Ada satu sifat tercela yang banyak
menjangkiti para pemimpin dan orang-orang yang Allah Azza wa Jalla amanatkan
kepemimpinannya diatas pundak mereka.
Itulah perasaan takjub atau bangga diri terhadap kekuatan dan
kebesaran namanya. Bangga diri adalah salah satu tipu daya setan., marilah kita
simak kisah seorang nabi yang takjub kepada kepemimpinannya dan akibat yang
harus dialami oleh diri dan kaumnya. Wallahul Muwaffiq.
Sahabat Shuhaib (Ar-Rumi) ra. telah
meriwayatkan sebuah hadist dari Rasulullah saw. dia mengatakan : “Setiap usai
sholat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membaca sesuatu dengan suara
pelan yang aku (Shuhaib ra.) tidak memahami apa yang beliau baca dan beliau
juga (sebelum-nya) tidak mengabarkan kepada kami tentang hal itu. Lalu beliau
Rasulullah saw.mengatakan : “Apakah kalian ingin tahu apa yang aku baca?” Para
Sahabat menjawab : “Iya.” Beliau melanjutkan :
“Sesungguhnya aku
teringat kisah seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu yang memiliki pasukan
perang yang sangat banyak . Lalu sang Nabi tersebut mengatakan : “Siapakah yang
dpat menandingi mereka?” atau “Siapakah yang bias mengalahkan mereka?” atau
perkataan (lain) yang sejenisnya.”
Lalu Allah Azza
wa Jalla mewahyukan kepadanya : “Pilihlah untuk kaummu salah satu diantara tiga
pilihan berikut : akan dikuasakan atas mereka musuh-musuh mereka, atau merka
akan ditimpa kelaparan, atau mereka ditimpa kematian.” Lalu ia bermusyawarah
dengan kaumnya untuk menentukan pilihan tersebut, maka kaumnya mengatakan :
“Engkau adalah Nabi Allah Azza wa Jalla maka segala keputusan adalah
ditanganmu, pilihkan saja untuk kami (yang terbaik). Ia pun beranjak
melakukan sholat, dan mereka (para nabi) apabila sedang ditimpa kegelisahan
akan bersegera melakukan sholat. Lalu ia pun sholat dengan bentuk shlat yang
Allah Azza wa Jalla perintahkan.
Rasulullah
saw.melanjutkan : Lalu dia (Sang Nabi) berkata : “Wahai Rabbku, janganlah
Engkau kuasakan musuh-musuh kami atas kami, jangan pula Engkau timpakan
kelaparan (atas kaumku), tetapi berilah saja kematian.” Maka kemudian mereka
pun ditimpa kematian, sehingga (dalam sehari) meninggallah dai kaumnya tersebut
tujuh puluh ribu orang.
(Rasulullah saw.
melanjutkan) : Maka bacaan lirihku yang kalian lihat adalah karena aku membaca
:
“Ya Allah,
dengan-Mu aku berperang, dan dengan-Mu pula aku menyerbu, serta tidak ada daya
dan kekuatan melainkan dengan (pertolongan) Allah.”
Kisah diatas
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
Nabi saw.
mengkisahkan bahwa ada nabi Allah yang diberi nikmat berupa pengikut yang
banyak. Karena melihat seolah-olah kekuatan mereka tidak terkalahkan oleh
musuh, timbullah rasa bangga dalam hatinya. Ia menyangka bahwa tidak ada lagi
yang dapat mengalahkan kekuatannya. Namun, tidaklah demikian seharusnya sikap
seorang nabi.
Sesungguhnya
bangga terhadap diri sendiri, harta, dan anak keturunan adalah penyakit yang
sangat jelek karena seorang mukmin yang sesungguhnya tidak akan terpedaya
dengan banyaknya jumlah pasukan tatkala menghadapi musuh dan tidak menyiutkan
nyalinya tatkala minimnya persiapan dan personil mereka karena kemenangan
datang dari pemberian Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“…Dan
kemenanganmu itu hanyalah dari Allh yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS.Ali Imron [3] : 126)
“…Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (QS.al-Baqoroh [2] : 249)
Dan bahkan pada
sebagian keadaan, kebanggaan dengan jumlah yang besar adalah satu sebab
kekalahan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“….Dan
(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak member manfaat kepadamu
sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu
lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (QS.at-Taubah [9] : 25)
Sang Nabi dalam
kisah diatas dihukum akibat berbuat kesalahannya. Allah Azza wa Jalla
menawarkan kepadanya untuk memilih salah satu dari tiga pilihan terkait dengan
kaumnya yaitu memilih bahwa akan ada suatu kaum lain yang bisa mengalahkan
mereka, atau mereka akan ditimpa paceklik panjang, atau memilih ditimpakan
kematian atas kaumnya.
Sungguh tiga
pilihan yang sama-sama berat, karena semuanya akan dapat menyebabkan kelemahan
dan hilangnya kekuatan mereka dan juga akan menghilangkan rasa bangga.
Seandainya ada kaum lain yang dapat mengalahkan mereka maka kaum tersebut akan
menghinakan mereka.
Apabila mereka
ditimpa kelaparan maka beratnya rasa lapar akan menghilangkan kekuatan mereka
sehngga musuh akan sangat mudah menghancurkan dan mengalahkan mereka. Demikian
juga, apabila mereka ditimpakan kematian, hal itu pun akan mengurangi jumlah
dan kekuatan pasukan mereka. Maka memilih salah satu dari ketiga pilihan
tersebut bukan masalah ringan karena berkonsekuensi pada kelemahan mereka.
Pertimbangan yang ekstra hati-hati sangat dibutuhkan. Oleh karenanya, Sang Nabi
memanggil kaumnya dan bermusyawarah menentukan pilihan terbaik untuk mereka.
Namun, kaumnya tersebut justru menyerahkan segala urusan kepadanya. Mereka
mengatakan : “Engkau adalah seorang Nabi, maka segala putusan ada di tanganmu.”
Para Nabi dan
Rasul adalah orang yang diberi petunjuk dan berkata benar. Nabi tersebut
memilih untuk mereka sebuah pilihan yang paling tepat dan terbaik karena ia
memilih pilihan ketiga yaitu ditimpakan kematian atas kaumnya. Ia tidak memilih
untuk ditimpakan atas mereka kelaparan atau dikalahkan oleh musuh. Alasannya,
kalaupun tidak mati hari ini mereka pun pasti akan mati pada hari-hari yang
lain karena kematian adalah sebuah kepastian yang siapapun tidak akan bisa
mengelak dimana pun dia berada dan kapan pun juga. Orang-orang yang lebih
dahulu diwafatkan akan berharap bahwa segala amal perbuatan mereka dapat
diterima di sisi-Nya sedang orang-orang yang masih tinggal setelahnya
akan menjadikannya sebagai sebuah nasihat dan peringatan baginya. Demikian
pula, bisa jadi Allah Azza wa Jalla akan menambah lagi jumlah mereka yang sekarang
tinggal sedikit karena segala perkara berada di tangan Allah Azza wa Jalla.
Sang Nabi segera
sujud kepada Allah Azza wa Jalla, bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla untuk
dipilihkan pilihan terbaik untuknya. Demikianlah kebiasa-an para Nabi dan orang-orang
yang sholih. Tatkala ditimpa kegundahan mereka bersegera menegakkan sholat.
Sang Nabi sholat dengan bentuk sholat yang Allah kehendaki. Maka Allah
memilihkan baginya pilihan yang paling ringan.
Dia berkata
kepada Robbnya: “Wahai Robbku, janganlah Engkau kuasakan musuh-musuh kami atas
kami, jangan pula Engkau timpakan kelaparan (atas kaumku), tetapi berilah kami
kematian.”
Maka tibalah
saatnya musibah kematian datang kepada mereka sehingga meninggallah dari
kaumnya tersebut dalam sehari sebanyak 70.000 orang.
Sungguh akibat
buruk dari perasaan bangga Sang Nabi sungguh menakutkan. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam pun sangat khawatir akan terjadi pada kaumnya semisal apa yang
telah terjadi pada kaum nabi tersebut.sebabitu, selesai sholat dan seusai
mengisahkan kisah nabi tersebut kepada para sahabatnya, beliau mengucapkan –
dengan suara lirih – do’a diatas.
Beliau berlepas
diri dari segala perasaan bangga serta menyerahkan segala daya dan kekuatan
hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Beliau berlepas diri dari sekadar bersandar
pada kekuatan para sahabat. Tatkala menghadang musuh beliau hanya bersandar
kepada Allah Azza wa Jalla semata karena dari-Nya-lah saja pertolongan
dan dari-Nya-lah pula kemenangan. Sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan melainkan
hanya milik Allah Azza wa Jalla. Wallahul Muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar