Perasaan selalu ingin memiliki sesuatu
yang lebih, tamak serta ambisi dalam hal-hal yang berbau duniawi memang sudah
menjadi sifat dan tabiat manusia. Sehingga akan memerlukan penanganan yang
ekstra untuk bisa mengen-dalikan dua watak tersebut. Siapapun orangnya pasti
memiliki keduanya.
Namun kadar dan efek yang ditimbulkan
pasti akan sangat bervariasi tergantung kemampuan orang tersebut dalam
mengendalikan dan meredam keganasan dua virus yang bisa mematikan jiwa
tersebut.
Dari sinilah Imam Ghozali kemudian
memberikan resep terapi kepada kita agar bisa memproteksi atau minimal
mengontrol keduanya agar tidak bisa berkembang biak di dalam kehidupan ini.
Untuk melawan kedua virus ini sebenarnya
manusia cukup mempunyai satu penangkal yaitu qona’ah (neriman) serta percaya
diri sepenuhnya kepada Alloh bahwa semua rizki mahluq hidup dimuka bumi ini
sudah diatur oleh-Nya. Namun untuk mendapatkan obat itu manusia diharuskan
melakukan beberapa hal. Setidaknya ada tiga jalur yang harus ditempuh agar bisa
menghindari atau mengkarantina penyakit hati ini. Yaitu : kesabaran
(as-shobru), pengatahuan (al-ilmu) dan pengamalan (al-‘amal). Dalam
merealisasikan ketiga hal diatas ada lima jalan yang harus dilalui manusia.
Pertama : selalu bersikap ekonomis dan bijak dalam segala
penggunaan harta yang dimiliki. Setiap orang yang ingin memiliki keagungan
qona’ah maka hal pertama yang harus dilakukan adalah sebisa mungkin menekan
pembelanjaan duniawinya dan menggunakan hartanya hanya untuk keperluan yang
pasti dan sangat dibutuhkannya. Artinya ketika dia hanya hidup sendirian (tidak
punya tanggungan keluarga) dan sudah merasa cukup dengan satu potong baju saja,
maka dia tidak perlu mempunyai dua potong baju atau lebih. Dan bila sudah
berkeluarga maka keluarganya juga hanya diberi sebatas apa yang dibutuhkan
saja. Tidak lebih. Karena manusia yang terlalu royal dan boros dalam
pembelanjaan harta dia akan sangat sulit memiliki perasaan qona’ah. Dan untuk
menghindari itu manusia harus selalu melakukan perhitungan dan perencanaan yang
matang setiap kali akan melakukan penggunaan harta. Sebagaimana yang telah
dianjurkan oleh Rosululloh agar umatnya selalu melakukan pengaturan dalam
pengeluaran sampai-sampai beliau mengibaratkan bahwa “At Tadbiru nifsul
ma’isyah” (perencanaan belanja adalah separuh dari kehidupan).
Kedua : ketika di suatu saat manusia dalam kondisi yang
berkecukupan dan memiliki kelonggaran ma’isyah dia tidak perlu merasa bingung
untuk memikirkan kebutuhannya di hari selanjutnya serta tidak perlu banyak
berhayal untuk kehidupannya di hari yang akan datang. Dia harus tetap dan
selalu memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa untuk hari esok Alloh telah
mempersiapkan rizkinya. Sehingga harta yang dia miliki akan selalu dibelanjakan
dijalan Alloh tanpa merasa takut miskin di hari berikutnya. Dalam lubuk hatinya
terancap keyakinan bahwa Alloh yang menjadikan mahluq di muka bumi ini, maka
Dialah yang bertanggung jawab akan kelangsungan hidupnya (rizqinya). Orang yang
memiliki kegemaran memupuk kekayaannya pada hakekatnya mereka itu tidak percaya
akan janji Alloh atas rizkinya setiap saat. Dan dalam hatinya sudah diracuni
syetan dengan perasaan takut miskin dikemudian hari. Sehingga dia akan
terjangkiti sifat ambisi menumpuk hartanya dengan dalih untuk persiapan hari
esok tanpa mau menggunakannya dijalan Alloh.
Ketiga : manusia harus mengetahui kalau qona’ah akan selalu
memberikan kemulyaan baginya sedangkan tamak dan ambisi akan selalu menyeret
dirinya masuk kedalam lembah kehinaan dan derita kepayahan. Bila manusia telah
menyadari akan hal tersebut dia akan selalu termotivasi untuk selalu bersifat
qona’ah. Manusia yang telah banyak diliputi perasaan tamak dan ambisi mereka
akan tidak bisa melepaskan diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitarnya.
Hal inilah yang kemudian menjadikan posisi manusia tersebut akan sulit atau
bahkan tidak mungkin mejalankan misi Alloh yaitu mengajak umat manusia ke jalan
kebajikan. Karena orang sudah memiliki ikatan kebutuhan kepada orang lain
cenderung memiliki sifat mudahanah (tidak memiliki kecemburuan agama dan rela
melihat orang lain melakukan kedurhakaan). Sebaliknya orang yang mempunyai
sifat qona’ah akan merasa selalu merdeka dan jauh dari intervensi orang lain
atas kehidupannya.
Keempat : banyak melakukan kajian dan telaah atas
kejadian-kejadian orang-orang terdahulu kemudian membanding satu dengan yang
lainnya. Yakni kembali membuka perjalanan sejarah bagaimana kehidupan
orang-orang Yahudi dan Nashroni yang memiliki hobi berfoya-foya dan
menghamburkan harta bendanya dan berakhir dengan adzab dari Alloh dan juga
mengangan-angan bagaimana kehidupan para Nabi, Waliyulloh, Khulafa’ur Rosyidin
serta para sahabat Nabi yang serba terbatas dan banyak merasakan kesusahan guna
menjauhkan diri dari kotoran dunia namun akhirnya semua berbuah kebahagiaan
yang tidak terbatas. Dari kedua sisi kehidupan tersebut kemudian manusia harus
memilih antara yang berujung kesengsaraan atau kebahagian.
Dengan mempelajari kembali kisah-kisah
mereka maka manusia tidak akan lagi merasakan qona’ah sebagai pekerjaan yang
hanya menawarkan kesengasaraan saja. Dan dalam hatinya akan tertanam kesimpulan
bahwa berlebih-lebihan dalam urusan perut itu tidak jauh beda dengan seekor
keledai, terlalu larut dalam urusan wanita berarti tidak lebih baik dari pada
seekor babi (celeng), dan jor-joran dalam berpakaian dan perhiasan sama halnya
ia telah banyak meniru kelakuan orang Yahudi dan Nashroni sedangkan menerima
dan ikhlas dengan apa adanya maka selayaknya ia disejajarkan dengan kedudukan
para Nabi dan Wali.
Kelima : betul-betul memahami bahwa dalam memupuk harta
benda akan bisa berakibat memiliki rasa kekhawatiran yang sangat berlebihan
padahal sebenarnya tidak perlu dialaminya. Karena sudah bukan hal yang rahasia
kalau seseorang yang banyak memiliki harta maka ia akan banyak mempunyai
perasaan khawatir akan kehilangan, dirampok, terkena musibah seperti banjir,
kebakaran dan sebagainya. Bahkan yang sangat mengerikan adalah hartanya
tersebut bisa menjadi tirai penghalang untuk mereguk kenikmatan di sorga. Dan
kalaupun ia bisa menggunakan hartanya dijalan Alloh maka untuk masuk sorga
kelak dia harus berada di antrean paling akhir. Tak tanggung-tanggung di padang
mahsyar nanti dia harus menanti indahnya sorga sampai 500 tahun dari para
orang-orang yang tak punya harta benda.
Agama Islam telah menggariskan konsep
agar kita tidak terlalu terbuai memperbanyak harta sebagaimana yang pernah
dipesankan oleh Rosululloh kepada shohabat Abu Dzarrin bahwa dalam urusan dunia
jangan sekali-kali dia melihat orang yang berada di atasnya.
Karena sudah menjadi kebiasaan manusia
kalau dia melihat orang lain memiliki banyak kelebihan materi dia selalu ingin
lebih dari dia. Maka langkah aman untuk menghilangkan hal itu adalah untuk
urusan akherat (ibadah) kita harus melihat orang yang ada diatas kita.
Sebaliknya untuk masalah dunia kita harus melihat orang lain dibawah kita.
Yang tak kalah pentingnya adalah kita
harus selalu mengingat-ingat apa yang sering diwasiatkan para ulama’ dahulu.Di
saat dunia (harta benda) mengucilkan kita maka kita harus selalu melindungi diri
dengan sifat qona’ah (neriman) dan menekan sekutanya perasaan keinginan yang
menggebu-gebu untuk mendapatkan harta (ambisi). Namun ketika dunia memihak
kepada kita maka kita harus selalu mengedepankan kebutuhan orang lain, selalu
bersikap dermawan dan berbuat kebajikan serta menjauhi perasaan bakhil dan
tertutup untuk orang lain yang membutuhkan. Karena apa yang digariskan oleh
Alloh atas kita terkadang tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Tidak
sedikit orang yang sangat berambisi memperoleh kekayaan materi tetapi ternyata
Alloh malah tidak mempercayai dirinya untuk dititipi harta benda. Sehingga
ketika orang tersebut tidak memiliki perisai pelindung (qona’ah) maka tidaklah
hal yang mustahil dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang
dicita-citakannya. Kita tentunya tidak ingin seperti Abu Tsa’laba yang terlalu
‘memaksa’ Rosululloh supaya dido’akan menjadi orang yang kaya agar dirinya bisa
lebih memperbenyak ibadah dengan harta yang akan didapatkannya. Tetapi
kenyataannya ia ternyata tidak mampu menguasai diri sehingga hartanya tidak
bisa menjadikan dia sebagai orang yang mulya di sisi Alloh.
Ketika kita ditakdirkan oleh Alloh
menjadi orang yang kaya maka kita harus selalu memelihara sifat dermawan.
Karena inilah satu-satunya sifat jaminan yang bisa menjadikan Alloh akan selalu
mempercayai kita untuk memiliki harta benda. Kita tentu tidak sedikit mendengar
cerita bagaimana Alloh membuktikan ancaman tersebut terhadap orang berharta
yang berlaku kikir. Tidak hanya hartanya saja yang ditarik dari dirinya. Dia
juga diseret menuju adzab yang maha pedih dan dahsyat.
Kalau kebetulan kita mempunyai harta
pada hakekatnya itu bukan dan belum menjadi milik kita seutuhnya selama belum
dinafaqohkan (dibelanjakan) kepada kebaikan. Karena harta yang ada pada kita
berapapun banyaknya pasti akan pergi dari kita. Dan bagi kita yang telah
dipercaya Alloh dengan amanat harta kita harus memilih apakah harta yang akan
mengendalikan kita, atau kita yang akan memegang kendali harta benda. Harta
akan mengendalikan kita kalau kita tidak bisa berlaku proporsional terhadapnya.
Dan di akherat kelak harta akan menjadi beban yang teramat berat bagi kita. Dan
sebaliknya kita akan bisa menjadikan harta kita sebagai tameng dari siksa Alloh
di neraka kalau semasa didunia kita bisa menjinakkan dan mengendalikannya untuk
kita arahkan menuju jalan yang diridloi Alloh subhanahu wata’ala.
Mantab
BalasHapus