KENDURI
ARWAH
3
HARI SAMPAI 1000 HARI
Sudah menjadi tradisi orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturrahim,
baik tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut belasungkawa atas segala yang
menimpa, sambil mendo’akan untuk yang meninggal maupun yang ditinggalkan.
Mengenai
kenduri arwah 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap
hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah bid’ah hasanah, justru kita perlu bertanya, ajaran
muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa
yang alergi dengan
suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya? Siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha
illallah? muslimkah? semoga Allah memberi hidayah pada orang yang demikian itu. Tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha
illallah, tak ada pula larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40,
hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan
atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Menurut Imam Suyuthi
didalam kitab Al-Hawi lil Fatawi, tradisi memberi sedekah makanan selama tujuh hari dari kematian ini, merupakan kebiasan atau tradisi yang tetap berlaku
hingga sekarang ini (sekitar abad
ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas tradisi itu tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. Tradisi ini diambil dari ulam salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi
saw). Imam Ahmad bin Hambal juga berkata dalam kitab Az-Zuhd,
sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi lil
Fatawi, Juz 2, Hal 178,
حَدَثَنَا هَاشِمُ ابْنِ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَثَنَا الْأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُسَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأيّاَمِ إِلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Telah
menceritakan kepada kami Hasyim bin Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Asyja’i dari
Sufyan, Ia berkata, Thawus berkata “Orang yang meninggal dunia diuji
selama 7 hari didalam kubur. Maka para salafus shalih mensunahkan bersedekan makanan untuk
mereka yang
meninggal
dunia selama hari-hari itu. Ubaid ibnu Umair berkata:
"Seorang
mukmin dan
seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin
akan mendapat ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu
pagi."
Dalam
riwayat Mujahid disebutkan : “Ruh-ruh itu berada di atas pekuburan selama
tujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya”.
Hadits Thawus ini dikategorikan oleh para ulama
sebagai mursal marfu’ yang shahih. Hadits marfu’ mursal adalah hadits yang sanadnya terhenti kepada tabi’in
(tersebut) tanpa diberitahukan siapa perawinya dari kalangan sahabat hingga ke
Nabi. Tetapi karena menyangkut masalah barzakhiyyah (alam kubur) yang tidak
akan diketahui selain dari wahyu, maka dirafa’kanlah sanadnya kepada Nabi saw. Para ulama menyatakan bahwa hadits marfu’ mursal tersebut
boleh dijadikan hujjah (dasar) secara mutlak dalam madzhab sunni seperti
Hanafi, Maliki dan
Hanbali. Sementara Imam Syafi'i hanya mau berhujjah dengan hadits mursal jika
dibantu atau dilengkapi
dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadits yang lain
atau kesepakatan sahabat. Dalam hal ini, seperti disebut di atas, ada riwayat
dari Ubaid bin Umair dan dari Mujahid yang keduanya dari golongan Tabi'in,
Bila hal ini dikatakan
merupakan adat orang Hindu, maka ada perbedaan
antara tradisi Hindu dengan tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya diadakan
ritual selamatan dengan hidangan
makanan yang diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam, permainan judi, minuman keras
dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan
dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam tradisi
tahlilan, diisi dengan bacaan Al-Qur’an, dzikir bersama kepada Allah swt, serta selamatan (sedekah)
yang pahalanya
dihadiahkan kepada mayat. Jadi, antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Dan seandainya tradisi
selamatan tujuh hari tersebut diadopsi (diambil)
dari tradisi Hindu, maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk
dilaksanakan, mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda.
Dalam selamatan tujuh hari, kaum muslimin
berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu melakukan kemungkaran.
Bahkan podium-podium yang
ada di masjid-masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu
bermanfaat dan tidak melanggar syari’ah maka boleh-boleh saja mengikutinya,
demikian juga hari Ahad (Minggu) adalah dari besar Nasrani, yang biasanya mereka pergi ke gereja untuk beribadah, tapi di
hari itu juga kita sering mengadakan
pengajian, halaqah dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Dan juga sebagaimana Rasul saw meniru
adat orang Yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram. Sebagai mana Abdullah
bin Abbas ra, yang menceritakan kisah ini kepada kita, yaitu :
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ فَرَأَى اْليَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ مَا هٰذَا قَالُوْا هٰذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هٰذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسٰى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسٰى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Tatkala Nabi
saw, datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di
hari Asyura’. Beliau saw, bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi
menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil
dari musuhnya, maka Musa as, berpuasa
pada hari ini. Nabi saw, bersabda : “Saya lebih berhak mengikuti Musa dari
kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa
pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. (HR.Bukhari)
Sebagai kesimpulan akhir, bahwa kegiatan-kegiatan yang
selama ini kita lakukan dan sudah menjadi tradisi khususnya
warga NU, semuanya ada dasar atau dalil yang kuat, diantaranya yang telah kami
sebutkan di atas yaitu kegiatan tahlil dan kenduri arwah yang biasanya dimulai
dari hari kematiannya, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun sampai 1000 harinya. Itu semua tidak ada satupun dalil yang
melarangnya, bahkan tidak sedikit dalil yang mendukungnya. Untuk
itu kita sebagai warga NU khususnya dan masyarakat lain umumnya, tidak perlu malu apalagi takut untuk
melaksamakan kagiatan tersebut. Dan
akhirnya mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita dan
juga kepada saudara-saudara kita yang tidak menyukai bahkan melarang kegiatan
tersebut. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar