Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya.
Menjelang akhir nasihat-nya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan
memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada
anaknya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang som-bong lagi
membanggakan diri. (Q.S. 31 Luqman 18)
Demikian Luqman melarang untuk memalingkan
wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya
besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, som-bong
terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan
nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap
orang yang menyombong-kan diri
dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya.
"Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung." (Q.S. 17 Al Israa' 37)
Demikianlah, seseorang dengan
ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi
seorang yang terhina di hadapan Allah SWT dan direndahkan di hadapan manusia,
dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling
rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya.
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh
orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia
maupun di akhirat. ‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya
dari Nabi SAW:
“Orang-orang
yang sombong dikum-pulkan pada hari
kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan
dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap
oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka,” (HR. At-Tirmidzi,)
Bahkan seorang yang som-bong
terancam dengan kemurkaan Allah . Demikian yang kita dapati dari Rasulullah
SAW, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin
‘Umar :Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam
berjalan, dia akan bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan Allah murka
terhadapnya.” (HR. Ahmad)
Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang
yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesom-bongan adalah menentang agama
Allah dan merendahkan hamba-hamba Allah.
Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah
bin ‘Umar , “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang
dikenakannya?”Beliau menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki
dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila
seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah
bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.”
“Wahai Rasu-lullah, lalu apakah kesombongan
itu?” Kemudian beliau menjawab: “Meremehkan kebenaran
dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad)
Tak sedikit pun Rasulullah membuka peluang
bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau nsenantiasa memerintah-kan
untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar menyam-paikan
bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun
menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas
terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim)
Berlawanan dengan orang yang sombong,
orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah
SWT, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah
bahwa Rasulullah bersabda: “Dan tidaklah
seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.”
(HR. Muslim)
Tawadhu’ karena Allah SWT ada dua makna.
Pertama, meren-dahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan
sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua,
merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah karena Allah SWT, bukan karena
takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun
semata-mata hanya karena Allah SWT.
Apabila seseorang merendahkan diri karena
Allah SWT, maka Allah SWT akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini
merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang
merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan
disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia.
Anas bin Malik mengisahkan: “Rasulullah
biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengu-capkan
salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR
An. Nasa`I(,
Ketawadhu’an Rasulullah ini menjadi
gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik pernah
melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau
mengatakan: “Nabi biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Memberikan salam kepada anak-anak ini
dilakukan oleh Nabi dan diikuti pula
oleh para shahabat beliau. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang
baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan
pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan
terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka
Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid
menuturkan sebuah peristiwa yang membe-rikan gam-baran
ketawadhu’an Nabi serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum
muslimin:
“Aku
pernah datang kepada Rasulullah ketika
beliau berkhut-bah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing
datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang
agamanya.’ Maka Rasulullah pun mendata-ngiku, kemudian diambilkan sebu-ah
kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang
diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga
selesai.” (HR. Muslim)
Begitu banyak anjuran
maupun kisah kehidupan Rasulullah yang melukiskan ketawadhu’an beliau.
Demikian pula dari para shahabat .
Tinggallah kembali pada
diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah
hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua
negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia
dan akhirat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar