Syaikh Abu Hamid Al-Ghazali yang
lebih dikenal dengan nama Imam Ghazali dalam kitanya menjelaskan :
وَإِنْ كُنْتَ
مُتَعَلِّمًا فَآدَابُ الْمُتَعَلِّمِ مَعَ اْلعَالِمِ: أَنْ يَبْدَأَهُ بِالتَّحِيَّةِ
وّالسَّلَامِ. وَأَنْ يُقَلِّلَ بَيْنَ يَدَيْهِ اْلكَلَامُ. وَلَا يَتَكَلَّمَ مَالَمْ
يَسْأَلْهُ أُسْتَاذُهُ. وَلَا يَسْأَلُ أَوَّلًا مَالَمْ يَسْتَأْذِنْ. وَلَا يَقُوْلُ
فِى مُعَارَضَةِ قَوْلِهِ قَالَ فُلَانٌ بِخِلَافِ مَا قُلْتَ. وَلَا يُشِيْرُ عَلَيْهِ
بِخِلَافِ رَأْيِهِ فَيَرَى أَنَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ مِنْ أُسْتَاذِهِ. وَلَا
يُشَاوِرُ جَلِيْسَهُ فِى مَجْلِسِهِ وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَى الْجَوَانِبِ بَلْ يَجْلِسُ
مُطْرِقًا سَاكِنًا مُتَأَدِّبًا كَأَنَّهُ فِى الصَّلَاةِ. وَلَا يَكْثُرُ عَلْيِهَ
عِنْدَ مَلَلِهِ. وَإِذَا قَامَ قَامَ مَعَهُ وَلَا يَتْبَعُهُ بِكَلَامِهِ وَسُؤَالِهِ.
وَلَا يَسْأَلُهُ فِى طَرِيْقِهِ إِلَى يَبْلُغَ إِلَى مَنْزِلِه.ِ وَلَا يُسِيْئُ
الظَّنَّ بِهِ فِى أَفْعَالٍ ظَاهِرُهَا مُنْكَرَةٌ عِنْدَهُ فَهُوَ أَعْلَمُ بِأَسْرَارِهِ
وَلْيِذْكُرْ عِنْدَ ذَلِكَ قَوْلُ مُوْسَى لِلْخَضْرِ عَلَيْهِ السَّلَامُ : أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ
جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا. وَكَوْنُهُ مُخْطِئًا فِى إِنْكَارِهِ إِعْتِمَادًا عَلَى
الظَّاهِرِ
Apabila kamu jadi sorang murid, maka
perhatikanlah adab kesopanan terhadap guru sebagaimana berikut :
Hendaknya memberi ucapan salam
kepada guru terlebih dahulu. Tidak banyak bicara di hadapannya. Tidak berbicara
selagi tidak ditanya gurunya. Tidak bertanya sebelum meminta izin terlebih
dahulu. Tidak menentang ucapan guru dengan ucapan (pendapat) orang lain. Tidak
menampakkan penentangannya terhadap pendapat guru, apalagi menganggap dirinya
paling pandai dari pada gurunya. Tidak boleh berbisik kepada teman yang duduk
di majlis itu. Tidak menoleh-noleh ketika sedang berada di depan gurunya, tetapi
harus menundukkan kepala dan tenang seperti dia sedang malakukan shalat. Tidak
banyak bertanya kepada guru ketika dia dalam keadaan letih. Hendaknya berdiri
ketika gurunya berdiri dan tidak berbicara dengannya katika dia sudah beranjak dari
tempat duduknya. Tidak mengajukan pertanyaan kepada guru di tengah perjalanan.
Tidak berprasangka buruk kepada guru, ketika dia melakukan perbuatan yang
dzahirnya mungkar, sebab dia lebih mengetahui rahasia (maksud perbuatannya),
dalam hal ini murid hendaknya mengingat ucapan Nabi Musa kepada Nabi Khidir as,
(seperti yang diterangkan dalam Al-Qur'an) : Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.
(Q.S. 18 Al Kahfi 71)
Nabi Musa dalam kasus tersebut
menyangkal perbuatan Nabi Khidir karena Nabi Musa melihat dari sisi dzahir apa
yang dilakukan oleh Nabi Khidir. (Kitab Bidayatul Hidayah, halaman 94)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar