Perempuan, sesuai fitrah (kodrat) akan
mengalami siklus haid bulanan, yang pasti ada manfaat dan hikmahnya bagi
perempuan itu sendiri.
Perempuan yang sedang haid mendapat
beberapa kemudahan dan perkecualian, diantaranya adalah :
1. Tidak usah mengerjakan shalat wajib
2. Tidak boleh puasa tetapi harus
mengqadha'nya
3. Tidak boleh disetubuhi
4. Tidak boleh masuk dan diam di masjid
5. Tidak boleh membaca dan menyentuh
mushaf Al-Qur'an
6. Tidak boleh diceraikan
7. Tidak boleh tawaf
Saat ini dunia medis menawarkan obat
untuk menahan keluarnya darah haid bagi perempuan, sehingga mereka dapat
menunaikan ibadah haji/umrah dengan sempurna, juga dapat melaksanakan puasa
Ramadhan sebulan penuh tanpa harus mengqadha'nya. Bahkan bagi istri tetap dapat
melayani suaminya yang bekerja di rantau dan hanya bisa pulang beberapa hari
sebulan sekali.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
sidang komisi fatwa tahun 1984 menetapkan bahwa :
1. Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan haji/umrah, hukumnya
mubah (boleh)
2. Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat menyempurnakan
puasa ramadhan sebulan penuh, pada dasarnya makruh (tidak disukai). Tetapi bagi
perempuan yang mengalami kesulitan untuk mengqadha' puasanya yang tertinggal di
hari lain, maka hukumnya mubah (boleh)
3. Penggunaan pil anti haid selain dari dua ibadah tersebut di
atas, tergantung pada niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran
hukum agama maka hukumnya haram.
Sampai saat ini mayoritas fuqaha' (ulama
ahli fiqih) sependapat bahwa penundaan haid dengan menggunakan obat anti haid
selain untuk ibadah haji/umrah dan puasa tidak dibenarkan
Selagi upaya penundaan haid itu untuk
kebaikan dan niat taat kepada Allah, maka penggunaan pil penundaan haid itu
diperbolehkan. Demikian juga bagi istri yang suaminya bekerja di perantauan
(tempat yang jauh) yang hanya dapat pulang sebulan sekali, itupun hanya
beberapa hari. Jika diyakini bahwa kedatangan suami (yang jarang-jarang itu)
bertepatan dengan datangnya haid, maka istri boleh untuk memakai pil penunda
haid agar bisa melayani suami secara baik dan normal, sebab istri yang sedang
haid tidak boleh berhubungan badan dengan cara apapun. Hal ini didasarkan pada
qaidah fiqhiyah yang menyatakan :
اَلْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ
حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya
diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya
Khusus untuk shalat, sebaiknya tidak
dilakukan penggunaan pil penunda haid, karena dalam hal ini perempuan mendapat
kemudahan dan kemurahan dari Allah untuk tidak shalat tanpa harus
mengqadha'nya, yang seharusnya diterima dan disyukuri oleh kaum perempuan,
tanpa memperberat diri sendiri (takalluf), hal ini sesuai dengan hadits
Nabi :
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
Dari Mu'adzah dia
berkata, saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, Kenapa gerangan wanita
yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat? Maka Aisyah menjawab : Apakah kamu dari
golongan Haruriyah? Aku menjawab, Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya
bertanya. Dia menjawab : Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha'
shalat. (H. R. Muslim no 789, Daud 263 dan lainnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar