Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadush Shalihin halaman 392-395,
menerangkan :
Ketahuilah bahwasanya Ghibah, mengumpat, menggunjing itu diperbolehkan
karena adanya tujuan yang dianggap benar menurut pandangan syara' Agama Islam,
yang tidak mungkin dapat sampai kepada tujuan tadi, melainkan dengan cara
mengumpat itu. Dalam hal ini adalah enam macam sebab-sebabnya:
Pertama:
Dalam pengaduan penganiayaan, maka diperbolehkan seseorang yang merasa dirinya
dianiaya apabila mengadukan penganiayaan itu kepada sultan, hakim ataupun
lain-lainnya dari golongan orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan untuk
menolong orang yang dianiaya itu dari orang yang menganiayanya. Orang yang
dianiaya tadi bolehlah mengucapkan: Si Fulan itu menganiaya saya dengan cara
demikian.
Kedua: Dalam
meminta pertolongan untuk menghilangkan sesuatu kemungkaran dan mengembalikan
orang yang melakukan kemaksiatan kepada jalan yang benar. Orang itu diperbolehkan
mengucapkan kepada orang yang ia harapkan dapat menggunakan kekuasaannya untuk
menghilangkan kemungkaran tadi: Si Fulan itu mengerjakan demikian, maka itu
cegahlah ia dari perbuatannya itu. Maksudnya adalah supaya dapat melenyapkan
kemungkaran tadi. Jadi apabila tidak mempunyai maksud sedemikian, maka
pengumpatan itu adalah haram hukumnya.
Ketiga: Dalam
meminta fatwa. Orang yang hendak meminta fatwa itu boleh mengucapkan kepada
orang yang dapat memberi fatwa yakni mufti: Saya dianiaya oleh ayahku atau
saudaraku atau suamiku atau si Fulan dengan perbuatan demikian, apakah ia
berhak berbuat sedemikian itu padaku? Dan bagaimana jalan untuk menyelamatkan
diri dari penganiayaannya itu? Bagaimana untuk memperoleh hakku itu serta
bagaimanakah caranya menolak kedzalimannya itu? dan sebagainya. Pengumpatan
semacam ini adalah boleh karena adanya keperluan. Tetapi yang lebih
berhati-hati dan juga lebih utama ialah apabila ia mengucapkan: Bagaimanakah
pendapat anda mengenai seseorang atau manusia atau suami yang berkeadaan
sedemikian ini? Dengan begitu, maka tujuan meminta fatwanya dapat dihasilkan
tanpa menentukan atau menyebutkan nama seseorang. Sekalipun demikian,
menentukan yakni menyebutkan nama seseorang itu dalam hal ini adalah boleh atau
jaiz, sebagaimana yang akan Kami cantumkan dalam Hadisnya Hindun. Insya Allah
Ta'ala.
Keempat:
Dalam hal menakut-nakuti kaum Muslimin dari sesuatu kejelekan serta menasihati
mereka (agar jangan terjerumus dalam kesesatan karenanya).
Kelima: Orang
yang terang-terangan melakukan kemungkaran
Keenam: Untuk
memberitahukan kepada satu orang yang terkenal dengan/karena satu julukan,
misalnya Fulan yang buta, pincang atau tuli
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِيْنِى مَا يَكْفِيْنِى
وَوَلَدِى، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِى مَا
يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
Dari Aisyah bahwasanya Hindun binti Utbah berkata : Ya Rasulullah, Sesungguhnya
Abu Sufyan itu seorang lelaki yang kikir, ia tidak memberikan nafkah yang dapat
mencukupi kebutuhanku serta untuk keperluan anakku, melainkan dengan cara saya
mengambil sesuatu dari padanya, sedang ia tidak mengetahuinya. Maka beliau
bersabda: Ambil sajalah yang sekiranya dapat mencukupi kebutuhanmu dan untuk
kepentingan anakmu dengan cara yang baik (yakni jangan berlebih-lebihan). (H.
R. Bukhari no. 5364 dan ahmad no 26461)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar