Dalam kitab tanbihul ghafilin karangan
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi banyak diterangkan mengenai beramal dengan
menggunakan ilmu diantaranya adalah beliau meriwayatkan dari sanadnya Abu
Dardak, katanya : “Tiada orang pandai tanpa belajar, dan bukanlah orang
‘alim jika tidak mengamalkan ilmunya.” Katanya pula : “Bahaya yang
menimpa orang bodoh hanya satu kali, tetapi bagi yang mengerti tanpa
melaksanakan pengertiannya sampai tujuh kali. Kelak di hari kiamat yang aku
takuti bukan tuntutan ‘sejauh mana ilmu pengetahuanmu?’ tetapi ‘sampai sejauh
mana kau mengamalkan ilmu pengetahuan itu?’
Nabi Isa as. berkata : Orang yang
dikenal besar namanya di alam malakut (malaikat) yaitu orang ‘alim yang
mengamalkan serta mengajarkan ilmunya.” Beliau juga berkata : “Tiada manfaatnya
orang buta membawa lampu, yang dapat
mengambil
manfaat justru orang lain. Dan tiada manfaat rumah gelap (di dalam), lampu
dipasang di belakang. Dan apa perlunya membahas ilmu hikmah jika tidak untuk
diamalkan?.”
Al-Auza’i berkata : “Orang yang pandai
mengamalkan ilmu yang dimiliki, niscaya diberi taufik untuk menimba (meraih)
ilmu yang belum ia miliki.”
Sahal bin Abdullah berkata : “Manusia
semua dalam keadaan mati, kecuali ulama’. Dan mereka mabuk semuanya, kecuali
yang mengamalkan ilmunya. Dan mereka semuanya tertipu (yang mengamalkan ilmunya
itu), kecuali yang tulus ikhlas dan mereka pun khawatir.”
Nabi saw. bersabda : “Hati-hati lah
kamu, jangan duduk berdekatan dengan orang pandai, kecuali yang mengajakmu dari
5 hal ke 5 hal yang lain, yaitu :
1. Dari keraguan menuju ke keyakinan
2.
Dari kesombongan menuju ke tawadhu’
3. Dari permusuhan menuju per-damaian
4. Dari riya’ menuju ke ikhlas
5. Dari rakus harta menuju zuhud.”
Telah diriwayatkan dari saidina Ali bin
Abi Thalib, beliau berkata : “Orang pandai jika tidak mengamalkan ilmunya,
orang enggan menimba ilmu darinya, sebab ilmunya tidak bermanfaat pada dirinya,
sekalipun ia telah menghimpun ilmu sebanyak-banyaknya.”
Pada zaman Bani Isra’il, ada orang menghimpun
ilmu sejumlah 80 peti besar ilmu, lalu Allah memberitahu lewat nabi-Nya : “Seandainya
engkau tambah lagi dua kali lipat ilmu
yang ada padamu, tetap tidak banyak arti bagimu, sepanjang engkau tidak
mengamalkan 3 perkara, yaitu :
1. Jangan senang harta (dunia),
karena ia bukanlah tempat pemukiman tetap bagi orang mukmin.
2. Jangan berkawan dengan syetan,
karena ia bukan kawan orang beriman (mukmin).
3. Jangan menyakiti atau mengganggu
kepada sesama mukmin, karena hal itu bukan sifat orang mukmin.”
Nabi saw. bersabda : “Barang siapa
menuntut ilmu berdasarkan 4 perkara, pasti masuk neraka, yaitu :
1. Menyaingi para ulama’.
2. Mempengaruhi orang-orang bodoh
(dengan berdebat).
3.
Agar populer di masyarakat.
4. Menarik harta dari penguasa,
kemulyaan atau pangkat dunia.”
Ada 3 type (macam) ulama’ yaitu :
1. Yang
mengenal Allah dan perintah-Nya,
yaitu orang pandai yang takut kepada Allah (bertakwa dengan sesungguh-nya) ketika melaksanakan
hukum, perintah atau menjauhi larangan-Nya.
2.
Yang mengenal Allah tapi tidak kenal perintah-Nya, yaitu orang yang
takut kepada Allah, tetapi buta masalah hukum, tidak mengerti mana yang halal
dan mana yang haram, serta tidak tahu perintah-perintah-Nya.
3.
Yang mengenal perintah-Nya, tapi tidak kenal Allah, yaitu orang pandai
hukum atau pandai dalam ilmu agama (Islam), tetapi tidak takut kepada-Nya.
Sahabat bertanya kepada nabi : “Manakah
manusia yang paling berbahaya? Beliau menjawab : Orang pandai ketika bejad
moralnya (tidak berakhlak).” Jika sudah terjadi hal semacam ini, maka
hancurlah alam sekelilingnya (masyarakat sekelilingnya).
Ada
seseorang berkata kepada Hasan Bashri : “Ulama’ fiqih setempat berpendapat
demikian.” Lalu Hasan Bashri berkata : Sesungguhnya ulama’ fiqih itu
adalah orang yang zuhud (tidak senang) harta dunia, dan ia sungguh-sungguh
berharap pada akhirat, selalu ingat laku dosanya, tetap tekun beribadah. Jika
para ulama’ disibukkan menghimpun harta halal, maka masyarakat awam akan
menyantap harta syubhat, dan jika para ulama’ menyantap harta yang syubhat,
maka masyarakat awam menyantap yang haram, apalagi jika para ulama’ telah
berani menyantap harta yang haram, maka masyarakat awam menjadi kafir.”
Abu
Laits samarqandi membe-rikan penjelasan tentang kete-rangan Hasan Basri di atas
sebagai berikut : Karena jika ulama’ disibukkan menghimpun harta halal, maka
masyarakat awam menirunya, padahal mereka tidak mengerti (batas halal-haram)
akhirnya mereka terjebak pada syubhat. Dan jika para ulama’ menyantap yang
syubhat lalu ditiru, padahal mereka tidak mampu membedakan syubhat dan haram,
akhirnya mereka menerjang yang haram. Dan jika para ulama’ berani menerjang
yang haram lalu ditiru, bahkan mereka menganggapnya (yang diperbuat ulama’ itu)
halal, akhirnya mereka menjadi kafir, karena
mereka menghalalkan yang haram.
Di hari kiamat, ada 3 macam orang yang
sangat menyesal, yaitu :
1.
Majikan yang punya pelayan seorang shaleh, ia masuk surga, sedang
majikannya terjerumus ke neraka.
2. Seorang hartawan yang telah bersusah
payah menghimpun hartanya, tetapi zakatnya tidak dikeluarkan hingga ajal (mati)
datang, lalu hartanya diwaris, dan oleh pewarisnya dibuat taat/beribadah,
hingga mereka masuk surga karena harta itu, sedang ia terjerumus ke neraka.
3.
Seorang pandai yang mendidik masyarakat (anak didik)nya, tetapi ia
melupakan pendidikan (ajaran) yang disampaikan, sehingga masyarakat selamat
karena pendidikan (pelajaran) nya, sedang ia sendiri ter-jerumus ke neraka.
Usamah bin Zaid bin Harits, dia berkata :
“Saya mendengar rasulullah saw. bersabda : Pada hari kiamat (ketika
kaum kafir telah dilemparkan ke dalam neraka), lantas seorang laki-laki
didatangkan (dia adalah seorang mubalig yang muslim). Lalu dilemparkan ke dalam neraka, lantas isi
perutnya keluar lalu ia mengitari neraka itu sebagai mana keledai mengitari
gilingan gandum. Maka penghuni neraka berkumpul padanya, lalu bertanya : Wahai
Fulan ! Bukankah kamu (dahulu di dunia) memerintah kebajikan dan melarang
kemungkaran? Dia menjawab : Ya, aku memerintah kebajikan, lantas aku tidak
melakukannya dan aku mencegah kemungkaran, tapi aku sendiri melanggarnya.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
“Seorang itu tidak menjadi
‘alim (pandai) sehingga mengamalkan ilmunya." (H.R. Ibnu Hibban dan
Baihaqi)
Saidina Umar bin khattab ra. berkata : “Sesungguhnya
setakut-takut apa yang kutakutkan atas umat ini (Islam) adalah orang munafik
yang ‘alim (pandai).” Mereka bertanya “Bagaimanakah ia menjadi orang
‘alim yang munafik?.” Umar ra.
menjawab : “Ia pandai lidahnya, namun bodoh hati dan amalnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar