Memang terjadi
banyak silang pendapat tentang hukum kepiting di tengah masyarakat. Ada
sementara kalangan yang mengharamkan nya, tetapi tidak sedikit yang
menghalakannya. Hal ini disebabkan karena anggapan bahwa kepiting adalah
termasuk binatang yang hidup di dua alam (darat dan air).
Yang mengharamkan kepiting pada umumnya menggunakan dasar dari kitab
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhaddzab juz 9 halaman 32 :
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَإِمَامُ
الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا
مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ وَبِهِ قَطَعَ
الْجُمْهُوْرُ وَفِيْهِمَا قَوْلُ ضَعِيْفٌ اَنَّهُمَا حَلَالٌ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيُّ
فِي السَّرَطَانِ عَنْ الْحَلِيْمِيِّ
Dari bagian ini (hewan yang dapat hidup di dua tempat), Asy-Syekh
Abu Hamid dan imam Al-Haramain memasukkan katak dan ketam (jenis kepiting). Dua
hewan tersebut diharamkan menurut ketetapan madzhab yang shahih (benar).
Mayoritas ulama juga mengacu pada pendapat ini. Ada pendapat dhaif yang
diceritakan oleh Al-Baghawi bersumber dari al-Halimi yang mengatakan bahwa
kedua hewan ini halal.
Pendapat Yang
Menghalalkan menilai bahwa kepiting bukan hewan yang dapat hidup di darat dan
di air. Hal ini pun dipastikan oleh seorang pakar kepiting, Dr. Sulistiono dari
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) saat
menjabarkan makalahnya yang berjudul "Eko-Biologi Kepiting Bakau",
di depan komisi Fatwa MUI tanggal 15 Juni 2002 lalu. Pembantu Dekan III FPIK
ini membatasi bahasan pada jenis kepiting yang banyak dikenal masyarakat. Di
Indonesia ada 2.500-an spesies, sementara di dunia lebih dari 4.500 spesies.
Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut. Kedua, kepiting kecil yang hidup di darat, biasa dipakai makanan ternak. Ketiga, kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau kepiting bakau. Kepiting tambak inipun ada 4 (empat) jenis, namun masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya satu jenis. Dikarenakan bentuknya yang memang sama persis.
Keempatnya paling banyak dikonsumsi masyarakat karena dagingnya yang enak. Empat jenis kepiting itu adalah Scylla serrata, Scylla paramamosain, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Ada dua hal untuk membedakan keempatnya, yaitu duri yang ada di sikut dan duri di dahinya. Menurut Sulistiono, dari keempat jenis itu, yang paling banyak dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica.
Dr. Sulistiono memastikan bahwa kepiting tidak dapat hidup di dua tempat (darat dan air) seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Namun kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi, kepiting sesungguhnya tidak bisa lepas dari air.
Komisi Fatwa MUI pun akhirnya menetapkan empat jenis kepiting itu halal selama tidak menimbulkan bahaya, karena kepiting adalah jenis binatang air. Namun demikian, diluar keempat jenis diatas, MUI belum dapat memastikan secara pasti kehalalannya. Hal ini dikarenakan belum ada penelitian yang cukup memadai diluar keempat jenis diatas, sementara jenis kepiting itu sendiri sangat banyak. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabi'ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M
Perbedaan
pendapat diantara para ulama sebagaimana penjelasan diatas kiranya semakin
menjadikan umat maupun masyarakat Islam Indonesia semakin dewasa dalam
menghargai keanekaragaman yang ada, sehingga slogan Islam rahmatan lil ‘alamin
benar-benar dapat membumi di negeri ini, bukan hanya semboyan yang hinggap di
awan belaka. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar