Mercie Elide, seorang teolog Rumania,
pernah berkata : "Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan
mana yang suci dan mana yang tidak. Dan dia cenderung melakukan yang
suci."
Pernyataan
ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan cenderung
menjalankan ajaran agamanya (yang
memang mencerminkan kesucian)
dan meninggalkan yang tidak suci. Konsekuensinya, orang yang
mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan perilaku tidak suci,
semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat "orang beragama."
Sebab, apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari semangat
ajaran agama yang didewakan-nya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau fajir;
yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran suci agama.
Tapi, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat
yang begitu mem-banggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Sungguh ironis! Beragama jalan terus,
korupsipun jalan terus. Ini artinya, kita punya dualisme karakter; karakter
orang beragama sekaligus penjahat agama. Itulah paradoks keberagamaan kita.
Kenyataan ini mengisyaratkan, tingkat kesadaran beragama kita masih dilematis.
Dan ini kenyataan yang sangat menyedihkan.
Yang lebih telak lagi, bila kita 'umat
Islam khususnya' mau merunut secara sadar, siapa yang melakukan kejahatan
korupsi itu, kita akan ternganga. Kita sadar, mayoritas penduduk Indonesia
adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif, maupun
legislatisf, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat,
menggelora di sana. Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus
mengeruk uang rakyat dengan cara tidak elegan dan tidak sah.
Konsekuensinya, kaum muslimlah yang paling
bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada. Jelas,
ini tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena, Islam
mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan cara
apapun. Dan korupsi merupakan sebentuk pen-dzaliman luar biasa dan berdampak
dahsyat.
Lagi-lagi, kenyataan ini menyiratkan,
banyak kaum muslim telah melakukan "pengkhianatan" terhadap ajaran
suci agamanya. Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ;
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (al-Ankabut; 45).
Dengan mamahami satu ayat ini dan
mengamalkannya secara konsis-ten, seharusnya kita tidak terperosok dalam
perilaku al-fahsya' (salah satunya korupsi). Tapi, toh kita tetap terperosok
dalam lembah al-fahsya' itu. Ini menunjukkan, kesadaran kita terhadap ajaran
yang diusung ayat ini begitu memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat-ayat
lain yang jumlahnya banyak. Kita akan semakin prihatin saja; betapa kita telah
banyak menerabas dan melabrak ajaran suci yang termuat dalam ayat-ayat
al-Qur'an (dan Hadis). Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya.
Kesadaran kitapun, terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana
memperta-hankan hidup.
Apapun caranya, kelanggengan hidup harus
kita pertahankan, kendati dengan melabrak batas agama. Inilah sebabnya Nabi SAW
mewanti-wanti umatnya; "Akan datang suatu masa, di mana manusia tidak
peduli dari mana mereka mendapatkan sesuatu, baik dari jalan halal maupun
haram." Dan memang, cara "tidak peduli jalan" itulah yang
ditempuh kita yang koruptor ini dalam mengais rezeki.
Sebab itu, ungkapan "koruptor
bermata kuda" sangat sahih. Koruptor hanya melihat kepentingan di
depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat)
kemaslahatan yang ada di samping. Pada gilirannya, karena mental kita yang
pejabat atau penguasa ini sudah dirasuki virus korupsi, budaya korupsi pun tak
terelakkan lagi dan malah mengarat. Semua lapisan berlomba untuk korupsi dan
korupsi seakan perlombaan saja. Dan di tengah-tengah tradisi korupsi akut ini,
menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara.
Tak dapat dibantah lagi, korupsi adalah
tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi
menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan.
Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari
dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya. Tidak ada satu
ajaran agamapun yang mento-lerir, apalagi membenar-kan tindak korupsi. Bila ada
ajaran agama yang mentolerir, apalagi membenarkannya, maka ajaran itu tidak
layak disebut sebagai ajaran agama.
Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan
kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama
yang lemah) kian hidup dalam kubangan keseng-saraan. Sebab, uang negara yang
seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran.
Uang itu "ditelan" para koruptor. Ini berarti, para koruptor telah
merampas kesejahteraan me-reka. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan
yang luar biasa dahsyat. Karenanya, tak ada kata tawar lagi, korupsi harus
secepat-nya diberangus hingga ke akarnya, sebe-lum kejahatan dan tragedi
kemanu-siaan itu kian menjadi-jadi.
Memang, telah banyak sanksi yang
dialamatkan pada para koruptor, baik sanksi formal (hukuman penjara) maupun
non-formal (mayat koruptor tidak dishalati). Namun, grafik tindak korupsi
bukannya mereda, melainkan kian menggila saja. Ini berarti, pemberian sanki
saja belum cukup ampuh untuk meredam tindak korupsi. Barangkali saja, sanksinya
terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan jera. Bila demi-kian, sanksi
terberatpun harus ditawarkan, semisal hukuman mati.
Namun, yang terpenting sebenarnya bukan
pemberian sanksi itu, melainkan mengembalikan baik kesadaran beragama mereka.
Sebab, perilaku korupsi itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat
memprihatinkan. Dengan demikian, bila kesadaran beragama itu berhasil
dipulihkan, niscaya tindak korupsi dapat diminimalisir. Hanya masalah-nya,
mengembali-kan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan
mudah. Tapi, toh masih ada kesem-patan untuk melakukan hal itu. Caranya dengan
berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teolo-gis dan penyadaran sosial.
Pertama, penyadaran teologis. Maksudnya,
secara teologis kita harus sadar, bahwa segala tindak-tanduk kita, senantiasa
dipantau Allah SWT dan akan mendapat imbalan yang setimpal, baik di dunia
maupun (terutama) di akhirat. Perilaku baik akan diganjar kebaikan dan perilaku
buruk akan diganjar keburukan. Tidak ada perilaku, sekecil apapun, yang lepas
dari pantauan Allah SWT. Lebih-lebih perilaku jahat yang nyata-nyata merugikan
kemaslahatan rakyat banyak, seperti korupsi.
Nabi SAW juga bersabda; "Setiap
daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram, maka api neraka lebih pantas
untuk melahapnya." (HR Ibnu Hibban). Secara teologis, ajaran Nabi SAW
ini selayaknya juga dijadikan pijakan dalam mengais rezeki. Karena, cara-cara
yang digunakan untuk itu, kelak akan dipertanyakan. Dan korupsi termasuk cara
"menumbuhkan daging dengan perbuatan haram" yang diancam siksa berat.
Secara teologis pula, siapapun kita tidak
akan bisa berkelit dari sanski super dahsyat di akhirat, kendati kita bisa
lepas dari sanksi dunia (inilah fungsi yaum al-hisab). Dengan demi-kian, bila
kesadaran teologis ini telah terbangun, perilaku jahat yang merugikan orang
lain pun dapat dihindari atau miniminal direduksi.
Kedua,
penyadaran sosial. Banyak ditemukan, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadis, ajaran
yang mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun)
tidak boleh dibangun atas dasar saling mendzalimi dan menjahati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar