Dulu, para mujtahid menggali hukum Islam dari sumber
aslinya, al-Qur’an dan Hadis, lalu meramunya dengan usul fikih sehingga menjadi
butiran-butiran hukum furû’ yang sudah matang. Hasil racikan mereka menjadi
rujukan generasi selanjutnya dalam memutuskan berbagai persoalan.
Hukum-hukum furu’iyah (cabang) yang telah
dicetuskan oleh mujtahid ini sudah bercabang sedemikian rupa dan
bertebaran di dalam karya-karya ulama de-ngan klasifikasi yang disesuaikan
dengan tatanan masyarakat, mulai dari fikih yang berkenaan dengan hukum ibadah,
transaksi, per-nikahan sampai hukum pidana. Kajian fikih menjadi begitu tebal
dan menguras usia untuk bisa menamatkan seluruh referensinya.
Syekh Yasin bin
Isa al-Fadani menyatakan, jika kita hanya mempelajari hukum-hukum yang sudah
matang dalam kitab-kitab fikih, maka berapa waktu yang kita butuhkan, berapa
lama kita bisa bertahan, berapa kitab yang harus kita hafal, dan seberapa kuat
memori otak mampu menampung-nya?
Maka, solusi untuk bisa memecahkan persoalan ini perlu dimunculkan, agar generasi se-lanjutnya tidak menerima kega-mangan itu. Salah satu solusi tersebut adalah mengetahui subtansi dan titik temu dari berbagai hukum yang sudah matang. Bila subtansi sudah kena, maka setidaknya hal itu bisa menjadi bekal dalam mengkore-lasikan satu persolan ke dalam persoalan lain.
Maka, solusi untuk bisa memecahkan persoalan ini perlu dimunculkan, agar generasi se-lanjutnya tidak menerima kega-mangan itu. Salah satu solusi tersebut adalah mengetahui subtansi dan titik temu dari berbagai hukum yang sudah matang. Bila subtansi sudah kena, maka setidaknya hal itu bisa menjadi bekal dalam mengkore-lasikan satu persolan ke dalam persoalan lain.
Mengenai hal ini, ulama fikih pasca mujtahidin membuat rumusan-rumusan tertentu yang kemudian dikenal dengan istilah kaidah fikih. Beragam persoalan furû dalam fikih yang tak terhitung jumlahnya dapat disatukan dalam sebuah formulasi melalui titik temu illat. Kesamaan illat itu diketahui melalui hasil penelitian dari nash yang menjadi prinsip syariat. Al-Qarafi mengatakan, “Barangsiapa yang menguasai ilmu fikih disertai kaidah-kaidahnya, maka ia tidak perlu lagi untuk menghafal hukum-hukum juz’i (parsial). Sebab, semuanya telah terangkum dalam kaidah-kaidah kulli (umum)”
Sebetulnya, rumusan-rumusan itu telah dilakukan secara acak sejak periode awal era mujtahidin. Para mujtahid menyisipkan prinsip-prinsip pokok dari ber-bagai hukum yang sudah matang dalam fikih yang mereka karang. Penyisipan-penyisipan itulah yang nantinya menjadi cikal bakal munculnya ilmu kaidah fikih. Rumusan-rumusan yang masih acak itu dapat kita jumpai, missal-nya, dalam kitab al-Umm karya Imam asy-Syafi’i (150-204 H.) dan al-Kharraj karya Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah (113-182 H.).
Sekedar contoh, dalam kitab al-Umm Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa keringanan (rukhshah) hanya berlaku sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Setelah itu, beliau menyisipkan filosofi hukum, “Diperbolehkan dalam kondisi darurat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam kondisi normal”.
Dalam kitab
al-Kharraj Abu Yusuf menulis prinsip kepemimpi-nan dengan bunyi, “Kebijakan
seorang pemimpin atas kepen-tingan rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.”
Filosofi itu direko-mendasikan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dengan bunyi, “Seorang
pemimpin tidak diper-bolehkan memungut sesuatu apapun dari tangan orang lain,
kecuali dengan pertimbangan yang benar dan baik.”
Rumusan-rumusan filosofis yang belum terangkum itu, mulai diperhatikan dan dirangkum pada Abad Keempat Hijriah. Konon, yang mula-mula melakukan hal itu adalah seorang ulama Hanafiyah, Abu Thahir ad-Dabbas (w.340). Ia adalah seorang ulama masyhur yang konon buta.
Al-Harawi, salah satu ulama mazhab Syafi’i, bercerita bahwa ad-Dabbas berupaya merangkum dan menghafal beragam personal-an dalam mazhab Hanafi ke dalam 17 kaidah. Setiap malam ad-Dabbas menghafal kaidah tersebut di sebuah masjid. Rupa-nya, aktivitas ad-Dabbas ini didengar oleh beberapa ulama Hanafiyah di kota Harrah (Khu-rasan/Afghanistan), sehingga me-reka mengutus salah seorang dari mereka untuk membuktikan kabar itu sekaligus mempelajari kaidah ad-Dabbas.
Di suatu malam, utusan tersebut berangkat ke masjid yang biasa ditempati ad-Dabbas dan bercampur baur dengan jamaah yang lain. Setelah para jamaah meninggalkan masjid dan masjid sudah sepi, ad-Dabbas mengunci pintu setelah menyelesaikan zikirnya. Utusan tersebut memper-hatikan ad-Dabbas dan secara diam-diam ia duduk di tikar tempat duduk ad-Dabbas. Ad-Dabbas tidak menyadari hal itu, karena memang beliau tidak dapat melihat (buta).
Setelah keadaan betul-betul sepi, ad-Dabbas mulai menghafal-kan kaidah-kaidahnya. Ia tidak menyadari bahwa ada orang yang menyadap apa yang ia katakan. Sang utusan menguping, mende-ngarkan dan berusaha untuk menghafal setiap kaidah-kaidah yang keluar dari bibir ad-Dabbas. Sayangnya, saat ad-Dabbas sam-pai pada bacaan kaidah ketujuh, utusan tadi batuk karena teng-gorokannya sangat gatal. Seketika, ad-Dabbas menghen-tikan hafalannya dan secara reflek memukul orang itu dan mengu-sirnya dari masjid. Setelah keja-dian itu, ad-Dabbas tidak pernah lagi melakukan aktivitas tersebut. Walaupun demikian, bagi sang utusan, ketujuh kaidah yang telah didapatnya cukup bisa menggem-birakan sahabat-sahabatnya yang penasaran akan kaidah ad-Dabbas. Pada akhirnya, kaidah-kaidah ad-Dabbas dapat dibuku-kan oleh sahabat karibnya, Abul Hasan al-Karkhi (w.340 H.).
Perumusan prinsip-prinsip da-sar fikih yang dilakukan oleh kalangan mazhab Hanafi ini, rupanya didengar oleh ulama-ulama mazhab Syafi’i. Termotivasi dari itu, Qadhi Husain (w.462 H.) mencoba untuk merumuskan hukum-hukum dalam mazhab Syafi’i, ke dalam empat kaidah dasar, yaitu, (1) keyakinan tidak bisa dihilangkan karena keraguan, (2) [kondisi] sulit menyebabkan hukum menjadi mudah, (3) kemudaratan harus dihilangkan, dan (4) adat/kebiasaan bisa menjadi rujukan hukum.
Pancingan Qadhi Husain ini menarik motivasi generasi selanjutnya, sehingga banyak bermunculan kitab-kitab kaidah fikih dalam mazhab Syafi’i. Bahkan, pada periode muta-akhirin, keempat kaidah di atas dilengkapi menjadi lima dengan ditambah kaidah al-Umûr bil-Maqâshid (segala hal tergantung niatnya).
Keempat kaidah Qadhi Husain ini mengalami pengembangan dan perubahan redaksional. Salah satu ulama yang dianggap berperan dalam pengembangan dan perubahan redaksional tersebut adalah Imam as-Suyuthi melalui karya monumentalnya al-Asybâh wan-Nazhâ’ir. Melalui kitab ini, Imam as-Suyuthi banyak berjasa mewariskan ilmu kaidah fikih terhadap pakar-pakar ilmu keislaman pada masa berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar