WAHABISME
Sekilas Tentang Wahhabisme
Sekte
Wahhabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad Ibnu Abdil Wahhab Ibnu
Sulaiman an Najdi. Lahir tahun 1111 H dan wafat 1206 H.
Beliau telah belajar
sedikit ilmu agama dari beberapa gurunya termasuk ayahnya sendiri. Disebutkan bahwa dia
gemar membaca berita dan kisah-kisah
para pengaku kenabian, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Sujah, Aswad Al-Ansi dan
Thulaihah Al-Asdi. Sejak masa belajarnya telah tampak dari gelagatnya dalam
penyimpangan besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan
bahaya penyimpangannya. Mereka bertutur “Anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Allah
sengsarakan dan jauhkan dari
rahmat-Nya”.
Pada
tahun 1143 H Muhammad Ibnu Abdil Wahhab menampakkan ajaran kepada aliran baru, akan tetapi ayahnya
bersama para masyaikh, guru-guru
besar di sana berdiri tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka membongkar kebatilan ajakannya. Ajakannya
tidak laku, sehingga ketika ayahnya wafat
pada tahun 1153 H, ia mulai leluasa dalam
ajakannya. Ia mulai menyuarakan kembali ajakannya di kalangan para awam yang lugu dan tak tahu banyak tentang
agama, maka sekelompok orang awam menerima ajakannya dan mendukungnya. Atas kelahiran sekte sempalan ini, masyarakat di
sana bangkit dan hampir-hampir membunuh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
(penganjurnya). Ia melarikan diri ke kota Al-‘Aniyyah. Di sana ia mendekatkan
diri kepada Emir kota tersebut, ia menikah dengan saudari Emir. Di sana ia
memulai kembali ajakannya kepada bid’ah yang ia cetuskan itu, tetapi tidak lama kemudian masyarakat Al-‘Aniyyah
keberatan dengan ajakannya, mereka
mengusirnya dari kota tersebut. Ia pergi meninggalkan Al-‘Aniyyah menuju Ad-Dir’iyyah (sebelah timur
kota Najd), sebuah daerah yang dahulu
ditinggali oleh Musailamah Al-Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi itu dan dari kota itulah gerombolan kaum
murtadin berusaha menyerang kota Madinah
sepeninggal Nabi saw. Di kota
tersebut ia mendapat dukungan dari Emirnya yaitu Muhammad Ibn
Sa’ud, dan masyarakat di sana menyambut ajakannya dengan hangat.
Ketika
itu ia bertingkah seakan seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama
terdahulu maupun yang sezaman dengannya,
sementara itu semua tahu bahwa ia sangat tidak layak untuk menyejajarkan
dirinya di barisan para ulama mujtahidin.
Demikianlah disifati oleh
saudara kandungnya, seorang alim besar
bernama Sulaiman Ibnu Abdil Wahhab. Sebagai saudara kandung ia tahu persis kondisi saudaranya
tersebut. Syekh Sulaiman ini telah menulis sebuah kitab yang membahas
ajakan saudaranya yang sesat dan menyimpang itu. Di antara beliau mengatakan :
الْيَوْمَ ابْتُلِيَ النَّاسُ بِمَنْ يَنْتَسِبُ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَسْتَنْبِطُ مِنْ عُلُومِهِمَا وَلَا يُبَالِى مَنْ خَالَفَهُ وَمَنْ خَالَفَهُ فَهُوَ عِنْدَهُ كَافِرٌ هذَا وَهُوَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ خَصْلَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ خِصَالِ أَهْلِ الاجْتِهَادِ وَلَا وَاللهِ وَلَا عُشْرُ وَاحِدَةٍ وَمَعَ هذَا رَاجَ كَلَامُهُ عَلَى كَثِيرٍ مِنَ الْجَهْلِ فَإِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sekarang orang-orang telah ditimpa bala’ (bencana)
dengan seorang yang mengaitkan dirinya dengan Al-Qur’an dan Sunah, menyimpulkan
dari
keduanya, dan tidak menghiraukan siapa saja yang menyelisihinya. Dan barang siapa yang menyelisihinya adalah kafir
menurutnya. Demikianlah, sementara ia bukan
seorang yang menyandang satu dari sekian banyak syarat ahli ijtihad. Tidak, demi
Allah bahkan sepersepuluh syaratnyapun tidak ia miliki. Namun demikian
ucapannya laris di kalangan kaum
jahil (bodoh). Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Dasar Pemikiran Wahabisme
Sekte
Wahhabiyah memiliki dasar dogma ajaran yang dinyatakan dan dasar yang tersembunyi. Dasar yang dinyatakan adalah
memurnikan tauhid
hanya untuk Allah swt, memerangi syirik dan berhala-berhala (sesembahan) selain
Allah. Akan tetapi realita sepak terjang sekte ini tidak mencerminkan
sedikitpun dasar yang mereka nyatakan.
Adapun
dasar yang tersembunyi ialah merobek-robek kesatuan umat Islam, membangkitkan
fitnah dan mengobarkan peperangan di antara sesama mereka demi kepentingan para
penjajah barat. Ini adalah poros yang seluruh upaya dan usaha kaum Wahhabi
bergerak untuknya. Inilah dasar sesungguhnya sekte ini yang dasar pertama
dinyatakan dan dieksploitasi demi merayu kaum awam yang lugu dan kosong
pemahaman agama mereka.
Tidak
diragukan lagi bahwa slogan memurnikan tauhid hanya untuk Allah swt, dan memerangi
kemusyrikan adalah slogan yang sangat menawan dan memikat. Di bawah selogan itu mereka yang
telah terjaring aliran akan bersemangat,
sementara itu mereka tidak memahami bahwa slogan itu hanya sekedar kedok demi merealisasikan
tujuan awal yang disembunyikan itu.
Pilar Pemikiran Aliran Wahhabiyah
Kaum Wahhabi membagi
akidah menjadi dua bagian :
Pertama,
yang datang
dari Al-Qur’an dan atau Sunah. Mereka mengklaim bahwa bagian ini mereka ambil dari dasar
Al-Qur’an dan Sunah
tanpa merujuk kepada ijtihad para mujtahidin dalam memahami maknanya, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau
para imam mujtahidin
lainnya.
Kedua, apa-apa yang tidak ada nash
yang datang tentangnya. Di sini mereka mengklaim mengambilnya dari pemahaman
Imam Ahmad dan Syekh Ibnu Taimiyah.
Akan
tetapi dalam kedua perkara ini mereka mengalami kegagalan, mereka terjatuh dalam kontradiksi dan akhirnya menerjang
hal-hal yang
terlarang, sebagaimana dapat kita lihat pendapat Imam Ahmad dan Syekh Ibnu Taimiyah di atas
(tentang diperbolehkannya membaca Al-Qur’an di sisi kubur, menghadiahkan pahala untuk
orang yang telah meninggal, dan lain-lainnya). Allah lebih mengetahui.
Doktrin Takfir
Dewasa ini banyak kelompok
dan aliran dalam Islam terjebak dalam jaring
perangkap takfir (mengkafirkan orang lain), salah satunya adalah aliran
Wahhabiyah ini. Mereka saling melempar tuduhan takfir dan perselisihan mereka seputar masalah-masalah rincian aqidah
yang masih dibenarkan terjadi perbedaan
pemahaman di dalamnya, gentingnya
permusuhan yang terjadi saat ini membuat mereka lupa akan prinsip-prinsip dasar
Islam yang menyatukan mereka dan akhirnya berbagai tuduhan keji saling
terlontar sampai batas pengafiran individu dan komunitas.
Buku-buku
yang kental dengan nuansa pertentangan dan permusuhan telah banyak ditulis,
dipublikasikan dan diajarkan serta
dijadikan kurikulum halaqah-halaqah dan diskusi, bahkan di sebagian
negeri-negeri Islam masih dijadikan buku paket andalan dalam pengajaran akidah
Islam.
Untuk itu kami mengingatkan
kepada saudara-saudaraku yang kebetulan ingin mengetahui dan memahami tentang
Islam, jangan asal beli buku untuk menambah
wawasan ke-Islaman, teliti dulu siapa pengarangnya,
kitab-kitab yang dikutibnya, ulama-ulama sandarannya dan tidak kalah penting adalah penerbitnya. Di
antara penerbit yang banyak
menerbitkan buku-buku yang berfaham Wahhabiyah adalah : Pustaka Imam Syafi’i, Pustaka Abu Hanifah, Laa
Tasyuk, Ar-Rayyan, At-Tibyan, Darul
Hadits. Sebagai saran, bila kita berada di Jawa Timur maka dapat memilih buku-buku yang diterbitkan oleh
penerbit Khalista, atau
penerbit-penerbit lain yang berfaham Ahlussunah wal Jama’ah.
Abu
Salafy dalam bukunya (Madzhab Wahabi, Monopoli Kebenaran & Keimanan ala Wahabi) menerangkan panjang lebar doktrin takfir oleh aliran
Wahhabiyah ini, diantaranya adalah oleh:
1.
Syekh
Muhammad Ibn Abdil Wahhab
Dalam
kitabnya (Kasyfu Asy Syubuhat) sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslim selain kelompok Wahhabi
(yang tunduk menerima
ajakan Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab). Ia telah mengategorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan, dan atas dasar itu ia mengafirkan serta memvonis
musyrik selain
kelompoknya.
Dalam
buku kecil itu, Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab telah menyebut umat Islam, seluruh umat
Islam, baik awam maupun ulamanya
dari bernagai madzhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrik tidak kurang dari dua puluh
empat kali. Sementara itu, lebih dari dua
puluh lima kali ia menyebut kaum Muslim dengan sebutan : Kafir, para penyembah berhala, orang-orang Munafik, orang-orang murtad, para penentang tauhid,
musuh-musuh tauhid, musuh-musuh Allah, Orang-orang yang mengaku-ngaku Islam
secara palsu, pengemban kebatilan,
kaum jahil, setan-setan, dan kata-kata
keji lainnya.
Dalam
kesempata yang lain kaum Wahhabiyah juga mencerca para sahabat yang hidup
sezaman dengan Nabi saw. Pendiri sekte ini, Syekh Muhammad Ibn Abdil Wahhab
berkata tentang sahabat Nabi saw.
أَنَّ جَمَاعَةً مِنَ الصَّحَابَةِ كَانُوا يُجَاهِدُونَ مَعَ الرَّسُولِ وَيَصِلُونَ مَعَهُ وَيُزَكَّوْنَ وَيَصُومُونَ وَيُحِجُّونَ وَمَعَ ذلِكَ فَقَدْ كَانُوا كُفَّارًا بُعْدِينَ عَنِ الْإِسْلَامِ
“Sekelompok
sahabat ada yang berjihad bersama Rasulullah, shalat bersamanya, membayar
zakat, berpuasa dan haji, namun demikian mereka itu adalah kaum kafir dan jauh
dari Islam”.
2.
Abdullah
Ibn Ahmad Ibn Hanbal
Abdullah
putra Imam Ahmad Ibn Hambal dalam kitabnya As-Sunnah nya
yang ia tulis telah membeberkan panjang lebar seribu satu kecaman yang konon didengar dari ayahnya (para ulama masih
berselisih apakah benar dari Imam Ahmad atau ia mengada-ada), Imam Ahmad terhadap Imam Abu Hanifah (imam besar
Ahlussunah wal Jama’ah). Di antaranya Imam Abu Hanifah disebut sebagai : Kafir,
zindik (kata lain dari kafir), mati sebagai
seorang Jamhi, ia meruntuhkan bangunan Islam batu demi batu, ia seorang
Nabthi bukan seorang Arab, para pencandu arak lebih mulya dari pengikut Abu
Hanifah, para pengikut Abu Hanifah lebih berbahaya dari para perampok, para
pengikut Abu Hanifah tidak berbeda dengan mereka yang memamerkan
auratnya di dalam masjid, ia adalah Abu Jifah bukan
Abu Hanifah (Jifah artinya bangkai), Allah akan menelungkupkan Abu
Hanifah ke dalam api neraka Jahannam, setiap Muslim akan diberi pahala besar atas
kebenciannya terhadap Abu Hanifah serta pengikutnya, dan tidak
selayaknya bagi seorang Muslim tinggal di kota yang di dalamnya disebut-sebut dengan baik nama Abu Hanifah, mengangkat
seorang ulama bermadzhab Hanafi sebagai qadhi lebih berbahaya dari kemunculan Dajjal, Abu Hanifah adalah seorang
Murjiah, andai dosa Abu Hanifah
dibagi rata kepada umat ini pasti akan memberatkan timbangan kejelekan mereka, umat Islam harus
menjauhinya seperti menjauhi orang
yang terjangkit penyakit lepra, Abu Hanifah telah meninggalkan agama
Islam, sebagian fatwanya menyerupai fatwa
kaum Yahudi, Allah telah membelenggu kuburan
Abu Hanifah dengan api neraka, para
ulama bersujud syukur ketika mendengar berita kematian Abu Hanifah, kebanyakan ulama membolehkan melaknat Abu
Hanifah, dan lain sebagainya. Untuk lebih lanjut dipersilahkan merujuk langsung
kitab As-Sunnah yang sangat diandalkan para penganut Wahhabi.
Tim
Bahtsul Masail PC NU Jember dalam bukunya (Membongkar kebohongan buku “mantan kiai NU menggugat shalawat &
dzikir syirik” karya H. Mahrus Ali). Dalam halaman 241 s/d 244 di antaranya:
1.
Ulama-ulama
Wahhabisme (dalam hal ini adalah Muhammad Nashiruddin
Albani) tidak segan-segan mengkafirkan orang lain, bahkan Imam
Bukharipun tidak luput dari hal ini.
Albani yang gemar membikin ulah ini,
pernah mengeluarkan fatwa yang isinya mengkafirkan Imam Bukhari, karena dalam
kitab shahih Al-Bukhari beliau melakukan ta’wil terhadap ayat 88 surah
Al-Qashash:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ أَيْ إِلاَّ مُلْكَهُ (صَحِيحُ الْبُخَارِيُّ)
“Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Q.S. 28 Al Qashash 88), maksud illa wajhah adalah
illa mulkahu (kecuali kerajaan-Nya)” (Shahih Bukhari)
Ketika ditanya tentang pena’wilan seperti
dalam shahih Bukhari tersebut, Albani mengatakan :
هٰذَا لاَ يَقُوْ لُهُ مُسْلِمٌ مُؤْمِنٌ (فتاوى الألباني، ص/523)
“Pena’wilan seperti itu tidak akan dikatakan oleh
seorang Muslim yang beriman”. (Fatawa Al-Albani, halaman 523).
Dengan fatwanya ini, secara halus Albani
berarti telah menilai Imam Bukhari kafir, tidak Islam dan tidak beriman. Dan
tentu kita meyakini bahwa Imam Bukhari lebih mengetahui terhadap penafsiran
Al-Qur’an dan Hadits dari pada Albani.
Masih mengenai fatwa
Albani yang kontroversial, yaitu ber-kunjunga kepada keluarga dan sanak famili
pada saat hari raya termasuk bid’ah yang harus dijauhi. Dan di saat yang lain
Albani mengeluarkan fatwa yang isinya mengharuskan warga Muslim
Palestina agar keluar dari negeri mereka dan mengosongkan tanah Palestina untuk
orang-orang Yahudi. Dalam hal ini Albani mengatakan:
إِنَّ عَلَى
الْفِلَسْطِيْنِيِّـيْنَ أَنْ يُغَادِرُوْا بِلَادَهُمْ وَيَخْرُجُوْنَ إلَى
بِلَادٍ أُخْرَى، وَإِنَّ كُلَّ مَنْ بَقِيَ فِى فِلَسْطِيْنَ مِنْهُمْ كَافِرٌ.
(فتاوى الألبان جمع عكاشة عبد المنان، ص/18)
“Warga Muslim Palestina harus meninggalkan negerinya
ke negeri lain, semua orang yang masih bertahan di Palestina adalah kafir”, (Fatawa Al-Albani, yang dihimpun oleh Ukasyah Abdul Manan, halaman 18)
2.
Ulama-ulama
Wahabisme sering saling menyalahkan di antara mereka,
karena beda pendapat (tidak sesuai fatwanya), di atara yang kena batunya
kali ini adalah Albani sendiri.
Sebagaimana telah
dimaklumi oleh kaum Muslimin, bahwa pada masa Rasulullah saw, saidina Abu Bakar
ra, dan saidina Umar ra, adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan satu kali
yaitu ketika khatib
telah naik ke mimbar. Pada masa saidina Utsman ra, populasi penduduk semakin meningkat, rumah-rumah
baru banyak
dibangun dan jauh dari masjid. Untuk memudahkan mereka dalam menghadiri shalat Jum’at agar
tidak terlambat, beliau memerintahkan agar adzan dilakukan dua kali. Adzan ini disepakati oleh
seluruh sahabat
yang hadir pada saat itu. Para ulama menamai adzan saidina Utsman ra, ini dengan sunnah yang harus
diikuti karena
beliau termasuk Khulafaur Rasyidin.
Tetapi Albani dalam
kitabnya Al-Ajwibah Al-Nafi’ah, menilai adzan saidina Utsman ra, ini
sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Tentu saja pendapat aneh Albani yang
kontroversial ini menyulut serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini,
berarti Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang shaleh yang
telah menyetujui adzan saidina Utsman ra, sebagai ahli bid’ah. Bahkan Syekh
Al-Utsaimin (tokoh
Wahhabi) sendiri, (kedua ulama ini sangat dikagumi oleh ustadz Mahrus Ali penulis buku
“mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik”) sangat marah kepada Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung Albani dengan sangat keras
dan menilainya
tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali :
يَأْتِى رَجُلٌ فِى هٰذَا الْعَصْرِ لَيْسَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ الْعِلْمِ
وَيَقُوْلُ أَذَانُ الْجُمْعَةِ الْأَوَّلُ بِدْعَةٌ لِأَ نَّهُ لَيْسَ
مَعْرُوْفًا عَلىٰ عَهْدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجِبُ أَنْ نَقْتَصِرَ عَلَى الْأَذَانِ الثَّانِيْ فَقَطْ فَنَقُوْلُ لَهُ
إِنَّ سُنَّةَ عُثْمَانَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَّةٌ
مُتَّبَعَةٌ إِذَا لَمْ تُخَالِفْ سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ الَّذِيْنَ هُمْ
أَعْلَمُ مِنْكَ وَأَغْيَرُ عَلىٰ دِيْنِ اللهِ بِمُعَارَضَتِه وَهُوَ مِنَ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّـيْنَ، الَّذِيْنَ أَمَرَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاتِّبَاعِهِمْ (الْعُثَيْمِينْ شَرْحُ الْعَقِيدَةِ الْوَاسَطِيَّةِ
ص/638)
“Ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki
pengetahuan agama
sama sekali mengatakan, bahwa adzan Jum’at yang pertama adalah bid’ah, karena
tidak dikenal pada masa Rasul saw, dan kita harus membatasi pada adzan kedua saja. Kita katakana pada laki-laki tersebut : Sesungguhnya sunnahnya
Utsman ra, adalah sunnah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul
saw, dan tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah
terhadap agama Allah dari pada kamu
(Albani). Beliau Utsman ra, termasuk
Khulafaur Rasyidin yang memperoleh
petunjuk, dan diperintahkan oleh
Rasulullah saw, untuk diikuti”. (Al-‘Utsaimin, Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah,
halaman 638).
Jadi pernyataan Syekh
Al-Utsaimin yang menilai Albani “tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali” dapat meruntuhkan nilai buku-buku yang banyak mengambil dalil dari
Albani, di
antaranya adalah buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik” dan buku-buku lainnya yang telah
ditulis oleh H. Mahrus Ali. Apalagi dengan
fatwanya yang mengharuskan orang shalat tanpa alas (sajadah, karpet, keramik,
marmer dll). Dengan demikian dapat kita katakana dia tidak menyetujui
(menyalahkan) orang-orang yang shalat dengan alas. Lalu bagaimana shalatnya
orang di masjid Haram dan masjid Nabawi?. Untuk itu bagi orang yang mempercayai buku-buku dan
pendapat H. Mahrus Ali, seharusnya shalatnya juga tanpa alas sesuai yang dia fatwakan.
Beranikah? Allahu a’lam.
Apa yang dikatakan Al-Utsaimin terhadap
Albani memang tidak berlebihan. Banyak orang
yang tertipu dengan karya-karya Albani dalam
bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya Albani
itu. Pada mulanya, Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari
kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak,
tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang
lain kepada para ulama, sebagaimana
yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu Albanni tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar.
Maka hadits-hadits
yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang
Albani menilai dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu)
terhadap hadits-hadits yang disepakati
keshahihannya oleh para hafidz, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan
dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitab At-Tawassul Anwa’uhu wa
Ahkamuhu (cetakan
3 halaman 128),
Albani mendha’ifkan hadits A’isyah yang diriwayatkan oleh Al-Darimi dalam Al-Sunannya, dengan alasan
dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi
yang bernama Sa’id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, Albani
sendiri telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan dan jayyid haditsnya, yaitu dalam kitab Irwa’
Al-Ghalil (5/338). Albani mengatakan
tentang hadits yang dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Zaid “Aku berkata, ini
sanad yang hasan, semua perawi dapat dipercaya sedangkan perawi Sa’id bin Zaid
-saudara Hammad-, ada pembicaraan
yang tidak menurunkan haditsnya dari derajat
hasan. Dan Ibn Al-Qayyim mengatakan dalam Al-Furusiyyah, “ini hadits yang sanadnya jayyid”.
Dan
masih banyak lagi kontroversial dan ketidak akuratan yang dilakukan Albani dalam kitab yang satu dengan kitab
yang lainnya. Dalam tulisan Syekh Hasan bin
Ali Al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat Al-Albani Al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal Albani
tersebut. Beliau mencatat 1500 kesalahan yang dilakukan Albani lengkap
dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada 7000
kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis Albani. Sehingga kita
perlu berhati-hati dan mencermatinya.
Allah lebih mengetahui.
سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلاَّ
أَنْتَ نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ إِلَيْكَ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar