Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita
menyaksikan seragam yang berbeda-beda antara anak sekolah, pekerja pabrik,
pegawai negeri, dan Tentara. Penggunaan pakaian ini adalah sebagai identitas
diri yang membedakan antara satu komunitas dengan lainnya. Identitas ini
penting, karena menggambarkan eksis-tensi dan keberadaan seseorang. Dan inilah
salah satu fungsi pakaian, yaitu sebagai pembeda seseorang dengan lainnya. Al
qur’an menyebut tiga istilah untuk pakaian, yaitu: libas, tsiyab, dan sarabil.
Akar kata pertama disebut 10 kali, kata kedua 8 kali, dan kata ketiga sebanyak
3 kali.
Mungkin kita bertanya, untuk apakah
pakaian itu diciptakan?. Guna menjawabnya, penulis memulai dengan membuka Kamus
Besar Bahasa Indonesia, bahwa pakaian berarti barang yang dipakai, seperti
baju, celana, dan lain sebagainya. Seorang pakar bahasa mengatakan bahwa
pakaian dalam bahasa arab di sebut tsiyab atau tsaub yang berarti kembali.
Untuk memahaminya, mari kita mengadakan kajian historis ten-tang sejarah penciptaan manusia. Dalam al Qur’an Surat al A’raf ayat 20 dijelaskan peristiwa antara Nabi Adam dan Siti Hawa, “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepa-da keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata: "Tuhan kamu tidak mela-rangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)". (Q.S. 7 Al A'raaf 20)
Kemudian dalam ayat 22 dijelaskan pula: maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya de-ngan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukan-kah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (Q.S. 7 Al A'raaf 22)
Dari uraian dua ayat di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya diri manusia itu “tertutup aurat”nya,
namun karena godaan syetanlah aurat itu menjadi terbuka. Dengan ditutu-pinya
aurat dengan pakaian, berarti telah dikembalikan kepada ide dasar manusia untuk
menutup aurat. Itulah mengapa kemudian pakaian disebut dengan tsaub yang
berarti kembali. Maksudnya dengan berpakaian berarti kita mengembalikan aurat
pada ide dasar yaitu tertutup.
Lebih lanjut, sebuah riwayat mengatakan
bahwa ketika Nabi Muhammad belum memperoleh keyakinan tentang apa yang di
alaminya di Gua Hira, beliau menyampaikan hal itu kepada isterinya. Siti
Khatidjah berkata, “Jika engkau melihatnya lagi, beritahulah aku”. Di
kesempatan lain, ketika Nabi melihat malaikat yang dilihatnya di Gua Hira,
Istri beliau membuka pakaiannya sam-bil bertanya, “Sekarang, apakah engkau
masih melihatnya?” Nabi menjawab: “Tidak … dia pergi”, Khadjijah
dengan penuh keyaki-nan berkata, “Yakinlah yang datang bukan setan … (karena
hanya setan yang senang melihat aurat)”.
Ada banyak fungsi pakaian, diantaranya
adalah sebagai penutup aurat. Yang dimaksud aurat disini adalah bagian-bagian
tubuh yang tidak pantas untuk diperlihatkan dalam pandangan agama. Dikatakan
aurat karena dalam bahasa, aurat bisa diartikan aib, cacat, dan cela. Maksud
dari cacat disini bukan berarti makna hakiki wujudnya, karena pada dasarnya
tidak secuilpun bagian tubuh manusia yang buruk, semua baik dan bermanfaat
termasuk anggota aurat.
Namun dinggap cela atau buruk oleh agama
karena faktor lain, yaitu adanya keterbukaan. Selama aurat itu tertutup maka
baik dan jika terbuka maka menjadi buruk. Sekali lagi bukan masalah buruknya
wujud bagian tubuh yang dianggap aurat, tetapi buruknya ketika diperlihatkan.
Agama secara tegas melarang membuka aurat, terutama aurat primer (kemaluan). Bahkan lara-ngan ini mutlak bagi siapapun tak terkecuali bagi dirinya sendiri, meski tidak sampai pada batas keharaman. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan at Tirmidzi menyebutkan, “Hindarilah telan-jang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang dan ketika seseorang berhubu-ngan intim dengan isterinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka”.
Hadist lain
mengatakan, “Apabila salah seorang dari kamu berhubungan intim dengan
pasangannya, jangan sekali-kali keduanya telanjang bagaikan telanjangnya
binatang” (HR. Ibnu Majah).
Berangkat dari sinilah mengapa para ulama mengajarkan pada kita untuk menggunakan kain basahan saat mandi karena jangan sampai aurat primer terlihat oleh siapapun.
Namun ini adalah tuntunan moral. Adapun secara hukum fiqih, tidaklah seketat ini. Fuqoha Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan terbagi menjadi beberapa kondisi, yaitu: saat sholat (dengan menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan), saat bergaul bersama para wanita (menutup antara pusar dan lutut), dan saat bersama suami (diperbolehkan terbuka). Adapun untuk laki-laki adalah menutup anggota tubuh antara pusar dan lutut (baik dalam shalat atau di luar) serta boleh terbuka saat bersama isteri.
Fungsi lain adalah sebagai pelindung diri
dan prilaku. Maksudnya pelindung diri adalah dengan berpakaian manusia bisa
menghindari udara dingin, panas-nya terik matahari, dan lain sebagainya. Adapun
pelindung prilaku adalah pakaian memberi pengaruh positif terhadap
peng-gunanya. Semisal jika seseorang berpakain santri (berpeci bagi laki-laki
dan berjilbab bagi perempuan) maka akan dapat mencegah penggunanya untuk tidak
melaku-kan hal-hal yang tidak sesuai dengan sopan-santun santri. Selain itu,
perlindungan prilaku juga bisa dimaknai bagi orang melihatnya. Dengan melihat
perempuan yang tertutup maka dapat mencegah atau minimal mengurangi- perbuatan
yang tidak senonoh. Itulah mengapa agama memerintahkan wanita-wanita me-makai
jilbab yang salah satu tujuannya agar tidak di ganggu, Hai Nabi katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak pe-rempuanmu dan istri-istri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-nya ke seluruh tubuh mere-ka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengam-pun lagi Maha penyayang. (Q.S.
33 Al Ahzab 59)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar