Ulama-ulama Wahabisme sering saling menyalahkan di antara mereka, karena beda pendapat (tidak sesuai
fatwanya), di atara yang kena batunya kali ini adalah Albani sendiri.
Sebagaimana
telah dimaklumi oleh kaum Muslimin, bahwa pada masa Rasulullah saw, saidina Abu
Bakar ra, dan saidina Umar ra, adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan satu
kali yaitu ketika khatib telah naik ke mimbar. Pada masa saidina Utsman ra, populasi penduduk
semakin meningkat, rumah-rumah baru banyak dibangun dan jauh dari masjid. Untuk
memudahkan mereka dalam menghadiri shalat Jum’at agar tidak terlambat, beliau
memerintahkan agar adzan dilakukan dua kali. Adzan ini disepakati oleh seluruh sahabat yang hadir
pada saat itu. Para ulama menamai adzan saidina Utsman ra, ini dengan sunnah yang
harus diikuti karena beliau termasuk Khulafaur Rasyidin.
Tetapi
Albani dalam kitabnya Al-Ajwibah Al-Nafi’ah, menilai adzan saidina
Utsman ra, ini sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Tentu saja pendapat
aneh Albani yang kontroversial ini menyulut serangan tajam dari kalangan ulama
termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, berarti Albani menganggap
seluruh sahabat dan ulama salaf yang shaleh yang telah menyetujui adzan saidina
Utsman ra, sebagai ahli bid’ah. Bahkan Syekh Al-Utsaimin (tokoh Wahhabi) sendiri,
(kedua ulama ini sangat dikagumi oleh ustadz Mahrus Ali penulis buku “mantan
kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik”) sangat marah kepada
Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki
pengetahuan agama sama sekali :
يَأْتِى رَجُلٌ فِى هٰذَا الْعَصْرِ لَيْسَ عِنْدَهُ شَيْءٌ
مِنَ الْعِلْمِ وَيَقُوْلُ أَذَانُ الْجُمْعَةِ الْأَوَّلُ بِدْعَةٌ لِأَ نَّهُ
لَيْسَ مَعْرُوْفًا عَلىٰ عَهْدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَجِبُ أَنْ نَقْتَصِرَ عَلَى الْأَذَانِ
الثَّانِيْ فَقَطْ فَنَقُوْلُ لَهُ إِنَّ سُنَّةَ عُثْمَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ إِذَا لَمْ تُخَالِفْ
سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُمْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ
الَّذِيْنَ هُمْ أَعْلَمُ مِنْكَ وَأَغْيَرُ عَلىٰ دِيْنِ اللهِ بِمُعَارَضَتِه
وَهُوَ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّـيْنَ، الَّذِيْنَ أَمَرَ
رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاتِّبَاعِهِمْ (الْعُثَيْمِينْ شَرْحُ
الْعَقِيدَةِ الْوَاسَطِيَّةِ ص/638)
“Ada
seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali
mengatakan, bahwa adzan Jum’at yang pertama adalah bid’ah, karena tidak
dikenal pada masa Rasul saw, dan kita harus membatasi pada adzan kedua saja. Kita
katakana pada laki-laki
tersebut : Sesungguhnya sunnahnya Utsman ra,
adalah sunnah yang harus diikuti
apabila tidak menyalahi sunah Rasul saw, dan tidak ditentang oleh seorangpun
dari kalangan sahabat yang lebih
mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (Albani). Beliau Utsman ra, termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk, dan diperintahkan oleh Rasulullah saw, untuk diikuti”. (Al-‘Utsaimin, Syarh
Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, halaman 638).
Jadi
pernyataan Syekh Al-Utsaimin yang menilai Albani “tidak memiliki pengetahuan
agama sama sekali” dapat meruntuhkan nilai buku-buku yang banyak mengambil dalil
dari Albani, di antaranya adalah buku “mantan kiai NU menggugat shalawat & dzikir syirik” dan buku-buku lainnya
yang telah ditulis oleh H. Mahrus Ali. Apalagi dengan fatwanya yang mengharuskan
orang shalat tanpa alas (sajadah, karpet, keramik, marmer dll). Dengan demikian
dapat kita katakana dia tidak menyetujui (menyalahkan) orang-orang yang shalat
dengan alas. Lalu bagaimana shalatnya orang di masjid Haram dan masjid Nabawi?.
Untuk itu bagi orang yang mempercayai buku-buku dan pendapat H. Mahrus Ali, seharusnya shalatnya
juga tanpa alas sesuai yang dia fatwakan. Beranikah? Allahu a’lam.
Apa yang dikatakan Al-Utsaimin
terhadap Albani memang tidak berlebihan.
Banyak orang yang tertipu dengan karya-karya Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui
siapa sebenarnya Albani itu. Pada mulanya, Albani adalah seorang
tukang jam. Ia memiliki
kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu
hadits secara otodidak, tanpa mempelajari
hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan
ahli hadits. Oleh karena itu Albanni
tidak memiliki sanad hadits yang mu’tabar.
Maka
hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan
ulama ahli hadits. Tidak jarang Albani menilai dha’if (lemah) dan maudhu’
(palsu) terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafidz,
hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu
contoh misalnya,
dalam kitab At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu (cetakan 3 halaman 128),
Albani mendha’ifkan hadits A’isyah yang diriwayatkan oleh Al-Darimi dalam
Al-Sunannya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama
Sa’id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, Albani
sendiri telah menilai Sa’id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan dan jayyid haditsnya, yaitu dalam
kitab Irwa’ Al-Ghalil (5/338). Albani
mengatakan tentang hadits yang dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Zaid “Aku
berkata, ini sanad yang hasan, semua perawi dapat dipercaya sedangkan perawi
Sa’id bin Zaid -saudara Hammad-,
ada pembicaraan yang tidak menurunkan haditsnya dari derajat hasan. Dan Ibn Al-Qayyim mengatakan dalam
Al-Furusiyyah, “ini hadits yang
sanadnya jayyid”.
Dan masih banyak lagi kontroversial dan ketidak akuratan yang dilakukan Albani dalam kitab yang satu
dengan kitab yang lainnya. Dalam tulisan Syekh
Hasan bin Ali Al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat Al-Albani
Al-Wadhihat merupakan kitab yang
menarik dan mendalam dalam
mengungkapkan kesalahan fatal Albani tersebut. Beliau mencatat 1500
kesalahan yang dilakukan Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan
menurut penelitian ilmiah beliau, ada 7000 kesalahan fatal dalam
buku-buku yang ditulis Albani. Sehingga kita perlu berhati-hati dan mencermatinya. Allah lebih mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar