Setiap saat dalam hidup kita, selalu dilingkupi oleh Nikmat Allah.
Kenikmatan yang bersinergi dalam hidup ini jangan dianggap sebagai pemberian
begitu saja. Ada konsekwensi logis dari semua fasilitas ini. Karenanya,
berhati-hatilah dengan nikmat dari Allah SWT. Sebab ternyata kenikmatan yang
diperoleh selama ini tidaklah gratis
meskipun datang dari Allah swt. Karena semua kenikmatan mesti
dipertanggung-jawabkan.
Peringatan ini cukup jelas misalnya
dalam salah satu firman Allah : “kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu). (Q.S. 102 At Takaatsur 8)
Imam Al
Qurthubi dalam kitab tafsirnya menceritakan bagaimana reaksi para sahabat
Rasulullah saw ketika turun ayat ini. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah,
kenikmatan yang mana yang akan ditanya? Kami hanya menelan separuh dari roti
kering di perut kami. Kemudian sebelum Rasu-lullah saw menjawab diberi wahyu
dan Rasul saw bertanya kepada mereka: ”Apakah mereka juga minum dan beralas
kaki?” itu semua termasuk kenikmatan yang akan ditanya.
Sedangkan
menurut hadist dari Ibnu Mas’ud Rasul menga-takan termasuk nikmat Kesehatan dan
rasa aman dan nikmat tidur. Menurut penafsiran Imam Mujahid adalah setiap
bentuk kenikmatan duniawi. Sedangkan Menurut Imam Hasan Al Bashri termasuk
kenikmatan adalah masuk waktu pagi dan sore.
Bahkan
menurut Abu Qulabah termasuk nikmat adalah memakan roti dengan minyak samin.
Adapun menurut riwayat Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, dimana Imam An
Nai’m menafsirkan ayat tersebut bahwa termasuk kenikmatan adalah semua nikmat
sehat badan, penglihatan, pendengaran. Sebab semua itu akan ditanya nanti di
akhirat.
Artinya:
Berkata Imam Ali bin Abi Thalhah hadits dari Ibnu Abbas, maksud ayat Tsumma
latus alunna yauma idzin ’aninna’iim; perkataan Na’im berkaitan dengan sehat
badan, pendengaran dan penglihatan; semuanya akan ditanyai oleh Allah terhadap
hambanya untuk apa saja semua itu dipergunakan sebab Allah lebih mengetahui
daripada hambaNya. Allah berfirman dalam ayat lain: ”Sesungguhnya pen-dengaran,
penghlihatan dan hati akan ditanyai.” (Tafsir Qurthubi)
Dari
iformasi Ayat dan tafsir serta hadits baik dari Tafsir Al Qurthubi dan Ibnu
katsir sudah cukup jelas menginformasikan bahwa setiap kenikmatan akan
ditanyai. Dengan kata lain benarlah bahwa hidup ini tidaklah gratis. Semuanya
akan dimintai tanggung jawabnya.
Dengan
demikian, rasanya hamba Allah tidak pantas berkeluh kesah kepada Allah. Sebab
dengan keluh kesah menjadi salah satu tanda melupakan nikmat Allah. Boro-boro
mau bersyukur yang tanpak di wajah hanya kusut masam karena berkeluh kesah.
Karena itu Rasulullah dalam sabdanya melarang berkeluh kesah sebab akan dicap
sebagai orang fakir (orang miskin) oleh Allah sampai hari kiamat. Sebalkinya,
Rasu-lullah menganjurkan agar bergem-bira dengan kelezatan di dalam hati karena
telah menemukan rakhmat dan Islam.
Hal itu
ditegaskan Rasulullah setelah menerima ayat "qul bifadlillaahi
wabirokhmatihii fabidzaalika falyafrokhuu"’. Sebab Islam adalah
rakhmat yang besar dari Allah karenanya kesampingkan dulu keluh kesah.
Ungkapan Rasulullah melarang berkeluh kesah tercantum dalam Tafsir Al Qurthubi
kutipanya sebagai berikut:
Artinya:
“Barangsiapa yang sudah mendapatkan petunjuk dalam Islam dan diberi penge-tahuan
tentang Al-Qur'an kemu-dian mengeluh tentang kesulitan hidup kepada Allah,
niscaya Allah tuliskan (menstempel) pada kedua matanya sebagai orang fakir
sampai hari kiamat. Kemudian Rasulullah saw mengucapkan firman Allah:
“Katakanlah dengan fadilah dan rakhmat Allah, hendaklah kalian semua
ber-gembira.”
Menurut
Imam Malik, Anugerah Allah (Fadlullah) berupa Iman sedangkan Rakhmat Allah
diartikan dengan hadirnya Rasulullah saw di bumi ini, sebagaimana firman Allah
: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (Q.S. 21 Al Anbiyaa' 107)
Menjaga Amanat bukan Memiliki
Kenikmatan yang diterima oleh kita merupakan titipan. Karena bersifat titipan maka sudah pasti akan dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Dan seorang penjaga titipan yang baik adalah dia tidak akan merasa memiliki sedikitpun titipan itu melainkan dengan penuh tanggung jawab akan menjaganya hingga pemilik titipan berkenan mengambilnya.
Sebagai gambaran, kita di-ibaratkan
pegawai yang memiliki tanggung jawab masing-masing; ada tukang hitung uang
(kasir) atau ada tukang parkir; kedua pegawai ini tidak merasa memiliki barang
yang tengah dititipkannya meskipun uang berjumlah banyak atau mobil-mobil yang
diparkirnya mewah-mewah.
Mereka tidak merasa memiliki sedikitpun mobil yang diparkir tersebut, malahan menjaganya dengan penuh tanggung jawab. Maka ketika kedua pegawai itu pulang ke rumah, mereka tidak membawa apa-apa. Demikian pula ketika kita pulang memasuki alam kubur, sedikitpun tidak akan dibawa barang-barang yang telah dititipkan Allah kepada kita.
Sikap Ulama Salaf menghadapi AmanatAllah
Para ulama salaf yang sejati jika dikasih amanat akan mikir-mikir terlebih dahulu sebelum menerimanya mereka lebih senang untuk menolaknya. Hal ini bisa dilihat dari keengganannya mengemban amanat sebab tidak ada yang berusaha merebut amanat. Hal ini karena merasa takut akan tanggungjawabnya nanti di akhirat.
Alasan yang lain adalah jika mengemban sesuatu amanat maka karena yang pertama kali dihisab nanti di akhirat adalah yang dipimpin terlebih dahulu (muridnya, anggota organisasinya, anak buahnya dst). Karena itu lebih baik tidak mengemban amanat apalagi kalau sampai terdengar ungkapan "Pilihlah saya, karena saya lebih baik dari yang lain" Saya akan membawa kebaikan dll. Ungkapan ini mirip dengan kata-kata Iblis ketika enggan untuk bersujud kepada Adam: Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".(Q.S. 7 Al A'raaf 12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar