Seputar hukum rokok, tidak sedikit ulama yang memperbolehkan dan tidak sedikit pula ulama yang melarang bahkan sampai mengharamkannya.
Pada dasarnya tidak ada nash yang sharih (jelas) yang mengatakan rokok itu haram. Dalam kaidah ushul fikih Syafi'i disebutkan :
اَلْأَصْلُ
فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya
diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Jadi hukun rokok asalnya adalah mubah, karena ada efek negatif seperti bau mulut, asap yang mengganggu orang lain, maka sebagian ulama menghukumi mahruh.
Masalah unsur kesehatan, maka tidak serta merta dapat menjadi 'illat (sebab/alasan) untuk mengharamkan rokok, maka perlu kita kaji dulu seberapa jauh rokok dalam hal merusak kesehatan. Dan seperti yang kita ketahui bahwa rokok tidak merusak kesehatan secara langsung atau berefek seketika (seperti racun tikus, dll), akan tetapi setelah melalui jangka waktu yang lama (bertahun-tahun) dan dilakukan secara terus menerus (kontinyu), maka barulah perokok menjadi sakit atau rusak kesehatannya. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada para perokok saja, tapi juga pada orang yang tiap harinya selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan pengawet. Bahkan orang yang setiap harinya mengkonsumsi daging kambing yang halal juga akan terkena penyakit darah tinggi dan kolesterol.
Sebagian ulama yang mengharamkan kokok berpedoma pada ayat Al-Qur'an :
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (Q.S. 2 Al Baqarah 195)
Mungkin lebih
jelasnya kita tampilkan seluruh ayat itu Yaitu :
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوْا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. 2 Al Baqarah 195)
Dalam
hadits riwayat Bukhari tentang ayat ini, dikatakan bahwa ayat ini turun dalam
masalah nafkah. Sedangkan At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim
menyebutkan bahwa At-tahlukah ( التهلكة ) bermakna terlena oleh harta dan
meninggalkan jihad. Menurut Ibnu Abbas ra, At-Tahlukah adalah kikir dalam
membelenjakan harta di jalan Allah. Dan dari sahabat Rasulullah Nu’man bin
Basyir ra mengatakan bahwa At-Tahlukah adalah seseorang yang berdosa kemudian
mengatakan bahwa Allah tidak mengampuninya (Tafsir Al-Quran Al-Adzim – Ibnu
Katsir juz 1 halaman 221 dan 222).
Jadi
semua riwayat dalam ayat ini menyatakan bahwa yang dimaksud At-Tahlukah disini
bersifat maknawi, bukan bersifat dzohir yaitu merusak jasad, apalagi dikaitkan
dengan merusak kesehatan karena merokok yang tentunya jauh dari arti yang
sebenarnya dan juga jauh dari asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat ini.
Dalam
ayat lain juga disebutkan :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (Q.S. 7 Al A'raaf 157)
Maksudnya,
Nabi saw menghalalkan bagi mereka apa yang dahulunya mereka haramkan atas diri
mereka sendiri. Menurut Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan "segala
yang buruk" adalah seperti babi, riba dan barang haram yang dahulunya
mereka halalkan, yaitu makanan-makanan yang diharamkan oleh Allah (Tafsir
Al-Quran Al-Adzim – Ibnu Katsir juz 2 halaman 243).
Dan
Allah tidak mengaharamkan sesuatu dengan nash kecuali memang sesuatu itu adalah
buruk. Bukan diartikan sebaliknya bahwa segala sesuatu yang buruk adalah haram.
Akan tetapi arti dari ayat tersebut adalah bahwa sesuatu yang nash memang mengharamkannya
maka sesuatu itu pasti buruk.
Sebagian
ulama yang mengharamkan kokok berpedoma pada hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Dari
Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat dloror, dan tidak boleh berbuat
dliror. (H. R. Ibnu Majah, No.2431)
Dalam
kitab Fathul Mubin syarah kitab Arbain Nawawi karangan Ibnu Hajar Al-Haitami
disebutkan makna dloror adalah perbuatan yang merugikan/ membahayakan orang
lain yang perbuatan itu bermanfaat bagi pelakunya. Sedangkan dliror artinya
perbuatan yang merugikan/ membahayakan orang lain dan perbuatan itu tidak
bermanfaat bagi pelakunya. Jadi jelas bahwa makna dloror dan dliror dari hadits
ini adalah untuk orang lain, bukan dloror atau dliror untuk diri pelaku
sendiri.
Dan
kemudian dibahas panjang lebar masalah perbuatan yang merugikan/ membahayakan
orang lain yang berujung pada hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Seperti makan bawang maka hukumnya makruh, menyerang untuk membela diri dari
serangan orang kafir adalah wajib, dan lain sebagainya.
Dan
kalaupun diartikan kemudlaratan untuk diri pelakunya sendiri pun maka dapat
disimpulkan bahwa لا ضرار ولا ضرار bersifat kasuistis tergantung pada kondisi
masing-masing orangnya. Bisa kita contohkan jika ada seseorang yang terkena
stroke dan dokter mengatakan bahwa apabila ia mengkonsumsi daging sekali lagi
maka pembuluh darahnya akan pecah atau strokenya akan bertambah parah yang bisa
menyebabkan kematiannya, maka bagi orang tersebut mengkonsumsi daging hukumnya
adalah haram.
Berbeda
dengan orang sehat yang dokter mengatakan “jangan makan daging setiap hari,
karena hal itu dapat menyebabkan penyakit darah tinggi dan kolesterol”, maka
mengkonsumsi daging bagi orang ini hukumnya adalah halal. Begitu juga dengan
rokok.
hukum merokok itu bisa jadi bersifat
relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu
berporos pada 'illat yang
mendasarinya.
Dengan demikian, pada satu sisi dapat
dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat
terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang
tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya
kecil.
Jadi bisa dikatakan hukum rokok itu haram secara khusus, makruh secara umum, dan
mubah jika dilakukan sesekali dan sekiranya mafsadah (bahaya) yang
ditimbulkannya tidak seberapa, dan kemudian mudah luntur.
Dan
kami anjurkan khususnya kepada orang-orang yang berpendidikan dan para tokoh
masyarakat untuk menjaga kepribadiannya dengan tidak merokok. Karena sudah
seharusnya mereka menjadi contoh bagi masyarakat umum dalam perilaku
sehari-harinya. Yaitu tidak hanya menjalankan yang fardlu saja, tetapi juga
selalu menjaga hal-hal yang sunah. Dan tidak hanya meninggalkan perkara yang
haram saja, tetapi juga menjauhkan diri dari hal-hal yang makruh.
Jadi
apapun hukumnya merokok, tidak merokok itu jauh lebih baik. Dan alhamdulillah
penulis mulai kecil sampai sekarang belum pernah merokok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar