Pada umumnya suamilah yang memberi
nafkah kepada istrinya, karena seorang suami adalah pemimpin wanita dan
sekaligus pemimpin dalam rumah tangga, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلٰى النِّسَاء
بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. (Q.S. 4 An Nisaa' 34)
Tetapi jikalau si suami itu
berkeyakinan atau ada tanda-tanda bahwa si istri senang hati untuk memberi
nafkah dan bekarja, maka halal nafkah itu dimakan oleh sang suami. Hal ini
dapat disamakan dengan mahar (mas kawin) yang disebut dalam Al-Qur'an :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
(Q.S. 4 An Nisaa' 4)
Demikian pula halal bagi si istri bekerja
untuk mencari nafkah, asalkan aman dari fitnah dan mendapat ijin dari suaminya
Sayyid
Bakri Syatha Ad-Dimyathi dalam kitabnya mengatakan :
وَمِنْهاَ (اَيْ مِنَ الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ لِأَجْلِهَا)
اِذَا خَرَجَتْ لِاكْتِسَابِ نَفَقَةٍ
Dan diantara hal-hal yang memperbolehkan
wanita bekerja di luar rumah adalah jika keluarnya itu untuk mencari nafkah. ( Kitab
I’anatut Thalibin, Juz IV, halaman 92)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar