Shalat
dengan memakai sandal diperbolehkan jika shalatnya di atas tanah dan dipastikan
sandalnya suci dari najis, namun bila shalatnya di dalam bangunan masjid dan
berlantai keras maka ini menjadi terlarang karena masjid harus terjaga
kebersihan dan kesuciannya. Mengenai shalat memakai sandal ini diterangkan
dalam hadits :
عَنْ سَعِيْدِ
بْنِ يَزِيْدَ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ: أَكَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي نَعْلَيْهِ؟ قَالَ
نَعَمْ
Dari Sa’id bin Zaid Al-Azdiy ia berkata, saya bertanya kepada Anas
bin Malik : Apakah Nabi saw itu shalat dengan mengenakan alas kaki (sandal)?
Anas menjawab : Ya. (H. R. Bukhari no. 386)
Syaikh
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya menegaskan :
قَالَ اِبْنُ بَطَّالٍ : هُوَ مَحْمُوْل عَلَى مَا إِذَا لَمْ يَكُنْ
فِيْهِمَا نَجَاسَة، ثُمَّ هِيَ مِنَ الرُّخَصَّ كَمَا قَالَ اِبْنُ دَقِيْقٌ
الْعِيْد لَا مِنَ الْمُسْتَحَبَّاتٍ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ لَا يَدْخُل فِي الْمَعْنَى
الْمَطْلُوْب مِنَ الصَّلَاةِ ، وَهُوَ وَإِنْ كَانَ مِنْ مَلَابِس الزِّيْنَة
إِلَّا أَنَّ مُلَامَسَته الْأَرْض الَّتِي تَكْثُر فِيْهَا النَّجَاسَات قَدْ
تَقْصُر عَنْ هَذِهِ الرُّتْبَة
Ibnu Bathal berkomentar : Hadits ini
dipahami bahwa alas kaki (sandal) dipakai jika tidak ada najisnya, selain itu
ia merupakan rukhsah / dispensasi bukan termasuk hal yang disunnahkan. Demikian
dinyatakan oleh Ibnu Daqieq Al-’ld. Karena ia tidak termasuk ke cakupan makna
yang dituntut dari shalat. Alas kaki itu
sekalipun pakaian perhiasan namun bersentuhannya dengan tanah yang banyak
mengandung najis telah membuatnya tidak masuk ke tingkatan itu. (Kitab Fathul
Bari , Juz II, halaman 100)
Dan yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian sandal ketika
shalat ataupun membawa sandal turut serta dalam ibadah shalat. Jika yang
dimaksud adalah shalat dengan memakai sandal maka shalatnya tidak sah
dikarenakan salah satu dari syarat sahnya shalat adalah sesuatu yang dipakai
(malbus) haruslah suci dari najis. Sehingga ketika sandalnya ini tetap dipakai
(jari kakinya dikaitkan ke tali sandalnya) maka sandal tersebut tergolong
malbus.
Tapi jika yang dikehendaki adalah sandalnya hanya dijadikan sebagai tempat pijakan dengan tanpa mengaitkan jari kakinya ke tali sandal maka praktek yang demikian tidaklah bermasalah. Dalam artian shalatnya tetap sah. Paling tidak ia dikatakan muhadzah (sejajar) dengan najis ketika najisnya berada di bawah sandal yang ia pijak. Dan hal demikian sama halnya ketika shalat diatas sajadah yang di bawahnya terdapat najis.
Shalat dengan memakai sandal tentu harus memperhatikan pula tempat shalatnya, apakah itu di atas tanah ataukah di atas lantai bangunan masjid. Apabila shalatnya berada di atas tanah maka diperbolehkan dengan memakai sandal dengan ketentuan tersebut di atas, sedangkan apabila berada di dalam bangunan masjid berlantai keras dan bersih maka shalat dengan memakai sandal adalah perlakuan yang tidak sopan dan tidak menjaga kehormatan masjid.
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menehaskan :
وَيَحْرُمُ بَوْلٌ فِيْهِ وَلَوْ فِي نَحْوِ طَشْتٍ. وَإِدْخَالُ نَعْلٍ
مُتَنَجِّسَةٍ لَمْ يَأْمَنِ التَّلْوِيْثُ
Dan haram kencing di dalam masjid
sekalipun diwadahi (ditampung). memasukkan sandal bernajis yang mana tidak
lepas dapat mengkotori. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 41)
Syaikh Muhammad Amin
(Ibnu Abidin) dalam
kitabnya menegaskan :
لَكِنْ إذَا خَشِيَ تَلْوِيْثَ فُرُشِ الْمَسْجِدِ بِهَا يَنْبَغِي
عَدَمُهُ وَإِنْ كَانَتْ طَاهِرَةً وَأَمَّا الْمَسْجِدُ النَّبَوِيُّ فَقَدْ
كَانَ مَفْرُوْشًا بِالْحَصَى فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِخِلَافِهِ فِي زَمَانِنَا ، وَلَعَلَّ ذَلِكَ مَحْمَلُ مَا فِي عُمْدَةِ
الْمُفْتِي مِنْ أَنَّ دُخُوْلَ الْمَسْجِدِ مُتَنَعِّلًا مِنْ سُوْءِ الْأَدَبِ
Akan tetapi apabila dikhawatirkan dengan (memakai) sandal akan
mengotori lantai masjid hendaknya perbuatan itu mesti ditiadakan meskipun suci.
Adapun masjid Nabawi (dulu) dihampari kerikil di jaman Nabi saw yang berbeda
keadaannya di jaman kita. Dan kemungkinan hal itu menjadi dasar dalam kitab
Umdatul Muftiy tentang adanya penjelasan bahwa masuk masjid dengan memakai
sandal termasuk buruknya adab. (Kitab Raddul Mukhtar, Juz V, halaman 78)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar