Salah satu keistimewaan
dzikir ialah ia bisa dilakukan kapan saja. Tidak seperti ibadah-ibadah yang
lain yang masih terikat dengan ketetapan waktu, tempat dan
lain-lain. Demikian kata Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas ketika menafsiri QS al-Ankabut
ayat 45 yang artinya:
“Dan sesungguhnya
mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. 29 Al 'Ankabuut
45) mengatakan, makna
ayat ini ada dua: pertama, bahwa ingatnya Allah (dzikrullah) kepada kalian lebih agung daripada ingatnya
kalian kepada-Nya; kedua, bahwa ibadah dzikir adalah ibadah yang paling agung
dibanding ibadah yang lain.
Dzikir juga merupakan sarana untuk
mengetahui seberapa dekat hubungan hamba dengan Allah. “Aku tahu kapan Allah
ingat kepadaku?” kata Abu Muhammad Tsabit bin Aslam al-Bannani (w. 127 H).
Mendengar pernyataan itu orang-orang terkejut, “Bagaimana Anda bisa
mengetahui?” Al-Bannani menjawab, “Apabila aku mengingat-Nya maka Dia pun
mengingatku”. Demikian petikan dialog yang diungkapkan al-Bannani ketika
menafsiri QS al-Baqarah ayat 152 yang artinya: Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu meng-ingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. 2 Al Baqarah 152)
Dzikir bagi para sufi adalah merupakan
sesuatu yang sangat penting. Ia adalah tonggak kokoh yang menopang perjalanan
spiritual yang mereka tempuh. Abu Ali ad-Daqqaq (w. 349 H.) mengatakan, “Dzikir adalah tonggak kokoh dalam menempuh jalan
Allah”. Dzikir adalah sarana yang dapat mengantarkan ke Hadirat
Allah dengan cepat. Ali al-Marshafi mengatakan, “Seorang salik yang menempuh suluknya lewat dzikir bagaikan burung yang
terbang dengan cepat menuju Hadirat Tuhan, sedangkan salik yang menempuh
suluknya tidak lewat dzikir bagaikan orang lumpuh yang kadang berjalan
merangkak dan kadang diam tidak berjalan, padahal perjalanan yang akan ditempuh
masih sangat jauh. Kemungkinan besar selama hidupnya dia tidak dapat men-capai
tujuannya”. Seseorang yang selalu berdzikir maka itu adalah menjadi
salah satu tanda bahwa dia adalah menjadi wali (kekasih) Allah.
Sedemikian besarkah keistimewaan dzikir
sehingga mengungguli ibadah-ibadah yang lain? Padahal dzikir adalah ibadah
yang sangat mudah dilakukan. Lalu di mana letak kelebihannya? Maka, perlu
dijelaskan bahwa dzikir akan memiliki kelebihan daripada iba-dah yang lain jika
memang dzikir dilakukan dengan hati yang hudhûr
(hati hadir bersama Allah).
Bahkan bukan hanya dzikir, semua ibadah akan berpengaruh pada diri pelaku bila
dilakukan dengan hati yang hudhûr.
Akan tetapi tidak mudah mendapatkan hudhûr dalam dzikir. Diperlukan latihan
dan pemaksaan sehingga hudhûr
bisa diraih. Dan, kesulitan meraih hudhûr
dalam dzikir bukanlah lantas menjadi penghalang untuk tidak berdzikir. Imam
al-Ghazali (w.505 H.) dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn,
al-Habib Abdullah al-Hadad (w. 1132 H.) dalam an-Nafâis al-Ulwiyah fi Masâil as-Shûfiyah dan Imam Ibnu
‘Athaillah as-Sakandari (w. 709 H./1309 M.) dalam al-Hikam, mempunyai pandangan yang sama mengenai hudhûr yang dipaksakan pada saat
berdzikir. Dzikir memang mempunyai keistimewaan yang lebih daripada ibadah yang
lain jika dilakukan dengan hati yang hudhûr.
Namun, meninggalkan dzikir karena tidak hudhûr,
hal itu merupakan kesalahan fatal. Sebab berdzikir meskipun dengan hati yang
lupa masih lebih baik daripada tidak berdzikir sama sekali.
Ada seseorang yang mengeluh tentang
dzikirnya yang tidak pernah hudhûr.
Lalu dia berkonsultasi kepada Abu Hafs an-Naisaburi (w.
170 H.), “Aku selalu berdzikir kepada
Allah, tetapi tidak pernah dapat hudhûr”. Abu Hafs menjawab, “Bersyu-kurlah kepada Allah yang telah menghias salah
satu anggota tubuhmu dengan dzikir kepada-Nya”.
Diperlukan pemaksaan dan pembiasaan agar
dapat berdzikir dengan hati yang hudhûr.
Perbuatan baik, apapun bentuknya, seringkali memang harus dipak-sakan dan
dibiasakan. Kebiasaan dapat membangun karakter seseorang. Kebiasaan adalah
watak kedua.
Salah satu cara untuk mendatangkan hudhûr dalam ibadah ialah meneliti
hal-hal yang mengganggu. Ada dua hal yang dapat mengganggu ketenangan ibadah:
pertama, gangguan yang masuk melalui pancaindera, maka cara penanggulangannya
dengan ber-khalwat. Kedua,
bisikan-bisikan hati dan rasa waswas, penanggulangannya ialah dengan tidak
menghiraukannya. (Ithâf as-Sâil bi
Jawâb al-Masâil, karya Habib Abdullah al-Haddad, 36)
Selanjutnya, setelah menjadi terbiasa
berdzikir, maka sedikit demi sedikit, ia akan terangkat dari berdzikir dengan
hati yang lalai menuju berdzikir dengan hati yang yaqazhah (sadar bahwa sedang berdzikir), lalu meningkat lagi
dengan hati yang hudhûr (hati
hadir bersama Allah), lalu meningkat
lagi ke ghaibah (sirna dari
selain-Nya). Setelah itu pada tataran yang lebih tinggi lagi, berdzikir telah
menjadi gerak spontanitas. Tanpa sadar, hati dan seluruh tubuhnya selalu
berdzikir.
Dzikir memang tidak hanya berupa wiridan,
tapi semua perbuatan taat juga adalah dzikir. Bertafakkur, berdiskusi tentang
ilmu agama juga dzikir. Semuanya itu bernilai ibadah. Namun, yang dimaksud di
sini ialah aktivitas dzikir yang sesungguhnya, yakni menggerakkan lisan dan
hati dengan melafalkan asma-asma Allah baik dengan kalimat tasbih, tahmid,
takbir, tahlil dan lain-lain. Semua kalimat tersebut adalah sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi para sufi lebih menganjurkan
memper-banyak dzikir dengan kalimat tauhid, Lâilâhaillâh.
Hal itu karena kalimat tauhid adalah dzikir paling utama dan paling dekat
kepada terbuka dan bersinarnya hati dengan Nur Allah. Kalimat tauhid juga
mengandung semua makna dalam kalimat dzikir yang lain seperti tasbih, tahmid
dll.
Dalam tarekat, dzikir merupakan kegiatan
wajib, dan masing-ma-sing Tarekat memiliki ketentuan dan adab yang
berbeda-beda. Salah satu ketentuan pokok adalah keberadaan syaikh (guru) pembimbing. Ini dianggap
pokok, sebab seorang murid tidak mungkin dapat menempuh suluk-nya sendiri.
Berdzikir juga dianjurkan dilakukan
dengan berjamaah. Sebab kekuatan pengaruh dzikir pada hati akan lebih kuat jika
dilakukan secara jamaah. Imam al-Ghazali menggambarkan dzikir yang dilakukan
dengan sendirian diban-ding dengan dzikir secara jamaah sama dengan adzan yang
dikumandangkan oleh orang akan shalat sendirian dan adzan yang dikumandangkan
untuk shalat jamaah. Dalam dunia dzikir, hati ibarat sebuah batu yang sangat
sulit jika dipecah hanya oleh satu orang, batu itu lebih mudah dan cepat jika
dipecah beramai-ramai.
Adab yang lain ialah ketika selesai
berdzikir hendaknya diam sejenak dan tidak minum. Sebab dzikir membakar
karat-karat dalam hati sehingga jika langsung minum, tentu akan menghambat
proses pembakaran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar