Telah menjadi ketetapan Allah, suami
diamanati menjadi pemim-pin rumah tangga. Ia berkewajiban berjuang mencari dan
memenuhi kebutuhan keluarga. Namun perjuangan dan jerih payah itu haruslah
diimbangi dengan ke-pandaian isteri dalam mentasharufkan harta yang ada.
Pentasharufan yang kurang benar, efektif dan efesien akan berdampak kurang baik
terhadap laju perjalanan rumah
tangga.
Oleh
karenanya, istri sebagai pengelola (ra’iyah) di dalam rumah harus pandai-pandai
mengatur keuangan agar terjadi keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran,
dan terhin-darkan dari pemborosan yang tidak diperlukan. “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya (Q.S. Al-Israa’ : 27).
Sebab sebanyak dan setinggi apa pun
penghasilan suami, tanpa dibarengi dengan manajemen keuangan yang baik dari
pihak isteri, tidak akan mencukupi. Dan bila keadaan seperti itu dipertahankan
dan tiada usaha untuk memperbaikinya bukan mustahil dapat memperkeruh suasana,
menimbulkan percek-cokan, bahkan mengantarkan kepada perceraian, na’udzu
billah.
Di antara suami isteri harus terjadi
kerja sama yang kompak dan menguntungkan kedua belah pihak. Jika suami sudah
rela mengerahkan usaha dan tenaga mencari nafkah dengan benar, maka isteri juga
harus menghargainya dengan penga-turan sedemikian rupa agar usaha tersebut
tidak sia-sia dan dapat menumbuh-kembangkan tanaman mawaddah wa rahmah di
antara mereka. Harta yang banyak bukanlah jaminan bagi teraihnya impian suatu
keluarga. Justru jika tidak dikelola dengan baik malah akan menjadi sumber
permasala-han dan malapetaka. Sebaliknya rizki pas-pasan yang disertai
pengaturan dan pengelolaan yang benar, insya Allah dapat mencukupi kebutuhan
dan men-datangkan kebahagiaan. Namun Jika penghasilan suami jauh dari
mencukupi, maka isteri di samping boleh membantu suami dengan mengerjakan
pekerjaan yang layak dan dibenarkan syara’, ia juga harus bersabar dan berdoa
kepada Allah Swt.
Takhtith
(Perencanaan)
Mungkin dalam pemahaman sebagian kita
dirasakan adanya semacam kontradiksi antara keimanan dan perencanaan. Bukankah
menurut kaca mata keimanan, kita musti bertawakkal kepada Allah karena Dialah
yang mengelola diri dan kehidupan kita? Adalah sama-sama dinilai salah antara
orang yang berke-yakinan bahwa dirinya cukup untuk mengelola dan mengen-dalikan
dirinya dan orang yang menyerahkan semua persolannya kepada Allah tanpa ada
usaha dan langkah-langkah dalam lembaran hidupnya. Ibnu Athoillah dalam
Hikamnya mengatakan: “Sesung-guhnya berusaha atau mengikuti sebab-sebab itu
tidak berten-tangan dengan keimanan kepada Allah”. Yakni jika seseorang
melakukakan usaha dengan mengikuti sebab-sebab yang mengakibatkan keberhasilan
dan kadang-kadang juga kegagalan tidaklah menafikan kemestiannya untuk
bertawakkal kepada Allah.
Jadi sebelum kita bertawakkal kepada
Allah tentunya kita laksanakan suatu langkah yaitu berusaha dan dilanjutkan
dengan adanya ikhtiyar.
Sebagai sebuah keluarga, di samping
adanya keharusan bertawakkal kepada Allah, Juga tidak ada salahnya bahkan
sangat baik merencanakan langkah-langkah yang akan diambil berkenaan dengan
kondisi keua-ngan. Mulailah dengan kebu-tuhan-kebutuhan pokok. Jika keuangan
kebutuhan tersebut teratasi, barulah beranjak memikirkan kebutuhan penting
lainnya.
Yang selama ini terjadi, banyak orang yang
salah kaprah dalam memandang sesuatu sebagai kebutuhan hidup. Padahal sesuatu
itu hanyalah keinginan-keinginannya belaka yang seandainya tidak terpenuhi
tidak bakal mengancam kebahagian hidupnya. Artinya yang ada dalam otaknya
hanyalah daftar keinginan bukan kebutuhan. Misalnya, hand phone bukanlah
kebutuhan bagi seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah, tetapi nyatanya
banyak di antara siswa-siswi yang memilikinya. Seringkali suami, istri atau
anak-anak lepas kendali membeli barang-barang yang kurang berguna dan melupakan
sesuatu yang lebih penting. Akhirnya banyak kebu-tuhan pokok yang terbengkalai
gara-gara menuruti keinginan yang tiada batas. Apalagi yang dipakai ukuran
adalah gaya hidup kerabat, tetangga, teman atau orang lain tanpa
mempertim-bangkan kondisi dirinya. Akibat-nya angan-angannya membum-bung tinggi
hingga tidak lagi menyadari posisi dirinya. Bahkan berbagai nikmat dan kurnia
Allah luput dari perha-tiannya. Ia senantiasa merasa kurang dan kurang. Tidak
pernah merasa cukup apalagi bersyukur kepada-Nya. Rasulullah saw. memberi saran
seraya bersabda:“Lihatlah kondisi orang yang lebih rendah dari pada kalian,
dan jangan melihat kondisi orang yang lebih tinggi dari pada kalian, agar
kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.”
(H.R. Ahmad dari Abu Hurairah)
Iqtishad
(Hidup Sederhana)
Untuk membantu kesuksesan perencanaan di
atas perlu diterapkan pola hidup sederhana kepada segenap anggota keluarga.
Tidak ada manfaatnya bergaya hidup mewah. Bahkan banyak sekali dampak buruk
darinya, seperti pemborosan, kurang bersyukur, sombong dan angkuh. Yang paling
berbahaya ia menilai segala sesuatu dari penampilan lahir dan cenderung hubbud
dunya (cinta dunia). Sebaliknya pola hidup sederhana akan
mengantarkan pemiliknya berlaku rendah hati, bersahaja, qana’ah dan mensyukuri
berbagai nikmat-Nya.
Marilah segenap anggota keluarga kita
berlatih menerapkan pola hidup sederhana ini, mulai dari hal-hal kecil hingga
hal-hal besar. Seorang bijak berkata: “Uruslah perkara yang kecil niscaya
perkara besar akan terbereskan.” Uruslah menit demi menit niscaya waktu
satu jam anda akan terselesaikan dengan sendirinya. Uruslah jam demi jam,
niscaya siang-malam anda terisi dengan kebaikan, demikian seterusnya. Orang
yang hidup sederhana tidak akan terjatuh dalam kehinaan dan kemiskinan.
Rasulullah saw bersabda:“Tidak akan jatuh miskin orang yang berpola hidup
hemat.” (H.R. Ahmad).
Orang tua jangan ikut-ikutan silau dalam
memandang dan menyikapi gebyar hidup jaman sekarang, sehingga terkesan tidak
dapat selektif dan arif dalam menyikapinya. Sebaiknya orang tua dengan penuh
kasih sayang mengajarkan dan menjelaskan gaya hidup yang benar dan yang salah
menurut sunnah Rasulullah saw. Jangan sampai mereka tercemari dan
terkontaminasi oleh gencarnya arus budaya yang tidak islami yang sekarang ini
begitu bebas memasuki rumah-rumah kita melalui berbagai media masa dan
elektronika. Yang paling efektif ialah orang tua menjadi uswah bagi mereka
dalam berbagai hal termasuk dalam mererapkan pola hidup sederhana ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar