ اللهم أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَشَفَّعُ بِكَ فِي رَدِّ
بَصَرِي اللهم شَفِّعْ نَبِيَّكَ فِيَّ وَقَالَ فَإِنْ كَانَتْ لَكَ حَاجَةٌ
فَمِثْلَ ذلِكَ فَرَدَّ اللهُ بَصَرَهُ فَلِأَجْلِ هذَا الْحَدِيثِ اسْتَثْنَى
الشّيْخُ التَّوَسُّلَ بِهِ.
وَقَالَ الشّيْخُ ابْنُ تَيْمِيَةَ أَيْضًا فِي
مَوْضِعٍ آخَرَ وَلِذلِكَ قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْسَكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ
الْمَرْوَزِيُّ صَاحِبُهُ إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ
وَلَكِنَّ غَيْرَ أَحْمَدَ قَالَ هذَا إِقْسَامٌ عَلَى اللهِ بِهِ وَلَا يُقْسَمُ عَلَى اللهِ بِمَخْلُوقٍ وَأَحْمَدُ
فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ قَدْ جَوَّزَ الْقَسَمَ بِهِ وَلِذلِكَ جَوَّزَ
التَّوَسُّلَ بِهِ
“Syekh Ibnu Taimiyah mengatakan juga bahwa dalam hal bertawassul kepada Allah swt, dengan selain
(kemuliaan) Nabi Muhammad saw, baik dalam istighatsah (mohon pertolongan)
maupun tidak menyebutkan (macam
tawassulnya), kami tidak mengetahui adanya (ulama) salaf yang
melakukannya dan tidak mengetahui adanya atsar (perkataan sahabat) mengenai hal
itu. Kami hanya mengetahui syekh, yakni syekh Al-Izz bin Abdussalam justru
melarangnya. Adapun bertawassul kepada Allah swt, dengan manggunakan kemuliaan Nabi saw, itu memang disebutkan dalam
Sunan Al-Nasa’i dan Al-Tirmidzi dan selain
keduanya. Imam Nasa’i dan imam Tirmidzi, juga yang lainnya meriwayatkan
bahwa ada orang Arab yang mendatangi Nabi
saw, ia berkata : Wahai Rasul utusan Allah, sesungguhnya aku sakit mata,
mohonkanlah kepada Allah untuk kesembuhanku. Nabi saw, lalu bersabda :
Berwudhulah dan lakukanlah shalat dua rakaat, lalu katakanlah : Ya Allah, aku memohon kepada Engkau dan aku menghadap
kepada-Mu dengan (kemuliaan) Nabi-Mu,
Muhammad. Wahai Muhammad sesungguhnya aku memohon syafaat kepadamu untuk
menyembuhkan mataku. Ya Allah, berilah
Nabi-Mu hak untuk memberi syafaat kepadaku. Lalu Rasulullah saw,
bersabda : Jika kamu mempunyai hajat/kebutuhan (lagi), lakukanlah hal seperti itu. Maka Allah pun menyembuhkan mata orang
Arab itu. Berdasar hadits tersebut, Syekh Ibnu Taimiyah membolehkan tawassul
kepada Allah dengan kemuliaan Nabi Muhammad saw”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 1 halaman
105).
“Pada bagian lain, Syek Ibnu
Taimiyah mengatakan : Dan oleh karena itu, Imam Ahmad menulis di dalam tuntunan ibadah yang
beliau tulis untuk Al-Marwazi, temannya :
Boleh bertawassul kepadaAllah saw, dengan (kemuliaan) Nabi saw, di dalam doanya. Selain itu Imam Ahmad mengatakan
: Sesungguhnya yang demikian itu
merupakan sumpah kepada Allah dengan menggunakan nama Nabi Muhammad,
padahal tidak boleh bersumpah kepada Allah
dengan menggunakan makhluk. Sementara itu, imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, membolehkan
bersumpah (kepada Allah) dengan menggunakan nama makhluk. Oleh karena
itu, imam Ahmad membolehkan bertawassul
(kepada Allah) dengan Nabi Muhammad saw”. (Ibnu Taimiyah, Al-Fatawi Al-Kubra juz 1 halaman
140).
Syekh Muhammad
bin Abdul Wahhab Berlepas Diri dari Orang yang Mengkafirkan Orang yang Bertawassul
Demikian juga diterangkan dalam kitab Mafahim
Yajib An Tushahhah halaman 149,
bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri faham Wahhabi) memperbolehkan bertawassul dengan menghukumi makruh,
Perbuatan mahruh itu jelas bukan haram,
apalagi untuk dikatakan bid’ah atau syirik (menyekutukan Allah).
Sehingga dalam halaman 150, Syekh Muhammad bin
Alwi Al-Maliki Al-Hasani mencantumkan pendapat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang berlepas dirinya
dari orang-orang yang mengkafirkan orang yang bertawassul, yaitu :
وَقَدْ جَاءَ عن الشَّيْخِ مُحَمَّدِ
بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ فِي رِسَالَتِهِ الْمُوَجَّهَةِ لِأَهْلِ الْقُصَيْمِ
الاسْتِنْكَارَ الشَّدِيدَ عَلَى مَنْ نَسَبَ إِلَيْهِ تَكْفِيرَ الْمُتَوَسِّلِ
بِالصَّالِحِينَ وَقَالَ إِنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ سُحَيْمٍ افْتَرَى عَلَيَّ
أُمُورًا لَمْ أَقُلْهَا وَلَمْ يَأْتِ أَكْثَرُهَا عَلَى بَالِي فَمِنْهَا أَنِّي
أَكْفُرُ مَنْ تَوَسَّلَ بِالصَّالِحِينَ وَأَنِّي أَكْفُرُ الْبُوصِيرِيَّ
لِقَوْلِهِ يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ وَأَنِّي أَحْرُقُ دَلَائِلَ الْخَيْرَاتِ.
وَجَوَابِي
عَنْ هذِهِ الْمَسَائِلَ أَنْ أَقُولَ سُبْحَانَكَ هذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
وَجَاءَ أَيْضًا تَأْيِيدُ قَوْلِهِ هذَا فِي رِسَالَةٍ أُخْرَى لَهُ بَعَثَهَا
إِلَى أَهْلِ الْمَعْجَمَةِ يَقُولُ فِيهَا إِذَا تَبَيَّنَ هذَا فَالْمَسَائِلُ
الَّتِي شَنَعَ بِهَا مِنْهَا مَا هُوَ مِنَ الْبُهْتَانِ الظَّاهِرِ وَهُوَ
قَوْلُهُ أ أَنِّي أَكْفُرُ مَنْ تَوَسَّلَ بِالصَّالِحِينَ وَأَنِّي أَكْفُرُ
الْبُوصِيرِيَّ إِلَى آخِرِ مَا قَالَ ثُمَّ قَالَ وَجَوَابِي فِيهَا أَنْ أَقُولَ
سُبْحَانَكَ هذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Dalam risalah yang ditunjukkan kepada mereka yang
suka memecah-belah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat mengingkari orang yang menuduh mengkafirkan orang-orang yang bertawassul
(kepada Allah) dengan kemuliaan orang-orang
shaleh. Ia pernah mengatakan : Sulaiman bin Sahim sungguh telah berdusta
kepadaku dan menuduhku dengan macam-macam yang sebetulnya tidak aku lakukan,
bahwa tidak pernah terbetik dalam hati. Di
antara tuduhannya bahwa aku mengkafirkan orang-orang yang bertawassul, mengkafirkan Al-Bushiri
(Pengarang syair Qashidah Burdah) yang
mengatakan : Wahai makhluk yang paling mulia. Dan bahwa aku telah
membakar kitab Dalail Al-Khairat (cara-cara mendapatkan kebaikan).
Dan jawaban atas semua itu, aku hanya berkata :
Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah dusta yang sangat besar. Dan untuk
menguatkan pernyataan itu, pada kesempatan
lain, beliau (Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab)
membuat tulisan yang ditujukan kepada peserta suatu perkumpulan : Jika
hal itu telah jelas, maka masalah-masalah yang sangat jelek itu ada yang
betul-betul dusta, seperti tuduhan bahwa aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah swt, dengan
perantaraan/kemuliaan orang-orang
shaleh, bahwa aku mengkafirkan Al-Bushiri, dan lain-lain. Untuk itu semua, aku menjawab : Maha Suci Engkau ya Allah,
ini adalah dusta yang sangat besar. (Tentang bantahan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab itu, dapat dilihat pada risalah pertama dan kesebelas dari
risalah-risalah yang ditulis beliau pada bagian lima halaman 12 dan 64).
Lalu bagaimana dengan keadaan sekarang, banyak
pengikut Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
(pendiri faham Wahhabi) mengatakan bahwa
perbuatan tawassul itu bid’ah, haram dan yang melakukan adalah kafir, musyrik, dan perkataan-perkataan lainnya.
Padahal kita tahu sendiri pendapat
para imam mereka yang memperbolehkannya. Jadi bagi kita yang biasa
bertawassul tentunya tidak usah malu apalagi takut
untuk melakukannya, karena itu semua ada dalil dan hujah yang dapat
dipercaya.
Contoh-contoh tawassul yang dilakukan oleh Nabi, sahabat serta ulama-ulama salaf lainnya :
1. Tawassul Nabi Muhammad saw. dengan orang-orang yang berdoa
عَنِ
أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَنْ خَرَجَ مِنْ
بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ : اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ
عَلَيْكَ، وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هٰذَا ، فَاِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا
وَلاَ بَطَرًا وَلاَ رِيآءً وَلاَ سُمْعَةً، وَخَرَجْتُ إِتِّقآءَ سُخْطِكَ
وَابْتِغآءَ مَرْضَاتِكَ، فَأَسْأَلُكَ
اَنْ تُعِيْذَنِيْ مِنَ النَّارِ، وَاَنْ تَغْفِرَلِيْ ذُنُوْبِيْ، اِنَّهُ
لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَلَكٍ
“Dari Abu
Sa’id Al-Khudri ra, berkata : Rasulullah saw, bersabda : Barang siapa yang keluar dari
rumahnya untuk melakukan shalat di
masjid kemudian ia berdoa : Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon kapada-Mu dengan
kemuliaan semua orang yang memohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu dengan
berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju masjid) dengan
sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum’ah.
Aku keluar (menuju masjid) demi menghindari murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu, Oleh karena itu,
kumohon Engkau berkenan melindungiku
dari siksa neraka dan mengampuni semua dosaku. Sesungguh nya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali
Engkau. Maka Allah akan meridhainya
dan tujuh puluh malaikat memohonkan ampun baginya” (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad, Thabrani, Baihaqi, Ibn
Khuzaimah menshahihkannya).
Sejumlah ulama besar dalam ilmu hadits
menyatakan hadits ini sebagai hadits shahih dan hasan,
diantaranya adalah : Ibnu Khuzaimah, Mundziri, Abu
Hasan (guru Mundziri), Al-Iraqi, Ibnu Hajar, Syarifuddin Ad-Dimyathi,
Abdul Ghani Al-Maqdisi dan Ibnu Abi Hatim.
2. Tawassul Nabi
Adam dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam sebuah hadits, Sayyidina Umar bin Khaththab
ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّ اَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِيْ فَقَالَ اللهُ يَا آدَمُ وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ اَخْلُقْهُ، قَالَ يَا رَبِّ لَأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ، رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيْتُ عَلٰى قَوَائِمَ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لآ ِالٰهَ اِلَّا اللهُ مُحَمَّدُ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ تُضِفْ الِىٰ اِسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللهُ صَدَقْتَ يَا آدَمُ اِنَّهُ لَأَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيَّ اُُدْعُنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ، وَلَوْ لاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata : Wahai
Tuhanku, aku memohon kepada-Mu
dengan kemuliaan Muhammad agar Engkau mengampuniku. Allahpun berfirman “Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad
sedangkan ia belum Ku-ciptakan. Adam
menjawab, wahai Tuhanku, ketika Engkau
menciptakanku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari
Ruh-Mu, kutengadahkan kepalaku
dan kulihat pada tiang-tiang Arsy tercantum
tulisan yang berbunyi Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Akupun
tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan nama-Mu, kecuali ia adalah mahluk yang paling Engkau cintai.
Allah berfirman, kau benar hai Adam,
sesungghnya dia (Nabi Muhammad saw.) adalah makhluk yang paling
Ku-cintai. Berdoalah kepada-Ku dengan (bertawassul
dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku tidak
akan menciptakanmu.” (H.R. Hakim, Baihaqi, Thabrani).
Dalil lain yang menguatkan hadits di
atas antara lain :
ذَكَرَ ابْنُ تَيْمَيَةَ حَدِيْثَيْنِ فِي هَذَا
الْمَوْضُوعِ وَأَوْرَدَهُمَا مُسْتَشْهِدًا بِهِمَا فَقَالَ رَوَى أَبُو الْفَرَجِ ابْنِ الْجَوْزِيِّ بِسَنَدِهِ إِلَى
مَيْسَرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَتَى كُنْتَ نَبِيًّا قَالَ لَمَّا
خَلَقَ اللهُ اْلأَرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ
سَمَوَاتٍ وَخَلَقَ الْعَرْشَ كَتَبَ عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ
اللهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ وَخَلَقَ اللهُ الْجَنَّةَ الَّتِي أَسْكَنَهَا
آدَمَ وَحَوَّاءَ فَكَتَبَ اسْمِي عَلَى اْلأَبْوَابِ وَاْلأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ
وَالْخِيَامِ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى الْعَرْشِ فَرَأَى اسْمِي فَأَخْبَرَهُ اللهُ أَنَّهُ سَيِّدُ
وَلَدِكَ فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِاسْمِي
إِلَيْهِ
“Ibn
Taimiyah meriwayatkan dua hadits (di sini kami ketengahkan hanya satu hadits) yang dijadikannya
sebagai bukti kebenaran mengenai tawasulnya Nabi Adam kepada Nabi Muhammad saw,
Ibn Taimiyah mengatakan : Telah diriwayatkan oleh Abu Al-Faraj Ibn Al-Jauzi
dengan sanadnya (yang sampai) kepada Maisarah ra. Aku berkata : Wahai Rasulullah, kapan
engkau
menjadi Nabi? Beliau menjawab : Setelah Allah swt, menciptakan bumi, lalu berpaling (menuju) ke
langit untuk kemudian menciptakannya menjadi tujuh (lapis) langit dan Dia
menciptakan Arasy, Dia tulis pada kaki Arasy: Muhammad Rasulullah khatamu
Al-Ambiya’ (Muhammad utusan Allah, penutup para Nabi). Dia pun menciptakan
surga yang didiami Nabi Adam dan Siti Hawa, lalu ditulis namaku di pintu-pintu,
pada auraq (kertas-kertas/dedaunan), kubah-kubah dan pada kemah-kemah,
sementara Nabi Adam masih dalam keadaan di antara ruh dan jasad. Ketika ia dihidupkan
oleh Allah
swt, dia melihat ke Arasy dan melihat namaku. Allah swt, kemudian memberitahukannya bahwa Muhammad
Rasulullah adalah sayyidu waladika (pimpinan anakmu). Ketika setan telah menggelincirkan keduanya, mereka memohon syafaat dengan (atas
nama) namaku (seraya memohon) kepada Allah swt, (Mafahim Yajib An Tushahhah
halaman 129)
3. Tawassul Nabi Muhammad saw. dengan seluruh Nabi
Ketika
ibu saiyidina Ali bin Abi Thalib yang bernama Fathimah binti Asad
meninggal dunia, Rasulullah saw. memberikan pakaiannya untuk dijadikan kain kafan. Kemudian beliau
memerintahkan Usamah bin Zaid, Abu
Ayyub Al-Anshari, Umar bin Khaththab dan seorang pemuda berkulit hitam
untuk menggali lubang kubur. Merekapun melaksanakan perintah Rasul saw. Namun
ketika hendak menggali liang lahat, Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk berhenti. Kemudian dengan kedua tangannya yang mulia, beliau sendiri yang menggali liang
lahat dan membuang tanahnya. Setelah selesai, beliau berbaring di dasar
kubur dan kemudian bersabda
اَللهُ
الَّذِى يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ إِغْفِرْ لِأُ مِّيْ
فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ، وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا
مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَ نْبِيآءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ،
فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
“Allah adalah Dzat
yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia
Maha Hidup dan tidak akan Mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucap hujjahnya serta
luaskan kuburnya, dengan hak
(kemuliaan) Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau
Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
4. Tawassul para
sahabat dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan
bahwa Utsman bin Hunaif ra. berkata “Ada seorang tuna netra
datang menemui Nabi saw. dan meminta beliau untuk mendo’akannya
agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah
saw. memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebuataan tersebut. Tetapi
lelaki itu bersikeras minta didoakan
agar dapat melihat kembali. Rasulullah saw. kemudian memerintahkan nya
untuk berwudhu dengan baik dan membaca doa berikut :
اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ، نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِى حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتُقْضَى لِيْ، اللهم فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi penuh
kasih sayang. (Wahai Rasul) sesungguhnya aku
telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan) mu agar
hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at
beliau untukku.” (H.R. Tirmidzi,Ibn Khuzaimah, Al-Hakim, Thabrani, semuanya mengatakan hadits ini shahih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ
لَهُ : أُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ،
فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ
“Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar ra, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa,
maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau : Sebutkanlah orang yang paling
anda cintai. Lalu Ibn Umar berkata : Ya Muhammad. Maka seketika itu kaki beliau sembuh”. (H.R. Bukhari, dan disebutkan
oleh Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Kalam Al-Thayyib hal. 88)
عَنْ مَالِكِ الدَّارِ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ
الطَّعَامِ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِى زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ
إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى
الرَّجُلَ فِى الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ : أَئْتِ عُمَرَ فَأَقْرَئْهُ السَّلَامَ
وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْكَ الْكَيْسَ،
عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ :
يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.
“Diriwayatkan
dari Malik Al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin Khaththab, bahwa musim paceklik
melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin
Al-Haris Al-Muzani) mendatangi makan Rasulullah saw, dan mengatakan : Wahai
Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka
benar-benar telah binasa. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, dan
beliau bersabda kepadanya : Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa
hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya : Bersungguh-sungguhlah
melayani umat. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukan
dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan : Ya Allah, saya akan
kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. (H.R. Abu Syaibah dan dia menshahihkannya, Baihaqi,
Ibn Abi Khaitsamah, Al-Hafidz Ibn Katsir juga mengatakan dalam kitabnya Al-Bidayah
wa Al-Nihayah serta kitabnya Jami’ Al-Masanid di bagian Musnad Umar
bin Khaththab juz 1 hal. 223 bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut
Al-Hafidz Ibn Hajar, yang dimaksud laki-laki yang mendatangi makam nabi saw,
dan melakukan tawassul dalam hadits ini adalah sahabat Bilal bin
Al-Muzani ra.).
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya
bertawassul dengan para Nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi nida’
(memanggil) yaitu “Ya Rasulallah”. Ketika Bilal bin Al-Muzani mengatakan
“Istasqi Liummatik”, maka maknamya ialah “ Mohonkanlah hujan kepada Allah
untuk umatmu” bukan “Ciptakanlah hujan untuk umatmu”. Jadi dari sini
diketahui bahwa bertawassul dengan mengatakan :
اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ،
قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ أَدْرِكْنِيْ يَارَسُوْلَ اللهِ أَوْ أَغْثِنِيْ
يَارَسُوْلَ اللهِ.
“Ya Allah,
curahkanlah shalawat dan salam atas junjungan kami Muhammad. Aku
benar-benar tidak mampu, bantulah aku dengan doamu kepada Allah, hai Rasulullah. Atau tolonglah aku dengan doamu
kepada Allah, hai Rasulullah.
Rasulullah
saw, bukanlah pencipta manfaat dan marabahaya. Beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau
dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saw,
saja telah menyebut hujan sebagai mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan
lainnya dengan sanad yang shahih.
أللهم اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْعًا نَافِعًا
غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلاً غَيْرِ آجِلٍ
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, hujan yang
menolong, menyelamatkan, enak, yang subur,
memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda”.
Apabila Rasulullah saw, dibenarkan
menamakan hujan sebagai mughits (penolong) dan nafi’ (pemberi
manfaat), karena hujan dapat menyelamatkan kita dari kesusahan dengan izin
allah, maka tentu tidak ada salahnya apabila seorang Nabi atau wali yang menyelamatkan
dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin
Allah, kita sebut sebagai penolong dan penyelamat dalam ekspresi doa
yang berbunyi :
أَغْثِنِيْ يَارَسُوْلَ اللهِ.
“Selamatkanlah
dan tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Rasulullah”.
Seorang muslim akan selalu
berkeyakinan bahwa seorang Nabi atau wali
hanyalah sebatas sebab, sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan
dari bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan Nabi atau wali tersebut. Sayyidina Umar yang mengetahui sahabat Bilal bin
Al-Harits Al-Muzani mendatangi makam Nabi saw, kemudian bertawassul dan
beristighatsah dengan mengatakan يَا رَسُوْلَ اللهِ إِسْتَسْقِ لِأُمَّتِك (Wahai
Rasulullah, mohonkanlah turunnya hujan kepada Allah untuk umatmu), yang
mengandung nida’ (memanggil) dan perkataan “istasqi”
tidak mengkafirkan atau memusyrikan sahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani, bahkan
sebaliknya beliau menyetujui perbuatannya dan tidak seorang pun
dari sahabat Nabi yang memungkirinya. Lalu bagaimana dengan orang-orang
yang melarang kelompok atau orang yang bertawassul dan beristighatsah, lebih
pandaikah dan lebih mengertikah pemahamannya
tentang agama dibanding dengan sayyidina Umar dan sahabat lainnya?
5.
Tawassul Sayyidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas
Dalam
sahih Bukhari, Anas bin malik ra. menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khanththab ra.
meminta hujan kepada Allah bertawassul
dengan Abbas bin ‘Abdul Muththalib. Sayyidina Umar berkata dalam doanya
:
اللهم إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah,
sesungguhnya dahulu aku berdoa kepada-Mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu,
Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami berdoa
kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (H.R. Bukhari)
6.Tawassul
orang Yahudi dengan Nabi Muhammad saw.
قال تعالى : وَلَمَّا
جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِّنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ وَكَانُواْ مِنْ
قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلٰى الَّذِيْنَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَّا
عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِ فَلَعْنَةُ الله عَلٰى الْكَافِرِينَ
Berkenaan dengan ini
Allah swt. berfirman : Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah
yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir,
maka setelah datang kepada mereka apa
yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar
itu. (Q.S. 2 Al Baqarah 89)
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَتْ يَهُودُ خَيْبَرَ تُقَاتِلُ غَطْفَانَ فَلَمَّا الْتَقَوْا هُزِمَتْ يَهُودُ فَدَعَتْ يَهُودُ بِهذَا الدُّعَاءِ وَقَالُوا إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ لَنَا فِي آخِرِ الزَّمَانِ إِلَّا تَنْصُرُنَا عَلَيْهِمْ قَالَ فَكَانُوا إِذَا الْتَقَوْا دَعَوْا بِهذَا الدُّعَاءِ فَهَزَمُوا غَطْفَانَ فَلَمَّا بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَرُوا فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى {وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا} أَيْ بِكَ يَا مُحَمَّدُ إِلَى قَوْلِهِ {فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَافِرِينَ} [الْبَقَرَةُ 89 ] القرطبي
Ibnu Abbas ra. mengatakan : Orang Yahudi Khaibar pernah memerangi Ghathafan. Tatkala kaum Yahudi itu terkalahkan, mereka berdoa dengan doa ini : Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu dengan (perantara) hak Nabi yang ummi, yang telah Engkau janjikan kepada kami, supaya Engkau mengutusnya pada kami di akhir zaman, dan (supaya) Engkau menolong kami untuk mengalahkan mereka. Masih menurut Ibnu Abbas ra : Mereka memanjatkan doa di atas jika bertemu dengan musuhnya. Akirnya, kaum Ghathafan pun kalah. Tetapi ketika Nabi Muhammad saw, diutus oleh Allah swt, mereka ternyata mengingkarinya (kafir atau tidak mempercayai Nabi Muhammad), maka Allah menurunkan ayat 89 dari surat Al-Baqarah di atas. (tafsir Al-Qurthubi juz 2 halaman 26-27). (Kitab Mafahim Yajib An Tushahhah halaman 137)
7.
Tawassul dengan orang yang lemah
وَرَوَى
النَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي سَعِيدِ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا
نَصَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضُعَفَائِهَا وَدَعْوَتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
Dan
diriwayatkan dari Imam Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa sesungguhnya nabi saw. bersabda : Sesungguhnya
Allah menolong umat (Islam)
ini dengan (berkah) umatnya yang lemah, yakni dengan doa, shalat dan
keikhlashan mereka.
وَرَوَى
النَّسَائِيُّ أَيْضًا عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللِه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْغُونِي الضَّعِيفَ
فَإِنَّكُمْ إِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar