Al-Qur’an itu telah memperkenalkan
dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu dari sekian banyak ciri dan
sifatnya itu adalah dia merupakan kitab suci yang keotentikannya (kemurniannya)
itu dijamin oleh Allah swt. dan dia adalah kitab suci yang selalu dijaga dari
pengurangan ataupun penambahan.
Hal ini kita yakini karena Allah
swt. sendiri telah berfirman dalam Al-Qur’an :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ ( الحجر: 9)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr : 9)
Dalam hal ini ulama’ terkenal dari
Mekah, Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni berkata :
“Para
ulama’ ahli tafsir telah berkata : Diantara keistimewaan Al-Qur’an yang agung
adalah Allah telah menjaganya dari penggantian dan perubahan dengan dua cara,
yaitu : Yang pertama, terjaga dengan tulisan dan yang kedua terjaga dengan
hafalan. Hal ini berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya, kitab-kitab suci
lainnya selain Al-Qur;an itu hanya tertulis, tidak dihafalkan. Oleh karena itu
logislah jika kitab suci mereka itu mengalami perubahan-perubahan dari aslinya. (Kitab Shafwan At-Tafaasiir).
Berdasarkan
penjelasan ulama’ mufasirin tadi, menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu terjaga
keotentikannya karena adanya dua hal yaitu : Al- hifdzu fish-shudur
(pengafalan) dan Al-hifdzu fis-suthur (penulisan).
a. Penghafalan
Pada permulaan Islam, bangsa arab
adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai
menulis dan membaca. Oleh karena itu satu-satunya andalan mereka adalah
hafalan. Masyarakat Arab khususnya, pada masa turunnya Al-Qur’an terkenal
sebagai masyarakat sederhana dan
bersahaja. Kesederhanaan ini menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup
untuk menghafal Al-Qur’an dengan baik.
Ayat-ayat Al-Qur’an turun secara
bertahap, sedikit demi sedikit. Hal ini mempermudah pencernaan maknanya dan
proses penghafalannya.
Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat
itu Nabi menyuruh menghafal kannya dan
menuliskannya, di batu, kulit binatang, pelepah tamar, dan apa saja yang bisa
disusun dalam sesuatu surat. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi
mengadakan peraturan, yaitu Al-Qur’an sajalah yang boleh dituliskan , selain
dari Al-Qur’an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut
Nabi, dilarang menulisnya. Larangan ini dengan maksud supaya Al-Qur’an itu
terpelihara, jangan sampai barcampur aduk dengan yang lain-lain yang juga
didengar dari Nabi.
Nabi menganjurkan supaya Al-Qur’an
itu dihafal, selau dibaca dan diwajibkannya membacanya dalam sembahyang.
Dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al-Qur’an.
Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal
seluruh Al-Qur’an.
b. Penulisan
Sekalipun Nabi saw. dan para sahabat
beliau menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, namun untuk menjamin terpeliharanya
wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan saja, akan
tetapi juga tulisan. Tarikh Islam menginformasikan, bahwa setiap ada ayat yang
turun, Nabi saw. Selalu memanggil Kuttab Al-Wahyi (para pencatat wahyu)
untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya sambil menyampaikan
tempat dan urutan setiap ayat dalam setiap suratnya.
Untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an
yang ada sekarang ini benar-benar otentik dan tidak berbeda sedikitpun dengan
apa yang diterima dari Nabi saw. dahulu, kami akan mengemukakan sekelumit
sejarah penulisan Mushhaf sebagai berikut :
Diceritakan dalam sejarah bahwa pada
masa pemerintahan Abu Bakar terjadi peperangan yang hebat untuk menumpas
orang-orang murtad dan pengikut-pengikut orang yang mengaku dirinya nabi,
diantara peperangan-peperangan itu yang terkenal adalah peperangan Yamamah. Tentara Islam yang ikut dalam peperangan ini,
kebanyakan terdiri dari para sahabat dan penghafal Al-Qur’an. Dalam peperangan
itu telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur’an. Bahkan sebelum itu gugur pula
hampir sebanyak itu dari penghafal Al-Qur’an di masa Nabi saw. pada suatu
pertempuran di sumur Ma’unah dekat kota Madinah.
Oleh karena itu saidina Umar bin
Khaththab khawatir akan gugurnya para
sahabat penghafal Al-Qur’an yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada
saidina Abu Bakar untuk memusyawarahkan hal ini.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan :
أَنَّ زَيْدَابْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ. قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِيْ فَـقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدِاسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَ إِنِّيْ اَخْشٰى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلَ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبُ كَثِيْرٌ مِنَ الْقُرَّاءِ وَ إِنِّيْ أَرٰى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ، قُلْتُ لِعُمَرَ : كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قاَلَ عُمَرُ : هَذِهِ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِيْى حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِذٰلِكَ. وَرَأَيْتُ فِى ذَلِكَ الَّذِيْ رَاٰى عُمَرُ. قاَلَ زَيْدٌ، قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ شّابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَـتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الوَحْيِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَـتَـبَّعِ لْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ. فَوَاللهِ لَوْ كَانُوْا كَلَّـفُوْنِيْ نَـقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْـقَلَ إِلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِيْ بِهِ مِنْ جَمْعِ لْقُرْآنِ، كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ أَبُوْ بَكْرٍ يُرَاجِعُنِيْ حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِلَّذِيْ شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَـتَـبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعَسَبِ وَاللِّحَافِ وَصُدُوْرِ الرِّجَالِ الْحَدِيْثِ.
“Bahwasanya Zaid
bin Tsabit ra berkata : Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadi
peperangan Yamamah, dimana banyak sahabat-sahabat
Nabi saw. mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Sayyidina Umar
bin Khaththab. Berkata Abu Bakar ra : Sesungguhnya Umar mendatangiku dan mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli
Qur’an (yang menghafal Al-Qur’an) wafat dalam peperangan yamamah. Saya hawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat
dalam medan-medan perang yang lain, sehingga ayat Qur’an bisa hilang.
Umar mendesak kepada saya supaya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf,
lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar
menjawab, demi Allah. Pekerjaan ini
baik. Umar selalu meyakinkan saya sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya
sependapat dengan Umar. Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku :
Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya.
Engkau pada masa Nabi saw. masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Cobahlah kumpulkan
wahyu itu. Demi Allah (jawab Zaid), kalau
engkau perintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung dari beberapa
gunung, barang kali tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
Al-Qur’an. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat Rasulullah saw? Abu
Bakar mendesak, Demi Allah ini baik. Maka
Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan
hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya cari ayat-ayat
Al-Qur’an itu dan saya kumpulkan di mana pada mulanya ditulis di atas pelapah
tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sahabat-sahabat Nabi
saw. (H.R.
Bukhari – Kitab Fathul Bari).
Adapun dipilihnya Zaid bin Tsabit
sebagai ketua tim penulis Mushaf ini,
karena ia seorang anak muda yang
cerdas, penuh dedikasi
dan berdisiplin tinggi, juga termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh
Nabi saw. pada masa beliau hidup untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an.
Dengan dibantu beberapa orang
sahabat Nabi saw. Zaid pun memulai tugas sucinya itu. Abu Bakar ra.
Memerintahkan kepada kaum muslim untuk membawa naskah tulisan Al-Qur’an yang
mereka miliki ke Masjid Nabawi, kemudian diteliti oleh Zaid bin Tsabit dan
timnya. Dalam hal ini Abu Bakar memberi petunjuk agar tim tersebut tidak
menerima satu naskahpun kecuali yang telah memenuhi dua syarat berikut uni :
Syarat pertama, tulisannya
itu harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain dan syarat kedua, tulisannya
itu benar-benar ditulis atas perintah Nabi saw. dan ditulis dihadapan beliau,
karena ada sebagian sahabat yang menulis Al-Qur’an atas inisiatif sendiri. Dan
untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi
mata.
Sejarah telah mencatat, bahwa Zaid
bin Tsabit ketika itu menemukan kesulitan karena ia dan para sahabat menghafal
ayat berikut ini :
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ ( التوبة : 128)
Yang
terdapat dalam surat At-Taubah ayat 128, tetapi naskah yang ditulis di hadapan
Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah terebut ditemukan
juga di tangan seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Abu Khuzaimah Al-Anshari
ra.
Mushhaf yang dikumpulkan Zaid bin
Tsabit tersimpan pada saidina Abu Bakar sampai beliau wafat dan sesudah itu
mushhaf ini jatuh ke tangan Saidina Umar bin Khaththab (klalifah kedua), dan
sesudah Umar bin khaththab wafat, mushhaf ini disimpan oleh siti Hafshah binti
Saidina Umar ra. istri Rasulullah saw.
Di masa khalifah Utsman bin Affan
ra. Pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur
dan Tripoli di sebelah barat.
Ke mana mereka pergi, dan di mana
mereka tinggal Al-Qur’an itu tetap jadi imam (panutan) mereka.
Pada mereka ada naskah-naskah
Al-Qur’an itu, tetapi naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama susunan
surat-suratnya.
Begitu juga ada didapat di antara
mereka perbedaan tentang bacaan Al-Qur’an itu. Asal mulanya perbedaan bacaan
ini ialah karena Rasulullah saw. sendiripun memberi kelonggaran kepada
kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membaca dan melafadzkan
Al-Qur’an itu menurut lajnah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran
ini diberikan oleh Nabi saw. supaya mudah mereka menghafal Al-Qur’an ini.
Tetapi kemudian kelihatan
tanda-tanda bahwa perbedaan tentang bacaan Al-qur’an ini kalau dibiarkan, akan
mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan
kaum Muslimin.
Orang yang mula-mula memperhatikan
hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutka :
“Bahwasanya
Huzaifah bin Yaman ra. Datang kepada saidina Utsman ra. (khalifah ketiga).
Ketika itu Huzaifah mengepalai jihad di daerah Syam dalam memerangi Armenia dan
Azarbaiyan. Huzaifah sangat terkejut mendengar perbedaan-perbedaan prajurit
dalam membaca Al-Qur’an. Maka datanglah Huzaifah kepada khalifah Utsman bin
Affan, lalu beliau berkata : Wahai khalifah, buru-burulah menolong umat Islam
sebelum mereka berselisih tentang kitab suci sebagai perselisihan Yahudi dan
Nashara. Maka Saidina Utsman meminta kepada siti Hafshah agar kumpulan
Al-Qur’an yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya untuk disalin dan kemudian
dikembalikannya. Maka siti Hafshah memberikan mushhaf yang disimpannya itu
kepada saidina Utsman bin Affan. Saidina Utsman menunjuk empat orang sahabat
untuk menyalin Al-Qur’an itu, yaitu : Zaid bin Tsabit (penulis wahyu di zaman
Rasulullah saw), Abdullah bin Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits
bin Hisyam. Keempat sahabat ini menyalin mushaf itu dan menjadikannya banyak
mushhaf. Saidina Utsman memerintahkan kepada 3 orang anggota panitia yang
semuanya dari suku Quraisy : Kalau kamu berbeda faham dengan Zaid bin Tsabit
tentang tulisan-tulisan Al-Qur’an, maka pakailah menurut bahasa (dialek)
Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan dialek Quraisy. Maka semua
panitia bekerja. Sesudah selesai menyalin mushaf itu maka Saidina Utsman mengembalikan
mushhaf yang dipinjamnya dari siti Hafshah. Saidina Utsman mengirim setiap
naskah mushhaf itu ke pelosok daerah dan memerintahkan supaya sekalian
ayat-ayat yang ditulis di atas tulang-tulang, tembikar-tembikar dan lain-lain,
dihapuskan atau dibakar. (H.R. Bukhari – Kitab Fathul Baari).
Al-Qur’an yang telah dibukukan ini
dinamai “Al-Mushhaf” (Isim maf’ul dari ashhafa, dan ashhafa
artinya mengumpulkan, shuhuf jamak dari shahifah artinya
lembaran-lembaran yang telah bertulis.
Dalam Sejarah diterangkan panitia
yang dibentuk Saidina Utsman menulis lima buah Mushhaf. Empat buah diantaranya
dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin
pula dari masing-masing mushhaf itu, dan satu buah lagi ditinggalkan di Madinah
untuk Saidina Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan “Mushhaf
Al-Imam.”
Sedangkan di Indonesia, pemerintah
Indonesia sudah mempunyai Al-Qur’an pusaka berukuran 1 x 2 meter, yang ditulis
dengan tangan oleh penulis-penulis Indonesia sendiri, mulai tanggal 23 Juni
1948 sampai 15 Maret 1960, yang sekarang disimpan di Masjid Baiturrohim dalam
istana negara. Al-Qur’an pusaka itu selain untuk menjaga kesucian dan kemurnian
Al-Qur’an, juga dimaksudkan untuk menjadi induk dari Al-Qur’an yang diterbitkan
di Indonesia.
Selain itu di pondo-pondok
pesantren, madrasah-madrasah sampai perguruan tinggi terdapat pula usaha-usaha
menghafal Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar