Bagi yang menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada
golongan bid’ah dhalalah, dan bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti
penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’ur rasyidin.
Nah diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak
melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan
dilakukan oleh Khulafa’ur rasyidin, dan Rasul saw telah jelas-jelas
memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku
dan Sunnah Khulafa’ur rasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw
membolehkan bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’ur rasyidin?, mereka melakukan
bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah,
hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Di bawah ini
beberapa sahabat telah berbuat bid'ah hasanah, diantaranya adalah :
MEMBUKUKAN AL-QUR’AN
Dulu pada zaman Nabi ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di
atas pelepah tamar, tembikar, tulang-tulang, batu putih dan lain-lain yang bisa
ditulis, disamping dihafal oleh para sahabat. Kemudian pada zaman Khalifah
Sayidina Abu Bakar dimulai membukukannya. Membukukan ini adalah suatu bid’ah
karena hal demikian tidak dikenal pada zaman Nabi, tetapi hal ini adalah bid’ah
yang baik.
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَابْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ. قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِيْ فَـقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدِاسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَ إِنِّيْ اَخْشٰى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلَ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبُ كَثِيْرٌ مِنَ الْقُرَّاءِ وَ إِنِّيْ أَرٰى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ، قُلْتُ لِعُمَرَ : كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قاَلَ عُمَرُ : هَذِهِ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِيْى حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِذٰلِكَ. وَرَأَيْتُ فِى ذَلِكَ الَّذِيْ رَاٰى عُمَرُ. قاَلَ زَيْدٌ، قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ شّابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَـتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الوَحْيِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَـتَـبَّعِ لْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ. فَوَاللهِ لَوْ كَانُوْا كَلَّـفُوْنِيْ نَـقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْـقَلَ إِلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِيْ بِهِ مِنْ جَمْعِ لْقُرْآنِ، كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ أَبُوْ بَكْرٍ يُرَاجِعُنِيْ حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِلَّذِيْ شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَـتَـبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعَسَبِ وَاللِّحَافِ وَصُدُوْرِ الرِّجَالِ
Dari Ubaid nbin Sabbaq bahwasanya Zaid bin Tsabit ra berkata
: Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadi peperangan Yamamah,
dimana banyak sahabat-sahabat Nabi saw. mati
syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Sayyidina Umar bin Khaththab.
Berkata Abu Bakar ra : Sesungguhnya Umar
mendatangiku dan mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli Qur’an
(yang menghafal Al-Qur’an) wafat dalam peperangan yamamah. Saya hawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat
dalam medan-medan perang yang lain, sehingga ayat Qur’an bisa hilang.
Umar mendesak kepada saya supaya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf,
lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar
menjawab, demi Allah. Pekerjaan ini
baik. Umar selalu meyakinkan saya sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya
sependapat dengan Umar. Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku :
Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya.
Engkau pada masa Nabi saw. masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Cobahlah kumpulkan
wahyu itu. Demi Allah (jawab Zaid), kalau
engkau perintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung dari beberapa
gunung, barang kali tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
Al-Qur’an. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat Rasulullah saw? Abu
Bakar mendesak, Demi Allah ini baik. Maka
Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan
hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya cari ayat-ayat
Al-Qur’an itu dan saya kumpulkan di mana pada mulanya ditulis di atas pelapah
tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sahabat-sahabat Nabi
saw. (H.R.
Bukhari no. 4986).
Bila kita perhatikan konteks di atas, Abu Bakar Ash-Shiddiq
ra mengakui dengan
ucapan sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya
saya sependapat dengan Umar. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah
hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an, karena sebelumnya Al-Qur’an belum
dikumpulkan menjadi satu buku, tetapi terpisah-pisah di hafalan sahabat,
pelapah tamar, batu-batu putih, kulit unta
dan lain-lain. Ini adalah bid’ah hasanah, dan mereka berdualah yang
memulainya.
Bid’ah
yang baik (hasanah), adalah yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan
Muslimin. Karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi
kita untuk membaca, mempelajari bahkan untuk menghafalkan Al-Qur’an.
Dari
hadits di atas, nampak bahwa menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah Khalifah Rasyidin yang belum pernah dikenal
pada zaman Nabi. Meskipun demikian umat Islam di dunia ini wajib menerima kitab suci Al-Qur’an yang dubukukan
seperti yang ada pada saat ini meskipun pembukuannya ini dikatakan
bid’ah.
SHALAT TARAWIH
Bahkan seorang sahabat
terkemuka, Khalifah kedua dalam Islam,
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. (Umar bin Khaththab bin Nufail Al-‘Adawi, khalifah kedua, mertua Rasulullah saw
termasuk dari 10 sahabat yang dijamin
masuk surga. Beliau adalah orang yang pertama kali mendapat gelar Amirul Mukminin. Meriwayatkan 539 hadits.
Gugur sebagai syuhada pada tahun 23 H dalam usia 63 tahun dan dimakamkan
di kamar Rasulullah saw. di samping makam beliau saw.) pernah mencetuskan istilah bid’ah
baik untuk amalan yang beliau susun, yaitu shalat tarawih berjama’ah di
masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam. Imam Bukhari dalam kitab
shahihnya menyebutkan :
عَنْ
عَبْدِ الَرَّحْمٰنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ
عُمَرَابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ
لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ
فَقَالَ عُمَرُ إِنِيْ أَرٰى لَوْ
جَمَعْتُ هٰؤُ لآءِ عَلٰى قَارِءٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلٰى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرٰى
وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هٰذِهِ
وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ
اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Dari Abdurrahman bin
Abdul Qari ia berkata, pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju masjid bersama Umar bin
Khaththab ra. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih)
secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri ada pula yang shalat
berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah Umar ra. berkata : Menurutku,
andaikata semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang imam yang
hafal Al-Qur’an tentu akan lebih baik.
Beliau bertekat untuk mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan
mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku keluar menuju
masjid bersama Umar ra. saat masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih)
berjamaah dengan imam mereka yang hafal Al-Qur’an. (Ketika menyaksikan pemandangan tersebut) berkatalah Umar ra.: Inilah
sebaik-baik bid’ah. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih
baik daripada di awal malam. Pada
waktu itu, orang-orang menunaikan tarawaih di awal malam. (H.R. Bukhari
no. 2010 dan Malik).
Rasulullah saw tidak pernak menganjurkan shalat
tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap
malam.Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar.
Kemudian Umar mengumpulkan mereka
untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan
mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah,
tetapi bid,ah hasanah, karena itu beliau mengatakan “Inilah
sebaik-baik bid’ah”.
Dengan jelas dihadapan para
sahabat. Sayidina Umar ra. mengucapkan Inilah sebaik-baik bid’ah. Ucapan
beliau ini merupakan salah satu bukti tidak semua bid’ah sesat, hanya bid’ah
yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Haditslah yang sesat.
DUA ADZAN DALAM SHALAT JUM’AT
عَنِ
الزُّهْرِىِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيْدَ يَقُوْلُ إِنَّ الْأَذَانَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلإِمَامُ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمَّا
كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ
وَكَثُرُوْا
، أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ ، فَأُذِّنَ بِهِ
عَلَى الزَّوْرَاءِ ، فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلىٰ
ذٰلِكَ
Dari Az-Zuhri berkata, Aku mendengar
As-Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan pada hari Jum'at
dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu pada masa
Rasulullah saw, Abu Bakar dan 'Umar ra. Maka pada masa Khilafah 'Utsman bin
'Affan ra ketika manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at dia mememerintahkan
adzan yang ketiga (adzan yang dilakukan sebelum khatib naik mimbar). Sehingga
dikumandangkanlah adzan (ketiga) tersebut di Az-Zaura' (nama pasar). Kemudian
berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan (sampai sekarang)". (H.R.
Bukhari no. 916)
Sejak dahulu sampai sekarang di masjid
Haram dan masjid Nabawi dilaksanakan dua kali adzan pada shalat Jum'atnya.
Hadits ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa
Khalifah Abu Bakar dan Umar ra. adzan shalat Jum’at ada dua kali (satu adzan
dan iqamat). Kemudian setelah manusia berkembang ditambah adzan yang ketiga
(sekarang dinamai adzan pertama) dalam shalat Jum’at. Dengan demikian maka
adzan yang pertama dalam shalat Jum’at itu adalah bid’ah hasanah yang
diadakan oleh Khalifah Rasyidin Sayyidina
Utsman, yang kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya. Barang
siapa yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak
mengikuti sunnah Nabi saw.
Bila kita
menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok
Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada
perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing,
melainkan hal itu merupakan ijma / kesepakatan pendapat para sahabat ra dan hal
ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits
seperti shahih Bukhari, shahih Muslim dan lainnya inipun tak pernah ada
perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’ur rasyidin memerintahkan
menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu
Musthalahul hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami
kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan bid’ah namun bid’ah hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu ’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan
oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam
Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat
atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk
sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka
menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan bid’ah hasanah dengan
dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD
kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua
adalah bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan
kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas maka semakin
mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Qur'an, untuk selalu membaca Al-Qur'an,
bahkan untuk menghafal Al-Qur'an dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau
kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Qur'an tidak dibukukan
oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah
Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para
Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi
Al-Qur'an di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan
membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah
Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya bid’ah hasanah, sekarang kita
masih mengenal Al-Qur'an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula
kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh
dan abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya bid'ah
hasanah, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang
berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah
melarang hal-hal baru yg berupa keburukan (bid’ah dhalalah).
Saudara-saudaraku,
jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirul mukminin pertama
ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengakui
dengan ucapan sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan
akhirnya saya sependapat dengan Umar. Hatinya jernih menerima hal yang baru
(bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an,
Lalu berkata pula
Zaid bin tsabit ra : Demi Allah ini baik. Maka Abu Bakar selalu
meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan hati saya
sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar.
Maka kami himbau
saudara-saudaraku muslimin, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik
adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, Utsman
bin Affan ra, hati Zaid bin tsabit ra, hati para sahabat, yaitu hati yang
dijernihkan Allah swt,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar