Tidur di dalam
masjid hukumnya mubah (boleh), asal dapat menjaga kebersihannya.
Imam Nawawi
dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jus II, halaman 137,
beliau mengatakan :
يَجُوْزُ
النَّوْمُ فِي الْمَسْجِدِ وَلَا كَرَاهَةَ فِيْهِ عِنْدَنَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ
رَحِمَهُ اللهُ فِي اْلأُمِّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلأَصْحَابُ
Tidur di
masjid hukumnya boleh, tidak makruh menurut pendapat kami. Imam Syafi'i
Rahimahullah telah memberikan nash atas bolehnya itu telah disepakati oleh
sahabat-sahabatnya
وَاحْتَجَّ
الشَّافِعِيُّ ثُمَّ أَصْحَابُنَا لِعَدَمِ اْلكَرَاهَةِ بِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنْتُ أَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ وَأَنَا
شَابٌّ أَعْزَبُ وَثَبَتَ أَنْ أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوْا يَنَامُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ
وَأَنَّ الْعُرَنِيِّيْنَ كَانُوْا يَنَامُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَثَبَتَ فِي الصَّحِيْحَيْنِ
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ نَامَ فِيْهِ وَأَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ
نَامَ فِيْهِ وَأَنَّ الْمَرْأَةَ صَاحِبَةَ اْلوُشَاحِ كَانَتْ تَنَامُ فِيْهِ وَجَمَاعَاتٍ
آخِرِيْنَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَأَنَّ ثُمَامَةَ بْنَ أَثَالٍ كَانَ يَبِيْتُ فِيْهِ
قَبْلَ إِسْلَامِهِ وَكُلَّ هَذَا فِي زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Imam
Syafi'i, begitu pula sahabat-sahabat kami, telah berdalil atas tidak makruh
tidur di masjid, dengan hadits yang kuat terdapat dalam kitab shahih Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Beliau telah berkata : Saya suka tidur di masjid,
padahal saya seorang pemuda yang belum kawin. Dan telah terdapat hadits yang
kuat yang menyatakan bahwasanya Ahlush Shuffah (sahabat-sahabat Nabi saw yang
miskin, tidak punya rumah dan tidak punya harta) mereka suka tidur di masjid.
Dan orang-orang dari kabilah Urainah, mereka suka tidur di masjid. Dan telah
terdapat hadits yang kuat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, bahwa
Sayyidina Ali ra pernah tidur di masjid, sahabar Shafwan bin Umayah pernah
tidur di masjid, seorang perempuan tukang selempang suka tidur di masjid.
Begitu pula segolongan dari para sahabat yang lain, Tsumamah bin Atsal, ia suka
menginap di masjid, sebelum ia beragama Islam. Semua itu terjadi pada zaman
Rasulullah saw. (kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jus II, halaman 137-174)
إِبَاحَةُ
اْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالنَّوْمِ فِيْهَا: فَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كُنَّا فِي
زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ نَقِيْلُ
فِيْهِ وَنَحْنُ شَبَابٌ
Boleh
hukumnya, makan, minum dan tidur di masjid di mana saja. Terdapat sebuah hadits
dari Ibnu Umar, beliau berkata : Kami (para sahabat) pada zaman Rasulullah saw
suka tidur di masjid, kami tidur qailulah (tidur tengah hari) di dalamnya, dan
kami pada waktu itu masih muda-muda. (Kitab Fiqhus Sunnah, Juz I, halaman 213).
Akan tetapi,
kalau pengurus atau pemilik masjid (waqif) itu melarang tidur di dalamnya,
mungkin agar terjaga keindahan dan kebersihannya, tentu tidak boleh tidur di
masjid tersebut, sebab bila ia tidur di masjid itu, berarti ia telah
menggunakan milik atau fasilitas orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar