Al-Qur’an pada zaman Nabi saw. dan
juga pada zaman khulafaurrasyidin tidak pakai titik (nuqthah) dan juga tidak
pakai harokat (syakl).
Tulisan kitab suci Al-Qur’an ketika
itu seperti yang tertera di bawah ini saja (maaf harusnya tidak ada titiknya
sama sekali) :
وادان من الله ورسوله
الى االناس يوم الحج الا كبر ان الله برىء من المسركين ورسوله (
التوبه : 3 )
“Dan (inilah) pemakluman dari Allah
pada Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bawha sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrikin.” (Q.S. At-Taubah : 3)
Ayat ini pasti dibaca oleh
sahabat-sahabat Nabi sesuai dengan yang didengarnya dari Nabi dan sesuai pula
dengan tata bahasa Arab, begini :
وَاَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ اِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ اَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ ( التوبه : 3 )
Perkatan : وَاَذَانٌ tidak akan dibaca وَاَذَانٍ
karena
perkataan ini mubtada’ yang menurut hukum ilmu nahwu harus marfu’ dengan
dhammah.
Perkataan : مِنَ اللهِ tidak akan
dibaca مِنَ اللهُ karena
menurut ilmu nahwu, setiap isim yang datang sesudah huruf jar (min) mesti
majrur, yaitu berharokat kasroh.
Pekataan :
وَاَذَانٌ
مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ tidak akan
dibaca وَاَذَانٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلُهُ karena
kalimat Rasulihi itu mathuf kepada lafadz Allahi sebelumnya.
Perkataan
اَنَّ tidak akan
dibaca اِنَّ karena ia
datang sesudah jumlah yang mestinya berharokat fathah.
Perkataan : بَرِىْءٌ tidak akan
dibaca بَرِىْءً karena ia
khabar anna mesti marfu’ (berharokat dhommah).
Perkataan
: مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ tidak akan dibaca مِنَ
الْمُسْرِكِيْنَ karena perkataan ini tidak ada artinya.
Perkataan
: وَرَسُوْلُهُ tidak akan
dibaca وَرَسُوْلِهِ
sebab ini sangat merusak artinya yang bisa menyesatkan.
Pendeknya
kalau sahabat-sahabat Nabi yang terdiri dari orang-orang Arab yang mengerti dan
faham ilmu nahwu dan tata bahasa Arab, tentu mereka tidak akan salah membacanya
sekalipun tidak pakai titik dan harokat.
Misalnya :
بَرِىْءٌ tidak akan
ada yang membaca dengan نَرِىْءُ atau تَرِىْءٌ atau ثَرِىْءٌ atau يَرِىْءٌ tapi mesti dibaca بَرِىْءٌ karena inilah yang sesuai dengan susunan
kalimat.
Hal ini dapat juga dicontohkan pada
tulisan Indonesia yang tidak pakai harokat, tentu dapat dibaca dengan tepat
oleh orang Indonesia dan tidak akan salah. Umpamanya :
ساي مـلهـت كـمـبـڠ مـكـن كـمـبـڠ
Tulisan ini mesti dibacanya dengan “Saya melihat kambing
makan kembang.” Dan tidak akan dibaca :
a. “Saya
melihat kambing makan kambing.” Karena ini tidak mungkin
b. “Saya
melihat kumbang makan kambing.” Juga tidak mungkin
c. “Saya
melihat kumbang makan kumbang.” Juga tidak mungkin
d. “Saya
melihat kambing makan kumbang.” Juga tidak mungkin
Seorang jendral dari khalifah Bani
Umaiyah Abdul Muluk bin Murwan, bernama Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
sekita tahun 70 H memerintahkan kepada seorang ahli qira’at bernama Nashar
bin ’Ashim supaya membuat titik ayat-ayat Al-Quran dan kepada Khalil bin
Ahmad diperintahkan pula membuat harokat pada Al-Qur’an.
Maka
jadilah ia sebagai yang kita lihat sekarang. Hal ini dianggap sangat perlu
karena kesalahan bacaan bisa merusak maknanya secara menyolok. Misalnya dalam
ayat di atas, yaitu tentang kalimat وَرَسُوْلُهُ yang terletak pada akhir ayat, kalau
dibaca وَرَسُوْلِهِ maka artinya menjadi “bahwa sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan dari Rasul-Nya”.
Seluruh umat Islam dari dulu sampai
sekarang termasuk ulama’-ulama’nya, imam-imam Mujtahid menerima dengan baik
titik dan harokat pada Al-Qur’an itu walaupun diadakan sesudah Nabi wafat. Dan
ini dinamakan hukum ijma’ yaitu kesepakatan.
Al Auza’i berkata dari Yahya bin abu
Katsir : “Al-Qur,an itu dahulu kosong (dari titik dan harokat), yang pertama
mereka adakan padanya adalah titik pada Ba’ dan Ya’ dan mereka mengatakan :
Tidak mengapa dengannya, karena sesungguhnya hal itu adalah cahaya baginya.
Sesudah itu mereka mengadakan titik-titik besar di akhir ayat. Dan mereka
mengatakan tidak mengapa, dengannya diketahui permulaan ayat".
Abu
Bakar Al-Hudzali ra. berkata : “Saya bertanya kepada Al-Hasan tentang
penambahan titik mushhaf dengan merah. Ia menjawab: Apakah yang kamu
titik-titikkannya ? Saya berkata : Mereka meng-i’rabi kata-kata dengan bahasa
Arab. Ia berkata : Adapun i’rab Al-Qur’an itu tidak mengapa.”
Khalid bin Al-Hidza’ ra. berkata :
“Saya masuk pada Ibnu Sirin, saya melihatnya sedang membaca pada mushhaf yang
bertitik, padahal dulunya ia membenci titik-titik itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar