Adalah para sahabat yang memulai membuat bid'ah hasanah,
yaitu perbuatan di jaman Nabi saw belum ada, tapi perbuatan itu dinilai baik
dan perlu dilaksanakan, diantaranya adalah :
MEMBUKUKAN AL-QUR’AN
Dulu pada zaman Nabi ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di
atas pelepah tamar, tembikar, tulang-tulang, batu putih dan lain-lain yang bisa
ditulis, disamping dihafal oleh para sahabat. Kemudian pada zaman Khalifah
Sayidina Abu Bakar dimulai membukukannya. Membukukan ini adalah suatu bid’ah
karena hal demikian tidak dikenal pada zaman Nabi, tetapi hal ini adalah bid’ah
yang baik.
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَابْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ. قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِيْ فَـقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدِاسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَ إِنِّيْ اَخْشٰى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلَ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبُ كَثِيْرٌ مِنَ الْقُرَّاءِ وَ إِنِّيْ أَرٰى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ، قُلْتُ لِعُمَرَ : كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قاَلَ عُمَرُ : هَذِهِ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِيْى حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِذٰلِكَ. وَرَأَيْتُ فِى ذَلِكَ الَّذِيْ رَاٰى عُمَرُ. قاَلَ زَيْدٌ، قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ شّابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَـتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الوَحْيِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَـتَـبَّعِ لْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ. فَوَاللهِ لَوْ كَانُوْا كَلَّـفُوْنِيْ نَـقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْـقَلَ إِلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِيْ بِهِ مِنْ جَمْعِ لْقُرْآنِ، كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ أَبُوْ بَكْرٍ يُرَاجِعُنِيْ حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِلَّذِيْ شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَـتَـبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعَسَبِ وَاللِّحَافِ وَصُدُوْرِ الرِّجَالِ
Dari Ubaid nbin Sabbaq bahwasanya Zaid bin Tsabit ra
berkata : Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadi peperangan
Yamamah, dimana banyak sahabat-sahabat Nabi
saw. mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Sayyidina Umar bin
Khaththab. Berkata Abu Bakar ra : Sesungguhnya Umar mendatangiku dan mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli
Qur’an (yang menghafal Al-Qur’an) wafat dalam peperangan yamamah. Saya hawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat
dalam medan-medan perang yang lain, sehingga ayat Qur’an bisa hilang.
Umar mendesak kepada saya supaya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf,
lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar
menjawab, demi Allah. Pekerjaan ini
baik. Umar selalu meyakinkan saya sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya
sependapat dengan Umar. Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku :
Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya.
Engkau pada masa Nabi saw. masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Cobahlah kumpulkan
wahyu itu. Demi Allah (jawab Zaid), kalau
engkau perintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung dari beberapa
gunung, barang kali tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
Al-Qur’an. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat Rasulullah saw? Abu
Bakar mendesak, Demi Allah ini baik. Maka
Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan
hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya cari ayat-ayat
Al-Qur’an itu dan saya kumpulkan di mana pada mulanya ditulis di atas pelapah
tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sahabat-sahabat Nabi
saw. (H.R.
Bukhari no. 4986).
Bila kita perhatikan konteks di atas, Abu Bakar
Ash-Shiddiq ra mengakui
dengan ucapan sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan
akhirnya saya sependapat dengan Umar. Hatinya jernih menerima hal yang baru
(bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an, karena sebelumnya
Al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tetapi terpisah-pisah di hafalan
sahabat, pelapah tamar, batu-batu putih, kulit unta dan lain-lain. Ini adalah bid’ah hasanah, dan mereka
berdualah yang memulainya.
Bid’ah yang baik (hasanah),
adalah yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan Muslimin. Karena dengan
adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk membaca, mempelajari
bahkan untuk menghafalkan Al-Qur’an.
Sekarang kalau kita tarik mundur
sejarah Islam ke belakang, apa kiranya yang akan terjadi pada perkembangan
sejarah Islam, bila Al-Qur’an tidak dibukukan oleh para sahabat? Boleh jadi
Al-Qur’an masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit unta, di hafalan para
sahabat, sehingga akan muncul baribu-ribu versi Al-Qur’an di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan
membukukannya dengan riwayat masing-masing, maka hancurlah Al-Qur’an dan
hancurlah Islam. Namun dengan adanya bid’ah hasanah, sekarang kita masih
mengenal Al-Qur’an secara utuh dan hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah
Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah
membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas hal-hal baru yang
berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti kelak akan muncul, dan beliau
saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (bid’ah dhalalah).
Dari
hadits di atas, nampak bahwa menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah Khalifah Rasyidin yang belum pernah dikenal
pada zaman Nabi. Meskipun demikian umat Islam di dunia ini wajib menerima kitab suci Al-Qur’an yang dubukukan
seperti yang ada pada saat ini meskipun pembukuannya ini dikatakan
bid’ah.
SHALAT TARAWIH
Bahkan seorang
sahabat terkemuka, Khalifah kedua dalam Islam, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. (Umar bin Khaththab bin
Nufail Al-‘Adawi, khalifah kedua, mertua
Rasulullah saw termasuk dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Beliau adalah orang yang pertama kali mendapat
gelar Amirul Mukminin. Meriwayatkan 539
hadits. Gugur sebagai syuhada pada tahun 23 H dalam usia 63 tahun dan
dimakamkan di kamar Rasulullah saw. di samping makam beliau saw.) pernah mencetuskan istilah bid’ah
baik untuk amalan yang beliau susun, yaitu shalat tarawih berjama’ah di
masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam. Imam Bukhari dalam kitab
shahihnya menyebutkan :
عَنْ
عَبْدِ الَرَّحْمٰنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ
عُمَرَابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ
لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ
فَقَالَ عُمَرُ إِنِيْ أَرٰى لَوْ
جَمَعْتُ هٰؤُ لآءِ عَلٰى قَارِءٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلٰى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرٰى
وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هٰذِهِ
وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ
اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Dari Abdurrahman bin
Abdul Qari ia berkata, pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju masjid bersama Umar bin
Khaththab ra. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih)
secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri ada pula yang shalat
berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah Umar ra. berkata :
Menurutku, andaikata semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang
imam yang hafal Al-Qur’an tentu akan lebih baik.
Beliau bertekat untuk mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan
mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku keluar menuju
masjid bersama Umar ra. saat masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih)
berjamaah dengan imam mereka yang hafal Al-Qur’an. (Ketika menyaksikan pemandangan tersebut) berkatalah Umar ra.: Inilah
sebaik-baik bid’ah. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih
baik daripada di awal malam. Pada
waktu itu, orang-orang menunaikan tarawaih di awal malam. (H.R. Bukhari no. 2010 dan Malik).
Rasulullah
saw tidak pernak menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya
melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula
melakukannya secara rutin setiap malam.Tidak pula mengumpulkan mereka untuk
melakukannya. Demikian pula pada masa
Khalifah Abu Bakar. Kemudian Umar
mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang
imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau
lakukan ini tergolong bid’ah, tetapi bid,ah hasanah, karena itu
beliau mengatakan “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Dengan jelas dihadapan para sahabat. Sayidina Umar
ra. mengucapkan Inilah
sebaik-baik bid’ah. Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti tidak
semua bid’ah sesat, hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Haditslah yang sesat.
DUA ADZAN DALAM SHALAT JUM’AT
عَنِ
الزُّهْرِىِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيْدَ يَقُوْلُ إِنَّ الْأَذَانَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمَّا
كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ
وَكَثُرُوْا
، أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ ، فَأُذِّنَ بِهِ
عَلَى الزَّوْرَاءِ ، فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلىٰ
ذٰلِكَ
Dari Az-Zuhri berkata, Aku mendengar
As-Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan pada hari Jum'at
dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu pada masa
Rasulullah saw, Abu Bakar dan 'Umar ra. Maka pada masa Khilafah 'Utsman bin
'Affan ra ketika manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at dia
mememerintahkan adzan yang ketiga (adzan yang dilakukan sebelum khatib naik
mimbar). Sehingga dikumandangkanlah adzan (ketiga) tersebut di Az-Zaura' (nama
pasar). Kemudian berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan (sampai
sekarang)". (H.R. Bukhari no. 916)
Sejak dahulu sampai
sekarang di masjid Haram dan masjid Nabawi dilaksanakan dua kali adzan pada
shalat Jum'atnya.
Hadits
ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra.
adzan shalat Jum’at ada dua kali (satu adzan dan iqamat). Kemudian setelah
manusia berkembang ditambah adzan yang ketiga (sekarang dinamai adzan pertama)
dalam shalat Jum’at. Dengan demikian maka adzan yang pertama dalam shalat
Jum’at itu adalah bid’ah hasanah yang diadakan oleh Khalifah
Rasyidin Sayyidina Utsman, yang kita
diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya. Barang siapa yang tidak mau
mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mengikuti sunnah Nabi saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar