Keberadaan
wali merupakan satu dari rukun nikah. Wali sendiri ialah sebutan untuk pihak
lelaki dalam keluarga atau lainnya yang bertugas mengawasi keadaan atau kondisi
seorang perempuan, khususnya dalam bab nikah
Yang
dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan adalah menurut susunan di
bawah ini.
Syaikh
Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi dalam kitabnya menegaskan :
(وَأَوْلَى الْوُلَاةِ) أَيْ أَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ
: (اَلْأَبُ ثُمَّ أَبُو اْلأَبِ) ثُمَّ أَبُوْهُ وَهَكَذَا. وَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ
مِنَ الْأَجْدَادِ عَلَى الْأَبْعَدِ. (ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ) وَلَوْ
عَبَّرَ بِالشَّقِيْقِ لَكَانَ أَحْصَرَ. (ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأًمِّ)
وَإِنْ سَفُلَ. (ثُمَّ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ) وَإِنْ سَفُلَ. (ثُمَّ الْعَمُّ)
الشَّقِيْقُ. ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِ. (ثُمَّ ابْنُهُ) أَيْ اِبْنُ كُلٍّ مِنْهُمَا
وَإِنْ سَفُلَ (عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ). فَيُقَدَّمُ ابْنُ الْعَمِّ الشَّقِيْقِ
عَلَى ابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِ ....
(ثُمَّ الْحَاكِمُ)
يُزَوِّجُ عِنْدَ فَقْدِ الْأَوْلِيَاءِ مِنَ النَّسَبِ وَالْوَلآءِ
Dan
seutama-utama wali, artinya yang lebih berhak dari beberapa wali dalam
menikahkan adalah :
1.
Ayah
2.
Kakek (ayahnya ayah)
3.
Ayahnya kakek dan seterusnya
Dalam
hal ini hendaknya didahulukan wali yang lebih dekat dari beberapa kakek atas
yang lebih jauh
4.
Saudara laki-laki yang seayah seibu. Dan pengarang membuat ibarat dengan kata
syaqiq adalah lebih ringkas
5.
Saudara laki-laki seayah saja
6.
Anak laki-lakinya saudara laki-laki yang seayah seibu, terus ke bawah
7.
Anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah saja, terus ke bawah
8.
Paman yang seayah seibu
9.
Paman yang seayah saja
10.
Anak laki-lakinya paman, artinya anak laki-laki dari masing-masing keduanya
terus ke bawah menurut tertib ini.
Maka
hendaknya didahulukan si anak laki-lakinya paman yang seayah seibu atas anak
laki-lakinya paman yang seayah saja ....
Kemudian
wali hakim, maka bolek menikahkan ketika memang sudah tidak ada wali nasab
(keturunan) dan wali wala’ (kekerabatan karena memerdekakan budak).
(Kitab Fathul qarib, halaman 44)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar