Seseorang
yang menyentuh kemaluan (farji), baik kepunyaannya sendiri maupun kepunyaan
orang lain, maka wudhunya menjadi batal. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ مَسَّ فَرْجَهُ
فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ
Dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw,
berliau bersabda : Laki-laki manapun yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah
berwudhu. Dan perempuan manapun yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah
berwudhu. (H. R. Daruquthni no. 544, Baihaqi no. 652, Ahmad no. 7275)
Sesungguhnya
yang membatalkan wudhu itu adalah jika tersentuh oleh telapak tangan bagian
dalam. Tapi jika tersentuhnya oleh punggung (bagian luar) telapak tangan atau tersentuh oleh kemaluan
binatang, maka wudhunya tidaklah batal.
Syaikh
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya menegaskan :
يَنْتَقِضُ
الْوُضُوْءُ بِمَسِّ فَرْجِ الْأَدَمِيِّ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ، صَغِيْرًا
أَوْ كَبِيْرًا، حَيًّا أَوْ مَيِّتًا، بِشَرْطِ كَوْنِهِ بِبَاطِنِ الْكَفِّ، فَلَا
يَنْقُضُ بِظَاهِرِ الْكَفِّ، لِأَنَّ ظَاهِرَ الْكَفِّ لَيْسَ بِآلَةِ اللَّمْسِ،
فَأَشْبَهَ مَا لَوْ مَسَّهُ بِفَخْذِهِ
Wudhu menjadi batal dengan sebab menyentuh kemaluan manusia, baik
kepunyaannya sendiri ataupun kepunyaan orang lain, masih kecil ataupun sudah
besar, masih hidup ataupun telah mati, dengan syarat tersentuhnya oleh telapak
tangan bagian dalam. Maka tidak menjadi batal wudhu jika tersentuh oleh telapak
tangan bagian belakang (luar), karena telapak tangan bagian belakang (luar) itu
bukanlah alat untuk menyentuh, sama saja dengan kalau ia menyentuhnya dengan
paha. (Kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz I, halaman 278-279).
Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menegaskan :
(وَ)
ثَالِثُهَا (مَسُّ فَرْجِ آدَمِيٍّ) أَوْ مَحَلِّ قَطْعِهِ، وَلَوْ لِمَيِّتٍ أَوْ
صَغِيْرٍ، قُبُلًا كَانَ الْفَرْجُ أَوْ دُبُرًا، مُتَّصِلًا أَوْ مَقْطُوْعًا، إِلَّا
مَا قُطِعَ فِي الْخِتَانِ
Dan yang ketiga (yang membatalkan wudhu) adalah menyentuh kemaluan
manusia atau tempatnya jika kemaluan itu putus, baik kemaluan orang mati, anak-anak,
qubul, dubur, masih menempel maupun sudah lepas selain potongan khitan. (Kitab
Fathul Mu'in, halaman 9)
وَخَرَجَ بِآدَمِيٍّ فَرْجُ الْبَهِيْمَةِ إِذْ لَا يُشْتَهَى، وَمِنْ
ثَمَّ جَازَ النَّظَرُ إِلَيْهِ. (بِبَطْنِ كَفٍّ) لِقَوْلِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ، وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ مَسَّ ذَكَرًا فَلْيَتَوَضَّأْ.
Dengan ditentukannya kemaluan manusia, maka kemaluan binatang tidak
termasuk, dan karena itu pula tidak berdosa jika melihatnya. (Menyentuh itu
dengan telapak tangan). Berdasarkan sabda Nabi saw : Barang siapa telah
menyentuh kemaluannya - dalam riwayat lain : Barang siapa menyentuh penis -
maka hendaklah berwudhu kembali. (Kitab Fathul Mu'in, halaman 9)
Kalau menyentuh kena telapak kaki soalnya klw santri jarang pake celana dalam
BalasHapussetahu saya tidak membatalkan, sebab yang membatalkan adalah aoabila kita memegangnya dengan telapak tangan. jadi jangankan kena kaki kena punggung tangan juga tidak membatalkan sebab bukan tekapak tangan.
Hapus