pada akhir-akhir ini
sebagian golongan umat Islam yang mengklaim dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar,
paling murni, pengikut para Salaf Sholeh dan sering menuduh serta melontarkan
kritik tajam sebagai perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan
sampai berani mengkafirkannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan melakukan
ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan
untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdoa
sambil tawassul kepada Nabi saw dan para waliyyullah/ sholihin, mengadakan peringatan keagamaan
diantaranya maulidan/ kelahiran Nabi saw, pembacaan Istighotsah, tabarruk dan
sebagainya. Golongan yang sering mengatakan dirinya paling benar itu tidak segan-segan
menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur'an
(merubah Al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Laa haula walaa quwwata illah billahi. Ini fitnahan
yang amat keji dan membuat perpecahan antara sesama muslim.
Alasan yang sering mereka katakana adalah
bahwa semuanya ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah saw atau para
sahabat, dengan mengambil dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an yang
menurut paham mereka yang berkaitan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulallah
saw yang mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir dan
orang-orang yang membantah, merubah dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Golongan pengingkar
ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu amalan 'yang bertentangan dengan pahamnya' itu semuanya
tidak ada, palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits
tersebut telah dishahihkan oleh ulama-ulama pakar hadits.Yang lebih
mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan tadi, berani
menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat, syirik dan lain
sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti itu, bagaimana dengan
orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut? Pasti akan lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima
dan mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama
tersebut.
Perbedaan pendapat antara kaum muslimin
itu selalu ada, tetapi bukan untuk
dipertentangkan dan dipertajam dengan saling menyesatkan dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok
perbedaan pendapat soal-soal sunnah,
nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama
kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-sama berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw
(Al-Hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut
pandang mereka).
Janganlah setelah menafsirkan
dan menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi saw Lalu mengecam dan
menyalahkan bahkan berani menyesatkan/ mengkafirkan kaum muslimin dan para
ulama dalam suatu perbuatan karena 'tidak sepaham dengan madzhabnya'.
Orang seperti ini sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling
benar dan faham sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan
para ulama yang 'tidak sependapat dengan mereka' adalah sesat, bodoh dan
lain sebagainya. Kami berlindung pada Allah swt, dalam hal tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang
benar jalan hidupnya. Ingat firman Allah swt.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدٰى سَبِيْلاً
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut
keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya. (Q.S. 17 Al Israa' 84)
الَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ
إِلاَّ اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ
مِّنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلاَ تُزَكُّوْا
أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى
(Yaitu) orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas
ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia
menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa. (Q.S. 53 An Najm 32)
Tidak
sedikit hadits Nabi saw yang melarang kita menuduh, apalagi mengatakan kepada saudara seagama kita itu kafir,
musyrik, munafik atau perkataan yang menyakitkan lainnya. Hadits-hadits
tersebut diantaranya adalah :
و
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيْمِيُّ وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيْعًا عَنْ إِسْمَعِيْلَ
بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيٰى
أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيْلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ أَنَّهُ
سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا
كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ
عَلَيْهِ
Dan telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Yahya At-Tamimi dan Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Said serta Ali bin
Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Yahya bin Yahya berkata, telah
mengabarkan kepada kami Ismail bin Ja'far dari Abdullah bin Dinar bahwa dia
mendengar Ibnu Umar berkata,
"Rasulullah saw bersabda: "Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, 'Wahai kafir' maka sungguh
salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut,
apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun
apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya." (H.R.. Muslim no. 225 dan Bukhari No. 6104)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ الْمَكِّيُّ , حَدَّثَنَا عُثْمَانُ
بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُثْمَانَ الشَّامِيُّ، حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ حَمْزَةَ،
عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:كُفُّوْا عَنْ أَهْلِ لآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ لَا تُكَفِّرُوْهُمْ بِذَنْبٍ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin dawud Al-Makkiy,
telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abdullah bin Utsman Asy-Syamiy, telah
menceritakan kepada kami Adh-Dhohhak bin Hamzah, dari Ali bin Zaid, dari Said
bin Al-Musayyib, dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah saw bersabda “Tahanlah diri
kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang
Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. (H.R. Thabrani No. 12912)
وَحَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ
يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعٰى
لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنِ ادَّعٰى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ
قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ
كَذٰلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah
menceritakan kepada kami Abdu Ash-Shamad bin Abdul Warits telah menceritakan
kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Husian Al-Mu'allim dari Ibnu
Buraidah dari Yahya bin Ya'mar bahwa Abu Al-Aswad telah menceritakan kepadanya
dari Abu Dzar bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah
seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah
mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa
mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami, dan
hendaklah dia menempati tempat duduknya dari
neraka. Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuan, atau
berkata, 'Wahai musuh Allah' padahal tidak demikian, kecuali perkataan tersebut
akan kembali kepadanya". (H.R. Muslim 226)
حَدَّثَنَا
سَعِيْدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مَحْمُوْدُ بْنُ الرَّبِيْعِ الْأَنْصَارِيُّ
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ
شَهِدَ بَدْرًا مِنَ الْأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتٰى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ......... قَالَ وَحَبَسْنَاهُ عَلىٰ خَزِيْرَةٍ صَنَعْنَاهَا لَهُ
قَالَ فَآبَ فِي الْبَيْتِ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ الدَّارِ ذَوُوْ عَدَدٍ
فَاجْتَمَعُوْا فَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ أَيْنَ مَالِكُ بْنُ الدُّخَيْشِنِ أَوِ
ابْنُ الدُّخْشُنِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ ذٰلِكَ
مُنَافِقٌ لَا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
تَقُلْ ذٰلِكَ أَلَا تَرَاهُ قَدْ قَالَ لآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ يُرِيْدُ بِذٰلِكَ وَجْهَ اللهِ قَالَ اللهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّا نَرٰى وَجْهَهُ وَنَصِيْحَتَهُ إِلَى الْمُنَافِقِيْنَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللهَ
قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ يَبْتَغِي بِذٰلِكَ وَجْهَ اللهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ
ثُمَّ سَأَلْتُ الْحُصَيْنَ بْنَ مُحَمَّدٍ الْأَنْصَارِيَّ وَهُوَ أَحَدُ بَنِي
سَالِمٍ وَهُوَ مِنْ سَرَاتِهِمْ عَنْ حَدِيْثِ مَحْمُوْدِ بْنِ الرَّبِيْعِ
الْأَنْصَارِيِّ فَصَدَّقَهُ بِذٰلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin
'Ufair berkata, telah
menceritakan kepadaku Al-Laits berkata, telah menceritakan kepadaku 'Uqail dari
Ibnu Syihab berkata, telah menceritakan kapadaku Mahmud bin Ar-Rabi' Al-Anshari bahwa 'Itban bin Malik seorang sahabat
Rasulullah saw yang pernah ikut
perang Badar dari kalangan Anshar, dia pernah menemui Rasulullah saw ………
"Lalu kami suguhkan makanan dari daging yang kami masak untuk beliau. Maka
berkumpullah warga desa di rumahku dalam jumlah yang banyak. Salah seorang dari
mereka lalu berkata, "Mana Malik bin Ad-Dukhaisyin atau Ibnu Ad-
Dukhsyun?" Ada seorang yang menjawab, "Dia munafik, dia tidak
mencintai Allah dan Rasul-Nya." Maka
Rasulullah saw pun bersabda: "Janganlah kamu ucapkan seperti itu.
Bukankan kamu tahu dia telah mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan mengharap
ridla Allah?" Orang itu menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih
tahu" 'Itban berkata, "Kami lihat pandangan dan nasehat beliau itu
untuk kaum Munafikin. Bersabda Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH
dengan mengharap ridla Allah?" Ibnu
Syihab berkata, "Kemudian aku tanyakan kepada Al-Hushain bin
Muhammad Al-Anshari salah seorang dari Bani Salim yang termasuk orang terpandang tentang hadits Mahmud bin Ar-Rabi'
ini. Maka dia membenarkannya." (H.R. Bukhari No. 425)
Kita boleh mengeritik
atau mensalahkan suatu golongan muslimin, bila golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar
dari garis-garis syari’at Islam. Umpama
mereka meniadakan kewajiban sholat setiap
hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang
mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan minum alkohol
serta makan babi itu haram. Jadi bukan menyesatkan, mengkafirkan amalan-amalan
sunnah yang baik, seperti berkumpulnya orang untuk berdzikir bersama pada Allah
swt. (pembacaan istighothah, yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lain
sebagainya), apalagi sampai-sampai menghalalkan darah mereka karena tidak
sependapat dengan golongan tersebut, Na'udzubillahi.
Begitu juga kita boleh
mengeritik/mensalahkan suatu golongan muslimin yang meriwayatkan hadits tentang
tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/tasybih Allah swt sebagai makhluk-Nya
(Umpama; Allah mempunyai tangan, kaki, wajah
secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena semua ini tidak
dibenarkan oleh ulama-ulama pakar Islam karena hadits tersebut bertentangan
dengan firman Allah swt.
فَاطِرُ السَّمآوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجاً يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ
(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. 42 Asy
Syuura 11)
لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus
lagi Maha Mengetahui. (Q.S. 6 Al An'aam 103)
سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُوْنَ
Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, (Q.S. 37
Ash Shaaffaat 159)
Dengan demikian perbedaan pendapat antara
golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas
melanggar syari’at Islam, inilah yang harus diselesaikan dengan baik antara para ulama setiap golongan
tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara
setiap kaum muslimin.
Kami ambil satu
contoh: “Pengalaman seorang pelajar di kota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka
menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham
dengan nya, mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/bolehnya
melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat
mutasyabihat/samar seperti ayat: Yadullah fauqo aidiihim (tangan Allah di atas tangan mereka), Tajri bi a’yunina
([kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang
membolehkan ta’wil itu berpendapat bahwa kata tangan pada ayat itu berarti
kekuasaan (jadi bukan berarti tangan Allah swt secara hakiki/sebenarnya)
sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwilkan
ayat-ayat mutasyabihat di atas itu langsung membantah dan mengajukan
argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh ulama yang membolehkan
takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat
Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah didamprat habis-habisan dengan
tenang memberi komentar: “Kalau anda melarang takwil, maka anda
akan buta dan tersesat di akhirat”. Ulama tunanetra itu bertanya: “Mengapa
anda mengatakan demikian?”. Ulama
yang membolehkan takwil menjawab: Bukankah dalam surat Al-Isra’ ayat 72
Allah swt berfirman:
وَمَنْ كَانَ فِي هٰذِهِ أَعْمٰى فَهُوَ فِي الْأَخِرَةِ
أَعْمٰى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً
Dan
barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (Q.S. 17 Al
Israa' 72)
Kalau saya tidak boleh mentakwilkan ayat
ini, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya
nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia
ini anda telah buta mata (tunanetra).
Karenanya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan
takwil sehingga kalimat buta pada ayat di atas 'menurut mereka' diartikan
dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya.
Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan
apa-apa".
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an dan
perintah Rasulallah saw. agar kita bersangka baik dan tidak mengkafirkan antara
sesama muslim, bila ada perbedaan dengan mereka alangkah baiknya jika
diselesaikan dengan berdialog.
اُدْعُ إِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. 16
An-Nahl 125)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar