Tawassul artinya menjadikan sesuatu sebagai perantara
dalam usaha untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi
Allah atau untuk mewujudkan keinginan
dan cita-citanya. Sedangkan wasilah adalah sesuatu yang dijadikan
sebagai perantara dalam bertawassul. Dalam Al-Qur’an disebutkan :
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. 5 Al Maa-idah 35)
Dalam
ayat ini Allah swt, memerintahkan kita agar mencari wasilah yang
dapat mendekatkan kita kepada Allah, termasuk dengan cara bertawasul dengan para Nabi dan wali yang sudah meninggal seperti telah diajarkan oleh Rasulullah saw, para sahabat dan
ulama salaf yang shaleh. Dalam
menafsirkan wasilah dalam ayat ini, Al-Hafidz Ibn Katsir mengatakan :
وَالْوَسِيْلَةُ
هِيَ الَّتِيْ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ
“Wasilah adalah segala sesuatu yang
menjadi sebab sampai pada tujuan”. (Tafsirul Qur’anil ‘Adzim juz 2 halaman 52)
Sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) adalah jika ia dicintai dan diridhai Allah, jadi sesuatu/barang yang haram
tidak dapat dijadikan wasilah.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ
أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ
لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan
untuk dita’ati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S. 4 An Nisaa’
64).
Dalam
ayat ini Allah menuntun kita, apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak
bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi
Rasulullah saw, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita
memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul
dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, agar dimohonkan ampun
kepada Allah. Hal ini sesuai dengan penafsiran Al-Hafidz Ibn Katsir (salah
seorang ulama yang dikagumi kaum wahhabi) dalam
kitab tafsirnya juz 2 halaman 366 terhadap ayat di atas berikut ini :
يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِينَ
إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانِ أَنْ يَأْتُوا إِلَى الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَسْتَغْفِرُوا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوهُ أَنْ يَسْتَغْفِرُ لَهُمْ
فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا ذلِكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ
وَلِهذَا قَالَ (لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا) وَقَدْ ذَكَرُ جَمَاعَةٌ
مِنْهُمُ الشَّيْخُ أَبُو نَصْرُ بْنُ الصَّبَّاغِ فِي كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ
الْمَشْهُورَةَ عَنِ العُتْبِيِّ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ
سَمِعْتُ اللهَ يَقُولُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ
فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا
رَحِيمًا) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّي
ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِي فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحِقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ
أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ
“Allah
swt, memberi bimbingan kepada orang-orang durhaka yang berdosa, bila
mereka tejerumus ke dalam kesalahan dan kemaksiatan, hendaknya mereka datang menghadap Rasulullah saw, lalu
memohon ampun kepada Allah di hadapannya dan meminta kepadanya agar mau
memohonkan ampun kepada Allah buat mereka.
Karena sesungguhnya jikalau mereka melakukan
hal tersebut, niscaya Allah menerima taubat mereka, merahmati mereka,
dan memberikan ampunan bagi mereka. Karena itulah dalam firman berikutnya di
sebutkan : (tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang). Sejumlah
ulama, antara lain Syekh Abu Mansur
Ash-Shabbagh di dalam kitabnya Asy-Syamil, mengetengahkan kisah yang
terkenal (populer) dari Al-Utbi. Beliau berkata : Aku sedang duduk di dekat
kubur Rasul saw, datanglah seorang A’rabi (Arab Badui) dan berkata : Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku telah mendengar
Allah berfirman : “Sesungguhnya jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang” (Q.S. 4 An Nisaa’ 64). Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah)
dan meminta syafaat (pertolongan) kepadamu
(agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku. Kemudian ia
mengucapkan syair :
Wahai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling
agung Maka menjadi harumlah dari pancaran
keharumannya semua lembah dan pegunungan ini.
Diriku sebagai
tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya Di dalamnya terdapat
kehormatan, kedermawanan dan kemuliaan.
Kemudian lelaki A’rabi
itu pergi, dan dengan serta merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bertemu
Nabi saw, lalu beliau bersabda : Hai Utbi susullah orang A’rabi itu dan
sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan
kepadanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar