Shaikh
Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya menegaskan :
وَأَمَّا
حُكْمُ النِّيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَقَدِ اتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ اْلأَرْبَعَةُ عَلَى
أَنَّ الصَّلَاةَ لَا تَصِحُّ بِدُوْنِ نِيَّةِ
Dan adapun hukum niat dalam
shalat telah menjadi kesepakatan para imam madzhab yang empat bahwa shalat tidak
sah tanpa niat. (Kitab Al-Fiqhu 'Alal Madzahibil Arba'ah, Juz I, halaman 225)
Di dalam kitab-kitab fiqih
madzhab Syafi'i keseluruhannya dikatakan bahwa membaca ushalli hukumnya sunnah,
berfaedah untuk dikerjakan.
Imam Nawawi dalam kitabnya
menegaskan :
وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُّطْقُ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ
Dan niat itu di dalam hati,
sunnah mengucapkannya sesaat sebelum takbir. (Kitab Minhajuth Thalibin, Juz I, halaman 26)
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami
dalam kitabnya menegaskan :
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ (
قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوْجًا مِنْ
خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ
Dan Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar lisan dapat
membantu (kekhusyukan) hati, dan untuk
menghindar dari perbedaan pendapat karena ada orang yang mewajibkan melafalkan niat, dan
pula diqiyaskan kepada apa yang terjadi dalam mengerjakan haji. (Kitab Tuhfah
Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj , Juz V, halaman 285)
Imam Ramli dalam kitabnya
menegaskan :
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ
(قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ
عَنِ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ
Dan Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar lisan dapat
membantu (kekhusyukan) hati, untuk menjauhkan was-was, dan untuk menghindar dari perbedaan pendapat karena
ada orang yang mewajibkan melafalkan
niat. (Kitab Nihayah Al-Muhtaj
ila Syarh Al-Minhaj, Juz IV, halaman 54)
Sebenarnya
tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib, pernah dilakukan oleh Nabi
saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
Imam
Al-Qasthalani dalam kitabnya menegaskan :
وَالَّذِي
اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ أَصْحَابُنَا اسْتِحْبَابُ النُّطْقِ بِهَا وَقَاسَهُ بَعْضُهُمْ
عَلَى مَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ مِنْ حَدِيْثِ أَنَسٍ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَبِّي بِالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ جَمِيْعًا يَقُوْلُ لَبَّيْكَ
عُمْرَةً وَحَجًّا. وَفِي الْبُخَارِيِّ مِنْ حَدِيْثِ عُمَرَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ وَهُوَ في وَادِى الْعَقِيْقِ يَقُوْلُ أَتَانِى
اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّى فَقَالَ صَلِّ فِى هَذَا الْوَادِى الْمُبَارَكَ
وَقُلْ عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ. وَهَذَا تَصْرِيْحٌ بِاللَّفْظِ وَالْحُكْمُ كَمَا يَثْبُتُ
بِالنَّصِّ يَثْبُتُ بِالْقِيَاسِ
Dan yang telah tetap dalam
fatwa sahabat-sahabat kami (madzhab Syafi'i), sunnah hukumnya membaca
"ushalli" itu. Sebagian ulama menqiyaskan kepada yang tersebut dalam
kitab shahih Bukhari-Muslim sebuah hadits dari Anas, bahwa dia mendengar Nabi saw mengucapkan : LABBAIKA
UMRATAN WA HAJJAN (Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu untuk Umrah dan Haji).
Dan di dalam riwayat Bukhari hadits dari Umar, dia mendengar Nabi saw bersabda
ketika berada di lembah Al-Aqiq : Malaikat yag diutus oleh Rabbku datang
kepadaku dan berkata : Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan
katakanlah : Aku berniat melaksanakan umrah dalam ibadah haji ini. Ini jelas
dengan "ucapan". Hukum itu sebagaimana ditetapkan dengan nash, ditetapkan
juga dengan qiyas.(Kitab Mawahibil Laduniyah, Juz II, halaman 217-218).
Lebih jelasnya hadits yang
dimaksud adalah :
قَالَ
يَحْيَى سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ
عُمْرَةً وَحَجًّا
Yahya berkata, Saya mendengar
Anas berkata, Saya mendengar Nabi saw mengucapkan : LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN
(Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu untuk Umrah dan Haji). (H. R. Muslim no.
3088)
عَنْ
عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ
سَمِعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِى الْعَقِيْقِ يَقُوْلُ أَتَانِى اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّى
فَقَالَ صَلِّ فِى هَذَا الْوَادِى الْمُبَارَكَ وَقُلْ عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ
Dari Umar ra ia berkata : Aku
mendengar Nabi saw bersabda ketika berada di lembah Al-Aqiq : Malaikat yag
diutus oleh Rabbku datang kepadaku dan berkata : Shalatlah di lembah yang penuh
barakah ini dan katakanlah : Aku berniat melaksanakan umrah dalam ibadah haji
ini. (H. R. Bukhari no. 1534)
Yang wajib dalam niat shalat itu
ada tiga unsur :
1. Qashdul fi’li, yaitu menyengaja
mengerjakannya, seperti lafal "ushalli"
2. Ta'arudh/fardliyah, yaitu menyatakan kefardhuan shalat tersebut,
jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka
tidak perlu Fardliyah
3. Ta'yin, yaitu menentukan jenis shlat, seperti subuh, dhuhur,
ashar, maghrib atau isya'.
Contoh seperti niat shalat subuh
:
اُصَلِّى فَرْضَ الصُّبْحِ
رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً لِلهِ تَعَالٰى
USHOLLII FARDHOSH SHUBHI ROK'ATAINI MUSTAQBILAL QIBLATI ADAA-AN LILLAAHI TA'AALA.
Aku berniat shalat
fardhu Shubuh dua raka'at menghadap kiblat karena Allah Ta'ala
Yang wajib diucapkan ketika niat
di dalam hati dan berbarengan dengan talbiratul ikram adalah :
اُصَلِّى فَرْضَ الصُّبْحِ
USHOLLII FARDHOSH SHUBHI
Aku berniat shalat fardhu
Shubuh
Namun pada
dasarnya, orang yang tidak mampu berniat dengan model ideal ini diperbolehkan
untuk sekadar melafadzkan (talaffudh) niat sebelum takbir dan tidak
mesti beriringan dengannya. Perihal ini sangat sesuai dengan prinsip Islam yang
mudah dan tidak memberatkan. Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّيْنَ
يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا
وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ
مِنَ الدُّلْجَةِ
Dari Abu
Hurairah, dari Nabi saw bersabda : Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah
seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan
dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati
semestinya dan beri kabar gembira (dengan pahala Allah) dan mohonlah
pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam" (H. R. Bukhari no. 39)
Dalam hal ini
Syaikh Abdurrahman Al-Ahdal dalam kitab Al-Mawahibus Saniyah Syarh
Al-Faraidul Bahiyah memperbolehkan orang awam, atau masyarakat yang keberatan
melakukan hal ini untuk sekedar melafalkan niat tanpa membatinkannya di dalam
hati. Berikut kutipannya:
(فليس يكفي اللفظ باللسان مع انتفائها) أي النية (من الجنان) أي
القلب، وظاهره لو من العامي وهو ما يقتضيه من ظاهر كلامهم، لكن فيه عسر فينبغي أن
يعتدبه الآن، أعني في زماننا الذي غلب فيه عدم الصلاة فضلا عن الإتيان بها ناقصة
Pelafalan
niat (tentu sebelum takbir) tanpa niat di hati jelas tidak memadai. Ini berlaku
juga meski untuk orang awam. Demikianlah dikatakan para ulama. Namun demikian
praktik ini tidaklah mudah. Karenanya pelafalan niat secara lisan tanpa
dibarengi niat di hati untuk era sekarang terbilang memadai. Maksud kami, di zaman
kita ini orang-orang yang tidak shalat malah lebih banyak ketimbang orang yang
hanya kurang sempurna shalatnya.
Sangat bagus terima kasih Kiai
BalasHapus