Ada orang yang mengatakan bahwa tawassul
dengan orang yang telah meninggal itu sia-sia, sebab orang yang telah
meninggal tidak mempunyai kekuatan
apa-apa, jangankan bergerak mendengarpun dia tak mampu, sebagai dalil bahwa orang yang telah meninggal tidak dapat
mendengar adalah ayat di bawah ini :
فَإِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلاَ تُسْمِعُ
الصُّمَّ الدُّعَاء إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup
menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan
orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling
membelakang.
(Q.S. 30 Ar Ruum 52)
Jawab
Di samping dalil-dalil di atas yang telah
dikemukakan, lebih jauh kita dapat perhatihan hadits shahih :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يُنَادِيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ يَا فُلَانُ
بْنَ فُلَانٍ وَيَا فُلَانُ بْنَ فُلَانٍ أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمْ اللهَ
وَرَسُولَهُ فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ
مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا قَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ
لَا أَرْوَاحَ لَهَا فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ
لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ
“Sungguh Nabi saw pernah
memanggil-manggil mereka (orang-orang kafir yang mati dalam perang Badar),
dengan nama mereka dan nama ayah
mereka, beliau berseru: “Hai Fulan bin Fulan!
Hai Fulan bin Fulan! Tidakkah akan membahagiakan kalian, bila kalian mau mentaati Allâh dan
Rasul-Nya?” Sahabat Umar bertanya: “Tidakkah engkau
berbicara pada jasad yang sudah tidak
bernyawa?” Beliau kemudian menjawab: Demi (Allah) yang diriku dalam
genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka
sama-sama mendengar)” (H.R. Bukhari)
Dalam hadits shahih
yang lain yaitu hadits Muslim yang menerangkan bahwa Rasulullah saw,
berbicara kepada orang yang telah mati sebagaimana selepas perang badar, Rasul saw, mengunjungi
mayat-mayat orang kafir, lalu
Rasulullah saw, bersabda : Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah
bin Khalf, wahai Utbah bin Rabi’, wahai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan Allah
pada kalian? Sungguh aku telah menemukan janji Tuhanku benar. Maka
berkalah Umar bin Khaththab ra : Tidakkah engkau
berbicara pada jasad yang sudah tidak
bernyawa? bagaimana mereka mendengar ucapanmu? Rasul saw, menjawab : Demi (Allah) yang diriku dalam genggamannya,
engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama-sama
mendengar), akan tetapi mereka tak mampu menjawab (H.R. Muslim).
Berkenaan makna ayat di atas, Imam Qurthubi
berkata dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan orang yang telah mati
adalah orang kafir yang telah mati hatinya dengan kekufuran. Imam Qurthubi
menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam
Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Qurasy yang terbunuh di perang Badar. (Tafsir
Qurthubi juz 13 halaman 232).
Berkata Imam Ath-Thabrani dalam tafsirnya bahwa
makna ayat ini adalah bahwa engkau
Muhammad, tak akan bisa memberikan pemahaman kepada orang yang telah dikunci oleh Allah sehingga tak bisa memahami.
(Tafsir Imam Ath-Thabrani juz 20 hal. 12 dan juz 21 ha. 55)
Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menerangkan
mengenai ayat diatas dengan panjang lebar, baik dengan hadits atau atsar
(perkataan sahabat) yaitu : Ummul Mu’minin
Siti Aisyah ra berpegang kepada dalil ayat ini, yaitu firman Allah :
فَإِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Maka sesungguhnya kamu tidak akan
sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar”.
Dalam sanggahannya terhadap pendapat
Abdullah Ibnu Umar ra dalam riwayatnya yang menceritakan pembicaraan Nabi saw
kepada orang-orang musyrik yang telah gugur dalam perang Badar, lalu mereka dilemparkan di dalam sebuah sumur di Badar, Hal
itu dilakukan oleh Nabi saw sesudah tiga hari. Nabi saw dalam pembicaraannya
itu mencela dan mengecam mereka yang telah
mati di dalam sumur itu. Sehingga sahabat Umar bertanya kepadanya : Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara
kepada kaum yang telah menjadi bangkai? Maka beliau saw menjawab :
وَالَّذِيْ
نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لَا
يُجِيْبُنِيْ
“Demi
(Allah) yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama-sama
mendengar), akan tetapi mereka tak mampu menjawab”
Hadits ini ditakwilkan oleh Siti Aisyah ra dengan
pengertian, Sesungguh nya
mereka yang diajak bicara itu, setelah mereka mati benar-benar mengetahui bahwa
apa yang dikatakan oleh Nabi saw kepada mereka adalah benar belaka.
Qatadah mengatakan
bahwa Allah menghidupkan mereka untuk Nabi
saw sehingga dapat mendengar ucapannya, sebagai kecaman, cemoohan dan
pembalasan darinya.
Menurut pendapat
yang shahih di kalangan ulama adalah riwayat Abdullah
ibnu Umar, mengingat riwayat ini mempunyai banyak syahid yang membuktikan keshahihannya melalui berbagai jalur
yang cukup banyak. Yang paling terkenal di antara riwayat-riwayat
tersebut ialah yang diriwayatkan melalui
Ibnu Abdul Barr yang dinilai shahih melalui Ibnu Abbas secara marfu’ :
مَا مِنْ
أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا
فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلَّا رَدَّ اللهُ عَلَيْهِ رُوْحَهُ حَتَّى يَرُدَّ
عَلَيْهِ السَّلَامَ
“Tiada
seorang pun yang melalui kuburan saudara muslimnya yang ia kenal semasa
hidupnya, lalu ia mengucapkan salam kepadanya, melainkan Allah
mengembalikan ruhnya hingga menjawab salamnya”.
Telah terbuktikan pula melalui suatu
hadits yang bersumber dari Nabi saw ditujukan kepada umatnya,
bahwa apabila mereka hendak mengucapkan salam kepada ahli kubur, hendaklah mereka menyalami ahli kubur sebagai mana
mereka menyalami orang yang mereka ajak bicara. Untuk itu seorang Muslim dianjurkan mengucapkan salam berikut :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ
“Semoga keselamatan
terlimpahkan kepada kalian, wahai (penduduk) kampung kaum yang beriman”
Ini jelas pembicaraan yang ditujukan
kepada orang yang mendengar dan mengerti. Seandainya pembicaraan ini tidak memakai teks tersebut, tentulah
sama saja dengan berbicara kepada yang tiada atau benda mati. Ulama salaf telah sepakat membenarkan hal ini (mengucapkan salam
kepada ahli kubur). Menurut atsar-atsar yang
berpredikat mutawatir (riwayat yang sangat banyak) dari mereka,
mayit mengetahui orang hidup yang berziarah kepadanya dan merasa gembira dengan
kunjungannya.
Ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan di dalam Kitabul
Qubur melalui Siti Aisyah ra yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
مَامِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ
إِسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمُ
“Tiada
seorang pun yang menziarahi kubur saudaranya, lalu duduk di sisinya melainkan
saudaranya itu terhibur dengan kedatangannya dan menjawab salamnya
hingga ia bangkit (meninggalkannya)”.
Telah diriwayatkan pula melalui Abu
Hurairah ra yang telah mengatakan bahwa apabila seseorang
melewati kuburan yang penghuninya ia kenal, lalu ia mengucapkan salam
kepadanya, maka salamnya dijawab olehnya.
Ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan berikut
sanadnya dari seorang lelaki dari kalangan keluarga Ashim Al-Juhdari
yang telah menceritakan bahwa ia pernah melihat Ashim Al-Juhdari dalam mimpinya
setelah Ashim meninggal dunia. Lalu lelaki itu bertanya : Bukankah engkau
telah mati? Ashim memjawab, benar. Lelaki itu bertanya
lagi : Sekarang engkau berada di mana? Ashim menjawab : Saya
demi Allah, berada di suatu tempat taman
dari taman surga bersama sejumlah teman-temanku. Kami berkumpul setiap
malam jum’at, dan pagi harinya di tempat Bakr Ibnu Abdullah Al-Muzani. Maka
kami menerima berita-berita tentang kalian.
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu
bertanya lagi, apakah yang
berkumpul itu tubuh kalian, ataukah arwah kalian? Ashim menjawab : Mustahil bila yang
berkumpul adalah jasad kami, karena jasad kami telah hancur luluh dan yang
dapat bertemu hanyalah arwah kami saja. Perawi
melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu bertanya lagi, apakah kalian
mengetahui bila kami berziarah kepada kalian? Ashim menjawab : Kami mengetahuinya pada hari Kamis sore dan seluruh
hari Jum’at serta malam hari Sabtu
hingga matahari terbit. Mengapa
demikian, bukan pada hari-hari lainnya? Ashim menjawab : Berkat keutamaan dan
kebesaran hari Jum’at.
Ibnu Abud Dunya
mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Muhammad Ibnul Hasain, telah
menceritakan kepada kami Bakh Ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Hasan Al-Qashshab yang menceritakan bahwa ia setiap pagi hari Sabtu selalu
berangkat bersama Muhammad Ibnu Wasi’ menuju Al-Jiban, lalu mereka berdiri di
kuburan yang ada di sana, dan mengucapkan salam kepada ahli kubur serta mendoakan mereka, sesudah itu mereka pulang.
Maka pada suatu hari Hasan Al-Qashshas bertanya : Bagaimana kalau
kita ubah kebiasaan hari ini menjadi hari Senin? Muhammad Ibnu Wasi’ menjawab : Telah sampai
suatu berita kepadaku bahwa orang-orang yang telah mati mengetahui para peziarah mereka hanya hari Jum’at dan hari
sebelumnya serta sehari sesudahnya.
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad Ibnul Hasan, telah menceritakan
kepada kami Yahya Ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl, Ibnu Muwaffiq (anak lelaki pamannya
Sufyan Ibnu Uyaynah) yang menceritakan : Ketika ayahku meninggal
dunia, aku merasa sedih, dan aku selalu menziarahi kuburnya setiap hari. Kemudian
ia tidak lagi menziarahinya selama beberapa waktu yang dikehendaki Allah swt. Pada
suatu hari aku kembali menziarahi kubur ayahku, dan ketika aku sedang duduk di
dekat kubur ayahku, tiba-tiba mataku terserang kantuk, lalu tertidur. Di dalam
mimpiku aku melihat seakan-akan kubur ayahku terbuka, dan seakan-akan ayahku
sedang duduk di pinggirnya dengan berpakaian kain kafannya, sedangkan rupanya
adalah rupa orang yang telah mati.
Al-Fadl melanjutkan kisahnya, bahwa ia menangis
melihat pemandangan itu, lalu ayahnya
bertanya, hai anakku, apakah gerangan yang membuatmu lama
tidak menziarahiku? Aku menjawab : Apakah engkau benar-benar mengetahui
kedatanganku? Ayahnya menjawab : Tidak sekali-kali kamu datang
menziarahiku melainkan aku mengetahuinya. Dulu kamu sering menziarahiku, dan
aku merasa senang dengan kedatanganmu. Orang-orang yang ada di sekitarku merasa
senang pula pada doamu. Al-Fadl mengatakan bahwa setelah itu ia sering
menziarahi kubur ayahnya.
Telah menceritakan kepada Muhammad, telah
menceritakan kepadaku Yahya Ibnu
Bustam, telah menceritakan kepada kami Utsman Ibnu Suwaid At-Tafawi yang
mengatakan bahwa ibunya adalah seorang wanita ahli ibadah yang dikenal dengan
julukan Rahibah. Ketika ajalnya telah dekat, Rahibah mengangkat kepalanya kearah langit, lalu berdoa : Wahai Tuhan
yang menjadi harapan dan dambaanku selama hidup dan matiku, janganlah Engkau
menjadikan aku terhina saat matiku, dan janganlah Engkau menjadikan diriku
merasa asing dalam kesendirianku.
Setelah ia
meninggal dunia, aku (Utsman Ibnu Suwaid) selalu menziarahi kuburnya setiap hari Jum’at, mendoakannya serta memohonkan
ampunan buatnya, juga buat ahli kubur lainnya. Pada suatu malam aku melihat ibuku dalam mimpi, maka aku bertanya
kepadanya : Ibu, bagaimanakah keadaanmu? Ia menjawab : Anakku,
sesungguhnya maut itu benar-benar merupakan musibah yang sangat
keras. Dan sesungguhnya aku, segala puji
bagi Allah, benar-benar ada di alam barzakh yang terpuji yang penuh
dengan bau yang harum dan dihamparkan padanya kain sutera yang tebal dan yang
tipis sampai hari berbangkit nanti.
Aku bertanya kepadanya : Apakah engkau mempunyai
keperluan? Ia menjawab : Ya. Aku bertanya, keperluan apa?
Ia menjawab : Janganlah engkau meninggalkan kebiasaan menziarahi kami dan
mendoakan bagi kami, karena sesungguhnya aku benar-benar merasa gembira dengan kedatanganmu pada hari Jum’at. Jika engkau tiba
dari rumah keluargamu, maka
dikatakan kepadaku : Hai Rahibah, inilah putramu telah datang, maka
bergembiralah. Dengan demikian, bergembiralah semua orang
mati yang ada sekitarku.
Telah menceritakan kepadaku Muhammad, telah
menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu Abdul Aziz Ibnu Sulaiman, telah
menceritakan kepada kami Bisyr Ibnu Mansur yang mengatakan bahwa ketika wabah
ta’un (kolera) sedang menjalar, ada seorang lelaki bolak-balik pergi ke
Al-Jiban. Dia datang untuk ikut menyalati jenazah. Apabila petang jari, ia berdiri di dekat kuburan seraya berdoa : Semoga
Allah menghibur kalian dan menyayangi
kalian dalam keterasingan kalian, dan semoga Dia memaafkan
kesalahan-kesalahan kalian serta menerima kebaikan-kebaikan kalian. Dia
tidak lebih selain mengucapkan kalimat tersebut..
Bisyr Ibnu Mansur melanjutkan kisahnya, bahwa di
suatu petang hari lelaki itu pulang ke rumah keluarganya tanpa mampir di
kuburan dan tidak berdoa sebagaimana biasanya untuk ahli kubur. Ketika aku
(lelaki itu) tidur, tiba-tiba dalam mimpinya ia kedatangan sejumlah orang, lalu
aku bertanya : Siapakah kalian ini dan apa keperluan kalian? Mereka
menjawab : Kami adalah ahli kubur. Aku bertanya : Lalu apa keperluan kalian? Mereka menjawab : Biasanya engkau mengirim suatu hadiah pada
kami saat engkau dalam perjalanan pulangmu ke rumah keluargamu. Aku
bertanya : Hadiah apakah itu ? Mereka menjawab : Doa-doa yang biasa
engkau ucapkan di dekat kuburan kami. Aku menjawab : Aku akan membiasakan lagi. Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkan kebiasaanku itu.
Dan dari peristiwa itu aku mengetahui bahwa mayit itu mengetahui amal perbuatan kaum kerabat dan
saudara-saudaranya.
Abdullah Ibnul Mubarak mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Shaur Ibnu
Yazid, dari Ibrahim, dari Ayyub yang mengatakan bahwa amal perbuatan
orang-orang yang hidup ditampakkan kepada orang-orang yang telah mati (dari
kalangan keluarganya). Apabila melihat kebaikan, mereka bergembira, dan apabila meliahat keburukan, mereka mengatakan :
Ya Allah maafkanlah mereka.
Ibnu Abud Dunya
mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnul Husain, telah
menceritakan kepadaku Khalid Ibnu Amr Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami
Shadaqah Ibnu Sulaiman Al-Ja’fari yang menceritakan bahwa dia mempunyai
kebiasaan yang buruk, dan ketika ayahnya
meninggal dunia, ia bertaubat dan menyesali perbuatan dosa yang pernah
dilakukannya. Kemudian ia tergelincir lagi melakukan kebiasaan buruk itu, maka ia melihat ayahnya dalam mimpinya, lalu
ayahnya berkata : Anakku, alangkah
gembiranya aku denganmu, pada mulanya semua amal perbuatanmu ditampakkan kepada kami dan kami
menyerupakannya dengan amal perbuatan
orang-orang yang shaleh. Tetapi setelah ketergelinciranmu itu aku merasa
sangat malu dengan apa yang telah kamu perbuat itu. Maka janganlah engkau
membuatku sedih di kalangan orang-orang yang telah mati di sekitarku.
Khalid Ibnu Amr
Al-Umawi melanjutkan kisahnya: Sejak saat itu aku mendengarnya selalu
mengucapkan doa berikut di waktu sahurnya, yang secara kebetulan rumahnya di
Kufah bertetangga denganku, yaitu : Ya Allah, aku memohon kapada-Mu taubat
yang tidak pernah diulangi lagi dan tidak
pernah terkotor lagi, wahai Allah yang memperbaiki keadaan orang-orang
yang shaleh dan wahai Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang sesat, wahai
Allah Maha Pelimpah Rahmat.
Pembahasan mengenai hal ini memerlukan bab
tersendiri mengingat banyak atsar dari para sahabat yang mengangkatnya.
Disebutkan bahwa sebagian kalangan sahabat
Anshar dari kalangan kaum kerabat Abdullah Ibnu Rawwahah selalu mengucapkan
doa berikut :
أللهم
إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَمَلٍ أُخْزَى بِهِ عِنْدَ عَبْدُ اللهِ بْنِ
رَوَّاحَةَ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari amal perbuatan yang karenanya
Abdullah Ibnu Rawwahah terhina”.
Dia mengucapkan
doa tersebut setelah Abdullah bin Rawwahah mati syahid.
Islam
mensyariaatkan mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah mati. Dan seperti yang telah kita ketahui, mengucapkan salam
kepada orang yang tidak dikenal serta tidak diketahui kemuslimannya merupakan suatu hal yang tidak diperbolehkan, Nabi
saw telah mengajarkan kepada umatnya bila mereka melihat kuburan
hendaknya mengucapkan doa berikut :
سَلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شآءَ اللهُ
بِكُمْ لَاحِكُوْنَ، يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَمِنْكُمْ
وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ اْلعَافِيَةَ
“Keselamatan semoga
terlimpahkan kepada kalian, wahai ahli kubur dari kalangan orang-orang mukmin. Dan sesungguhnya kami, insya Allah akan
menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian di antara kami dan kalian.
Kami memohon kepada Allah buat kami dan kalian akan keselamatan”.
Salam dan pembicaraan serta seruan ini jelas
ditujukan kepada yang mendengar, yang
berbicara, yang memahami serta menjawab, sekalipun orang yang bersangkutan tidak dapat mendengar
jawabannya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Demikian secara
panjang lebar keterangan ini yang diketengahkan oleh
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsirul Qur’anil
‘Adzim
Dari keterangan di atas bahwa orang yang telah
meninggal, mereka masih hidup di alam
mereka, dapat mendengar tawassul kita dan menolong mendoakan hajat kita
kepada Allah. Terdapat sekian banyak dalil yang menunjukkan kehidupan mereka di alam kubur, dapat mendengar tawassul
kita dan menolong hajat kita kepada
Allah diantaranya adalah firman Allah :
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبيلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاء وَلَكِن لاَّ تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Q.S. 2 Al Baqarah 154)
وَلاَ
تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء
عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezki. (Q.S.
3 Ali 'Imran 169)
Jadi kalau ada orang atau kelompok yang hanya memperbolehkan
bertawassul
dengan orang yang mesih hidup saja dan melarang bertawassul
dengan orang yang telah meninggal akan terjerumus pada kemusyrikan, karena menganggap makhluk hidup bisa memberi
manfaat, sedang orang yang telah meninggal tidak dapat memberi manfaat
sama sekali.
Sedangkan aqidah
kita menganggap bahwa semua yang hidup dan
yang mati sama-sama tidak dapat memberi manfaat apa-apa kecuali karena Allah swt memuliakannya. Bukan karena ia
hidup lalu ia bisa memberi manfaat di hadapan Allah, jika demikian
berarti yang hidup sebanding dengan Allah.
Lalu apakah yang hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah? Tidak, demi Allah bukan demikian. Tidak ada
perbedaan dari yang hidup dan yang
mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup
tidak akan mampu berbuat kecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun tidak mustahil memberi manfaat bila
memang dikehendaki Allah swt.
Ketahuilah bahwa
pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang
yang mati adalah kekufuran yang nyata, karena hidup ataupun mati tidak
membedakan kodrat Allah dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah swt, ketakwaan mereka dan kedekatan mereka
kepadaAllah swt tetap abadi walau mereka telah wafat.
Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis
datang pada seorang saudagar kaya
yang dermawan, kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah
tetangganya. Saat mengemis pada saudagar itu ia berkata : Berilah hajat saya tuan, saya adalah tetangga
dekat almarhumah istri tuan.
Maka tentunya si saudagar akan memberi lebih
pada si pengemis karena ia tetangga
mendiang istrinya. Bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah
mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tidak dapat memberi manfaat? Secara jelas saudagar
itu sangat menghormati, mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang
lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat. Istri saudagar yang telah wafat itu tidak bangkit
dari kubur dan tidak tahu menahu tentang urusan hajat si pengemis pada
si saudagar. Namun pengemis itu mendapat manfaat besar dari orang yang telah
wafat.
Jadi kesimpulan
yang dapat kita ambil adalah kita diperbolehkan berdoa tanpa perantara, boleh
berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shaleh, boleh
berdoa dengan perantara amal kita yang baik, boleh berdoa dengan perantara Nabi
Muhammad saw, shalihin atau benda. Misalnya
: Wahai Allah demi kemuliaan Ka’bah penuhilah hajatku, atau
wahai Allah demi kemuliaan Arafah kabulkanlah hajatku, dan lain sebagainya. Tidak ada larangan dari Allah
mengenai hal ini, tidak pula dari
Rasul, para sahabat, tabi’an dari para muhaddisin. Bahkan sebaliknya Allah menganjurkannya, Rasulullah saw
mengajarkannya, sahabat mengamalkan nya,
lalu bagaimana dengan kita ? Kalau kita mencintai Allah dan Rasul-Nya,
tentunya kita mengikuti anjuran Allah yang diajarkan oleh Rasulullah dan yang
telah diamalkan oleh para sahabat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar