Jihad itu mengandung dua muatan makna,
bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah)
(Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti
kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) Jihad dalam aspek
bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk mem-peroleh
tujuan tertentu.
Para ulama fiqih membahas makna jihad
dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari
hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib
diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu
pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam.
Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pem-belokan, seperti
yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad
dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri.
Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan
mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian
jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada
jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan
bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang
dengan sebutan qital, bukan jihad.
Sedangkan yang implisit, tetapi tetap
tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain: “Hai Nabi, berjihadlah
(melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali
yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73)
Ada pula nash-nash jihad yang mengandung
pengertian selain peperangan, antara lain: “Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al Ankabut : 69).
Juga ada Hadits yang berbicara tentang
jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah
bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah saw.
bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).
Selain berperang memperta-hankan
kedaulatan negaranya dari serangan musuh, dalam Islam juga dikenal dengan
penaklukan terhadap negara-negara kafir yang memusuhi Islam, menghalangi dakwah
dan membuat kerusakan di muka bumi. Perang yang bersifat menyerang ini hukumnya
fardlu kifayah bagi umat Islam yang sudah baligh, laki-laki, merdeka, tidak
cacat dan mempunyai biaya yang cukup untuk berperang dan cukup untuk keluarga
yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (Islam), yaitu dari orang-orang yang diberikan Al Kitab
kepada mereka, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.” (QS. At Taubah:29).
Sekilas, dengan pendekatan perang model
kedua ini, Islam terkesan sebagai agama radikal dan penuh kekerasan. Seakan
Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan cara-cara pemaksaan. Namun
sebenarnya, Islam tidak tidak pernah memak-sakan keyakinan keberagamaan Islam
kepada orang-orang non muslim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 256).
Penyerangan ini semata-mata bertujuan
untuk kemaslahatan dan rahmat bagi kehidupan manusia. Selain itu, perang dengan
menaklukkan atau menyerang darul harb (negara yang memusuhi Islam) atau kafir
harb (kafir yang memusuhi Islam) ini harus melalui beberapa tahaban. Pertama,
tawaran kepada mereka untuk tunduk terhadap kekuasaan Islam. Tahab kedua, jika
menolak, mereka diminta membayar jizyah (pajak) dengan jaminan perlindungan
keamanan dan hak mereka sama dengan kaum muslimin. Tahab ketiga, jika menolak,
ditawarkan perang.
Penyerangan atau penaklukan yang
dilakukan oleh kaum muslimin ini sejatinya jauh berbeda dengan penjajahan yang
dilakukan oleh negara-negara Barat. Mereka menaklukan negara-negara kecil dan
lemah dengan tujuan menjajah, menin-das dan merampas, untuk semata-mata
kepentingan sendiri. Jika misi kaum penjajah adalah penindasan dan pemerasan,
sebaliknya, misi perang dalam Islam adalah menciptakan rahmatan lil alamin,
mengembalikan manusia ke dalam agama dan kehidupan yang suci untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Akibatnya, negara-negara jajahan kaum kolonialis
mengalami keter-belakangan, ketertindasan, kehancuran, dan kemiskinan,
sebaliknya negara-negara taklukan tentara-tentara Islam justru mengalami
perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala aspek kehidupan, di bidang
ekonomi maupun saint dan teknologi. Contohnya adalah penaklukan Mesir oleh
Khalifah Umar bin Khattab, Andalusia oleh Thariq bin Ziyad dan lain-lain.
Islam mensyari’atkan perang tapi penuh
dengan etika. Hadits berikut ini sebagai buktinya: “Ketika mengutus panglima
perang Rasulullah saw. berwasiat kepadanya dan seluruh pasukan agar bertaqwa
dan berbuat baik. Rasulullah bersabda, “Berperanglah di jalan Allah dengan
nama Allah (ikhlas). Perangilah orang kufur pada Allah. Janganlah kalian
berkhiyanat. Janganlah kalian menipu. Janganlah kalian mencincang. Janganlah
kalian membunuh anak-anak.” (HR. Tirmidzi).
Etika berperang juga diajarkan oleh
Khalifah Abu Bakar Shidiq ra. ketika mendelegasikan Usama bin Zaid ke Syam, “Janganlah
kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang, jangan membunuh anak kecil,
jangan membunuh orang tua, jangan membunuh perempuan, jangan menebang pohon
kurma dan jangan pula membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, jangan
menyembelih kambing, lembu atau unta kecuali untuk dimakan. Jika kamu melewati
kaum yang mengabdikan diri di gereja, maka biarkanlah mereka beserta
pengabdiannya.” (Tafsir Ayatul Ahkam).
Di sinilah letak seni keindahan perang
dalam Islam. Dengan begitu tidak ada alasan menjatuhkan vonis bahwa Islam
adalah agama radikal. Tidak ada celah menuduh Islam sebagai agama yang
melegalkan segala bentuk kekerasan dan kesadisan. Justru sebaliknya, Islam adalah
agama penebar rahmat (kasih sayang) bagi kehidupan alam semesta. “Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al Anbiya:107)
Sangat bermemfaat
BalasHapus