Mayoritas ulama ahli fiqih berpendapat bahwa
hukum kurban adalah sunnah muakkadah (yang amat dianjurkan), pendapat ini
didasarkan antara lain pada sabda Nabi saw :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُتِبَ عَلَىَّ النَّحْرُ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu
Abbas, dari Nabi saw beliau bersabda : Diwajibkan kepadaku berkurban dan tidak
diwajibkan atas kamu. (H. R. Ahmad no. 2974, Baihaqi no. 19504 dan lainnya)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ
Dari Ibnu
Abbas ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Aku diperintahkan berkurban, tetapi
tidak diwajibkan. (H. R. Daruqthni no. 4812)
Salah satu
prinsip pelaksanaan hukum Islam adalah 'adamul charaj (tidak
menyulitkan). Semua jenis ibadah ada ruang rukhshah (keringanan)
dalam aplikasinya, seperti shalat, puasa bagi yang sakit dan bepergian. Ada juga yang
disyariatkannya berdasar kemampuan (kalau mampu), seperti, zakat, haji, nikah
dan sejenisnya.
Hutang dalam
Islam tidak dilarang, halal dan boleh, jika memang benar-benar membutuhkannya
untuk sesuatu yang wajib, seperti untuk menafkahi keluarga, biaya anak sekolah
dan sejenisnya. Tetapi sebaiknya dan sedapat mungkin dihindari, terutama untuk
hal-hal yang tidak urgen.
Orang tidak
perlu hutang jika memang belum punya uang untuk berangkat haji, juga tidak usah
hutang jika tidak mempunyai kelonggaran rezeki untuk berqurban, karena akan
terjadi takalluf (pembebanan diri) yang berarti memberatkan diri
sendiri diluar kemampuan wajarnya, yang dalam Islam amat dilarang. Dalam
Al-Qur'an Allah berfirman :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S. 2 Al Baqarah
286)
Dan sabda Nabi
saw :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Dari Abu
Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang mempunyai
kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati (menghampiri)
tempat shalat kami. (H. R. Ahmad no. 8496, Ibnu Majah no. 3242)
Jadi qurban amat
dianjurkan, tetapi hanya kepada yang ada kelonggaran rezeki. Tetapi kata
kelonggaran ini memang relatif, maka harus didukung dengan kelonggaran hati.
Walaupun rezekinya melimpah tetapi kalau hati tidak lapang, maka akan terasa
sempit juga.
Sedang mengenai
sah tidaknya qurban tidak ada kaitannya dengan apakah qurban itu dari uang
hutang (pinjaman) atau bukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar