Tabarruk berasal dari
kata barakah. Makna atau arti tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari Allah swt. dengan sesuatu yang
mulia dalam pandangan Allah swt. Juga tabarruk ini mempunyai pengertian sama
dengan tawassul/istighotsah, Ada golongan yang keliru dalam memahami tabarruk pada Rasulallah saw, bekas-bekas
peninggalannya, ahlul baitnya dan
para pewaris beliau yaitu para ulama dan para waliyullah. Mereka kemudian menganggap setiap orang yang
menempuh jalan tersebut berbuat syirik dan sesat. Orang-orang seperti
ini berpandangan sempit dan berpikiran pendek dalam menghadapi masalah-masalah
tersebut.
Tabarruk boleh dilakukan dengan barang-barang, tempat atau orang dengan syarat, sesuatu yang digunakan
dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah swt. Misalnya pribadi Rasulallah
saw., pusaka-pusaka peninggalannya, makamnya dan sebagainya. Tabarruk
juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah, para ulama dan
orang shaleh lainnya, termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan
tempat-tempat pemakamannya atau lainnya yang juga pernah mereka jamah
atau mereka jadikan tempat untuk beribadah dan berdzikir pada Allah swt.
Benda-benda
pusaka atau tempat-tempat peninggalan mereka tersebut nilai kemuliaannya bukan
karena benda atau ruangan tersebut, tapi karena kaitannya dengan kemuliaan
orang atau pribadi yang pernah memanfaatkan
benda dan tempat tersebut dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) pada
Allah swt. Sehingga pada benda atau tempat tersebut pernah turun rahmat Allah, di jamah atau didatangi
malaikat Allah hingga menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan
tenang dan tenteram. Inilah keberkahan yang di minta oleh orang yang
bertabarruk dari Allah swt.
Juga syarat lainnya bahwa orang yang bertabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa sarana-sarana
(benda atau ruangan) yang dijadikan tabarruk itu tidak dapat mendatangkan
manfaat maupun madharat tanpa seidzin Allah swt. Sebab semua manfaat dan
madharat berada dalam kekuasaan Allah swt. sepenuhnya
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan
tujuan tabarruk, maka ziarah
tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah swt dan tidak menjauhkannya dari
Allah swt. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu
syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari Al-Qur’an maupun dari
hadits Nabi saw. Al-Hafizh Waliyyuddin Al-’Iraqi berkata ketika menguraikan
maksud hadits:
أَنَّ مُوْسٰى عَلَيْهِ السَّلَامَ قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ
رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ
إِلٰى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ
الْأَحْمَرِ.
“Sesungguhnya Nabi Musa as berkata, “Ya Allah,
dekatkanlah aku kepada
tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi saw bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya,
tentu aku beritahu kalian letak makam
Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.” (H.R. Muslim no. 6298)
Ketika
menjelaskan maksud hadits tersebut, Al-Hafizh Al-’Iraqi berkata:
وَفِيْهِ
اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ
بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسٰى عَلَيْهِ السَّلَامَ عَلاَمَةً
هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآنَ بِأَنَّهُ
قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Hadits
tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi
dan dipenuhi haknya. Nabi saw telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa as
yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang
jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi saw.” (Tharh Al-Tatsrib juz 3 halaman 303)
Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah
dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan
tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan
mendapat berkah dari Allah swt dengan berziarah ke makam Nabi atau wali.
Kemudian para Nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada
hakekatnya mereka masih hidup. (lebih
jelasnya baca tulisan kami dengan judul Risalah Ziarah Kubur).
Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan
peziarah itu kepada Allah swt Rasulullah saw bersabda:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اَلْأَنْبِيَاءُ
أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ.
“Rasulullah
saw bersabda: “Para Nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan
shalat.” (HR. Al-Baihaqi
dalam Hayat Al-Anbiya’, 1).
Sebagai penegasan bahwa Nabi saw yang telah wafat, dapat
mendoakan orang yang masih
hidup, adalah hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:
حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ
لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ
خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذٰلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ.
“Dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah
saw bersabda: “Hidupku lebih baik bagi
kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku
juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian
ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (H.R. Al-Bazzar no.1925).
Perlu kita ketahui bahwa
pada hakikatnya para Nabi, waliyullah dan kaum shalihin yang diridhai Allah, mereka itu tetap hidup dan masih
mendapat rizki disisi Allah, firman Allah :
وَلاَ تَقُوْلُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلٰكِنْ لاَّ تَشْعُرُوْنَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Q.S. 2 Al Baqarah 154)
وَلاَ
تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُواْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezki. (Q.S. 3 Ali 'Imran
169)
Karena keyakinan bahwa para Nabi itu masih hidup di alam kubur
mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi saw
setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para Nabi dan orang shaleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat
bertabarruk dan bertawassul dengan
mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:
وَلاَ
يَدْخُلُ فِيْ هٰذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ
الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوٰى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ
قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ
يَسْمَعُ اْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذٰلِكَ فَهٰذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ
مِنْ ذٰلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذٰلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوٰى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلٰى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَكَا
إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ
عُمَرَ فَيَأْمُرَهُ أَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هٰذَا لَيْسَ مِنْ هٰذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هٰذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ
دُوْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَعْرِفُ
مِنْ هٰذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ
ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).
“Tidak
masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum
mendengar jawaban salam dari makam Nabi saw atau makam orang-orang
shaleh, juga Sa’id bin Al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi saw pada
malam-malam peristiwa Al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan
yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal
tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki
datang ke makam Nabi saw lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau
pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi saw dan
menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin Al-Khaththab agar keluar melakukan
istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini
banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi saw,
dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
Al-Shirath Al-Mustaqim, juz. 1, halaman 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi saw di atas, telah
dijelaskan secara lengkap oleh Al-Hafizh Ibn Katsir Al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya
Al-Bidayah wa Al-Nihayah. Beliau berkata:
وَقَالَ
الْحَافِظُ أَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ أَخْبَرَنَا أَبُوْ نَصْرٍ بْنُ
قَتَادَةَ وَأَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُوْ عُمَرِ بْنِ
مَطَرٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيٰى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ أَبِيْ
صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ
الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلٰى قَبْرِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ
اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي
الْمَنَامِ فَقَالَ إِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ إِنَّهُمْ
مُسْقَوْنَ وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ
فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آلُوْا إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ، وَهٰذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن
كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: إسناده
جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن أبي خيثمة. انظر: الأصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الإرشاد
١/٣١٣ وابن عبد البر في الإستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح
الباري “ ۲/٤٩٥.)
“Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqi berkata,
Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar Al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar
bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim
bin Ali Al-Dzuhli mengabarkan kepada
kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan
kepada kami, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik Al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin
Al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa
Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin Al-Harits Al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah saw dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah
hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah
binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw dan
beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa
hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah
melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut
datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi
yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan
semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, juz 7, halaman 92. Dalam Jami’
Al-Masanid juz 1, halaman 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid
(baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat Al-Ishabah
juz 3, halaman 484, Al-Khalili dalam Al-Irsyad, juz 1, halanab 313, Ibn Abdil
Barr dalam Al-Isti’ab, juz 2, halaman 464 serta dishahihkan oleh Al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath Al-Bari, juz 2, halaman 495).
Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin Al-Harits
Al-Muzani ra tersebut datang ke makam Rasulullah saw dengan tujuan
tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu
melaporkan kepada Sayidina Umar ra, ternyata Umar ra tidak menyalahkannya.
Sayidina Umar ra juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini
syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul saw untuk
tujuan tabarruk?, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat
bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para Nabi dan wali
dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak
generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar