Sudah
menjadi tradisi orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada
tamu-tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut
belasungkawa atas segala yang menimpa, sambil mendo’akan untuk yang meninggal
maupun yang ditinggalkan.
Mengenai
kenduri arwah 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap
hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah bid’ah hasanah, justru kita
perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa
ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan
Iblis dan pengikutnya? Siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha
illallah? muslimkah? semoga Allah memberi hidayah pada orang
yang demikian itu. Tak ada larangan
untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak ada pula larangan untuk melarang yang
berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau
kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Menurut Imam Suyuthi didalam
kitab Al-Hawi lil Fatawi, tradisi memberi
sedekah makanan selama tujuh hari dari kematian ini, merupakan kebiasan atau tradisi yang tetap berlaku
hingga sekarang ini (sekitar abad
ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas tradisi itu tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi saw. Tradisi ini diambil dari ulam salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi
saw). Imam Ahmad bin Hambal juga berkata dalam kitab Az-Zuhd,
sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi lil
Fatawi, Juz 2, Hal 178,
حَدَثَنَا هَاشِمُ ابْنِ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَثَنَا الْأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُسَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأيّاَمِ إِلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Telah menceritakan
kepada kami Hasyim bin Qasim, telah menceritakan kepada kami
Al-Asyja’i dari Sufyan, Ia berkata, Thawus berkata “Orang yang meninggal dunia
diuji selama 7 hari didalam kubur. Maka para salafus shalih
mensunahkan bersedekan makanan untuk mereka yang meninggal dunia
selama hari-hari itu. Ubaid ibnu Umair
berkata: "Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian
dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan mendapat ujian selam 7 hari, sedang seorang
munafiq selama 40 hari di waktu pagi."
Dalam
riwayat Mujahid disebutkan : “Ruh-ruh itu berada di atas pekuburan
selama tujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya”.
Hadits Thawus ini dikategorikan oleh para ulama sebagai
mursal marfu’ yang shahih. Hadits marfu’ mursal adalah hadits yang
sanadnya
terhenti kepada tabi’in (tersebut) tanpa diberitahukan siapa perawinya dari
kalangan sahabat hingga ke Nabi. Tetapi karena menyangkut masalah barzakhiyyah
(alam kubur) yang tidak akan diketahui selain dari wahyu, maka dirafa’kanlah sanadnya
kepada Nabi saw. Para ulama menyatakan bahwa hadits marfu’ mursal tersebut boleh
dijadikan hujjah (dasar) secara mutlak dalam madzhab sunni seperti Hanafi,
Maliki
dan Hanbali. Sementara Imam Syafi'i hanya mau berhujjah dengan hadits mursal
jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya
hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dalam hal ini, seperti disebut di
atas, ada riwayat dari Ubaid bin Umair dan dari Mujahid yang keduanya dari
golongan Tabi'in,
Bila hal ini dikatakan
merupakan adat orang Hindu, maka ada perbedaan
antara tradisi Hindu dengan tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya diadakan
ritual selamatan dengan hidangan
makanan yang diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam, permainan judi, minuman keras
dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan
dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam
tradisi tahlilan, diisi dengan bacaan Al-Qur’an, dzikir bersama kepada Allah
swt, serta selamatan (sedekah) yang pahalanya dihadiahkan kepada mayat. Jadi, antara
kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Dan seandainya tradisi selamatan
tujuh hari tersebut diadopsi (diambil) dari
tradisi Hindu, maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk
dilaksanakan, mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda.
Dalam selamatan tujuh hari, kaum muslimin
berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu melakukan kemungkaran.
Bahkan podium-podium yang ada
di masjid-masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu
bermanfaat dan tidak melanggar syari’ah maka boleh-boleh saja mengikutinya, demikian
juga hari Ahad (Minggu) adalah dari besar Nasrani, yang biasanya mereka pergi ke gereja untuk beribadah, tapi di
hari itu juga kita sering mengadakan
pengajian, halaqah dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Dan juga sebagaimana Rasul saw meniru adat
orang Yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram. Sebagai mana Abdullah bin
Abbas ra, yang menceritakan kisah ini kepada kita, yaitu :
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ فَرَأَى اْليَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ مَا هٰذَا قَالُوْا هٰذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هٰذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسٰى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسٰى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Tatkala Nabi saw,
datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari
Asyura’. Beliau saw, bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab,
“Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari
musuhnya, maka Musa as, berpuasa pada hari ini. Nabi saw, bersabda : “Saya lebih berhak
mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk
melakukannya”. (HR.Bukhari)
Sebagai
kesimpulan akhir, bahwa kegiatan-kegiatan yang selama ini kita lakukan dan sudah menjadi tradisi
khususnya warga NU, semuanya ada dasar atau dalil yang kuat, diantaranya yang
telah kami sebutkan di atas yaitu kegiatan tahlil dan kenduri arwah yang
biasanya dimulai dari hari kematiannya, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun sampai 1000 harinya. Itu semua
tidak ada satupun dalil yang melarangnya, bahkan tidak sedikit dalil
yang mendukungnya. Untuk itu kita sebagai warga NU khususnya dan
masyarakat lain umumnya, tidak perlu
malu apalagi takut untuk melaksamakan kagiatan tersebut. Dan akhirnya mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan
hidayah-Nya kepada kita dan juga kepada saudara-saudara kita yang tidak
menyukai bahkan melarang kegiatan tersebut. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar